Selasa, 29 Juli 2014

Kacang Tanah Penerang di Akhirat

Catatan dini hari, Moncek Timur, 29 Juli 2014.

Ramadhan telah usai. Tapi cerita2 saya tentangnya masih tersisa. Salah satunya tentang zakat fitrah. Disuatu waktu saya disuruh mengantarkan zakat fitrah berupa Jagung kering. Entah berapa kilogram saya tak sempat bertanya atau menimbangnya. Yang pasti untuk tiga orang. Aku, saudaraku dan bapakku sendiri.


Ada satu hal yang membuat mata saya tak berhenti memandang, pikiran saya tergelitik, bertanya2 ketika di atas jagung itu ada kacang tanah yang di tusuk seperti sate. Ada pula uang kertas 20 ribu.


Sejauh yang saya tahu zakat fitrah ialah pemberian berupa makanan pokok keapada orang berhak menerimanya. Saya penasaran mengenai "sate kacang" di atas jagung itu.

Beberapa anggota masyarakat masih memegang tradisi itu sampai saat ini khususnya di desa Moncek Timur.
Saya bertanya kepada orang beberapa orang. Ketika itu ada nenek, paman dan beberapa tetangga. Namun tak ada keterangan yang saya dapatkan kecuali hanya, bahwa penyelipan "sate kacang" itu adalah "lalampan" (indonesia: kebiasaan) orang dulu. Jawaban itu memberi sinyal positif bahwa saya harus menanyakannya kepada orang lanjut usia.

Kebetulan aku teringat, dulu kakek saya juga melakukan hal sama. Bahkan tak hanya "sate kacang". Ada pula penyisipan satu sampai dua batang rokok dalam zakat fitrah.

Lebaran kemaren saya sungkem ke kerumah kakek. Saat ini usianya sudah di atas 70 tahun. Saya tidak tahu umur pastinya sebab ketika saya menanyakannya langsung kakek juga sudah lupa berapa umurnya sekarang.
Siang itu beliau duduk di amben rumah. Alas tikar sudah siap dan beberapa jajan lebaran juga sudah tersedia. Aku yang datang langsung menyalami dan mencium tangannya yang mulai mengkerut. Beberapa saat kemudian, setelah ngobrol santai aku menyempatkan diri bertannya soal itu.

Rumah kakek berhadapan dengan rumah tetangga. Ada banya orang ketika itu termasuk tetangga yang barangkali sudah seusia dengannya.

Kakek menanggapi pertanyaan saya dengan semangat seperti telah mengingatkan pada masa lalunya. Ia menjelaskan ihwal kacang itu. Bahwa "sate kacang" akan menjadi penerang, lampu, sinar kelak di akhirat.
Tidak ada ketentuan mengenai banyaknya kacang atau berapa tusuk kacang itu harus dipasang. Biasanya hanya dua tusuk, dan masing2 tusuk 5-7 kacang.

Kakek menceritakan, penyelipan kacang itu mulai dilakukan belangan. Sebelum kacang memakai "nyamplong" dan buah "kalekeh" (salah satu jenis tanaman yang ada di daerah madura). Namun karena tanaman itu agak sulit ditemukan dan lebih mudah kacang, maka menggunakan kacang dengan fungsi yang sama.

Demikian pula rokok. Ia akan menjadi penerang. Kakek mengatakan, rokok tersebut nantinya akan digunakan, dirokok ketika diakhirat. rokok khusus laki2. Bagi perempuan biasanya menggunakan "napenah".
Perbincangan saya dan kakek tidak berhenti di situ. Saya bertanya tengtang zakat pada zamanya dulu ketika masih muda. Pertanyaan saya menarik perhatian tetangga kakek, rohimah. Karena logat kampung ia biasa dipanggil Rahema. Akhirnya, ia pun merapat bersama kami dan berhasrat untuk bercerita. Termasuk nenek juga ikut kumpul bersama.

Zakat didapat dari hasil pinjaman
Kakek bercerita, zakat pada zaman itu disalurkan kepada kajih. Kyai musolla, kampung.
Zaman dulu berbeda dengan sekarang yang boleh dibilang berkecukupan kalau hanya untuk makan sehari2. Dulu, tidak demikian. Susah dan selalu kekurangan makanan.

Maka untuk memenuhi kewajiban membayar zakat fitrah, orang orang harus pinjam terlebih dahulu. Mereka pinjem ke kajih. Dan pinjaman baru dikembalikan ketika musim panen. Ketika itu orang2 akan berbondong ke rumah kajih untuk membaca niat zakat.

Dengan demikian, kaji pada saat itu memiliki peran ganda. Meminjamkan sekaligus menerima zakat.
Ada juga kajih yang merasa enggan, mikir2 atau berat hati menerima zakat tersebut. Dikarenakan zakat adalah kotoran dari penyucian diri dan harta.

Ada juga kajih yang membagikan hasil kumpulan zakat itu kepada orang2. Kira2 1 kg per orang. Masyarakat yang kekurangan makanan akan merasa senang dengan pemberian itu.

Rokhimah menceritakan, bahwa ada juga zakat yang lansung disalurkan kepada anaknya (keluarganya). Hal ini kurangnya makanan untuk dikonsumsi sendiri. Dari pada disalurkan ke orang lain sementara untuk makan sendiri susah, maka langkah itulah yang diambil karena, menurut penilaian saya, keinginan masyarakat untuk memenuhi kewajiban membayar zakat.

Pejelasan itulah yang saya dapatkan dari kakek dan tetangganya rohimah. Demi mendapatkan informasi tambahan, sesampainyanya di rumah saya kembali menceritakan penjelasan kakek. ketika itu ada nenek (orang tua ibu), paman dan sebagian tetangga.

Nenek membenarkan mengenai kenyataan, membayar zakat dari hasil pinjaman dari kajih, kyai kampung. Usia nenek lebih muda jauh dari kakek dan tetanggannya tadi.

Sayapun mengambil kesimpulan sementara. Kenyataan itu berlangsung puluhan tahun lamanya. Jika usia kakek sekarang 80 tahun maka kejadiannya diperkirakan  telah dimulai sejak 10-15 tahun sebelum kemerdekaan. Sebelum itu mungkim memang sudah demikian.

Yang menjadi pertanyaan saya sampai sekarang, mengapa mereka masih memaksa diri untuk membayar zakat fitrah sedangkan untuk dimakan sendiri sudah kekurangan. Salah satu penjelasan yang saya baca, bukankah salah satu kriteria orang wajib membayar zakat adalah memiliki kemampuan? Hanya ada 3 kemungkinan. Pertama, antusias mereka sangat tinggi menjalankan perintah agama. Kedua pemahan mereka yang rendah soal agama. Ketiga, zakit fitrah dijadikan kesempatan oleh para kyai kampung untuk memakmurkan dirinya.

Entahlah. Sejarah telah berlalu. Potret inilah yang hanya bisa saya tangkap hari ini.















Minggu, 27 Juli 2014

Aku Senang Ramadhan Akan Pergi

Menjelang idul fitri atau di akhir ramadhan beberapa status facebook teman saya bernada sama. Tentang ucapan maaf kepada seseorang a. Tentang pula keberatan, ketidakinginan atau kesedihan karena akan berpisah dengan bulan ramadhan. Ada pula yang berkata ramadhan berjalan begitu singkat menggambarkan perjalanan ramdahan satu kenikmatan baginya.


Ya, bulan yang katanya penuh nikmat, berkah dan ampunan itu sebentar lagi akan selesai. Meninggalkan manusia, bulan, matahari, gemintang dan hampir seluruh semesta alam.

Dan setelah itu Ramadhan akan sulit didengar dari lisan orang2. Masjid mulai sepi. Tak banyak lagi lantunan ayat suci. Tak ada lagi santunan panti asuhan. Tak ada lagi kultum di masjid. Tak ada lagi banyak hal yang biasa dilakukan di bulan ramadhan. Barangkali karena sudah tidak update, bukan momen dan semacamnya termasuk karena ramadhan hanya menjadi momentum saban tahun.

Barangkali berbeda dengan ketika habis menonton hiburan, habis kencan sama pacar atau pula habis ketemu mantan. Ada bayangan yang selalu mengikuti, mendorong untuk keluar menjadi cerita.
Ramadhan hanya menjadi cerita tahunan, kekasih sementara, bahkan selingkuhan yang penuh dengan buaian.
Demikian saya ingin menerjemahkan status teman. Ini tafsir saya. Tanpa kaidah dan metodologi. Berdasar pengalaman dari tahun ke tahun, apa yang saya lihat, saya dengar dan saya alami.

Tak ada peningkatan ibadah bagi saya kecuali mungkin hanya shalat tahajjud karena waktunya berbarengan dengan sahur. Atau mungkin membaca al Qu'ran di masjid karena kebetulan berbarengan dengan apa yang disebut dengan berkah ramadhan. Teh anget, kulak pisang, mie ayam dan jajanan lain yang berjejer dengan al Qur'an. Atau shalat traweh yang enggan karena membuat lelah. Selebihnya ramadhan hanya rasa lapar, haus, dan tidur siang yang sulit untuk dirindukan. Bagaimana mungkin dapat dirindukan sementara di satu sisi saya memang tak suka rasa lapar dan tak senang rasa haus.

Tentang ramadhan mengingatkan manusia akan penderitaan orang miskin. Aku tak pernah merasakan itu kecuali hanya di dengar di kultum masjid dan hilang begitu saja. Paling mujur menjadi selentingan dalam diskusi2 dengan teman. Dirasakan dalam2 dalam hati, atau pernahkah hati terenyuh ketika mengingat sejumlah orang yang kurang makan, lalu berbuat satu hal kecil yang sesuai kenyataan?

Apa yang saya katakan tidak berarti bahwa saya benci ramdhan. Tidak pula saya telah cinta ramadhan. Lebih tepat saya masih menganggap hanya ritual tahunan tanpa makna yang benar bagi hidup saya. Terutama paska ramadhan, aku telah banyak lupa tentangnya. Bagaimana engkau bisa rindu dan begitu sedih dengan perginya ramadhan sementara ia tak lagi engkau perbincangkan setelah lebaran.

Ramadhan bulan nikmat, benar. Ramadhan bulan berkah, betul. Ramadhan bulan ampunan, tidak diragukan. Yang perlu diragukan barangkali adalah hidup saya yang belum punya cinta untuk ramadhan. akupun senang ramadhan ini akan berakhir. Inilah ceritaku. Bagaimana ceritamu yang sesungguhnya?

Catatan Akhir Ramadhan
Muncek Timur, 27 Juli 2014.

Jumat, 25 Juli 2014

Buka Bersama di Bagong Catering

Buka bersama di Bagong catering

Buka bersama di bagong catering
Acara rutin ramadhan bulan akhir

orang proletar hadir
Anak yatim hadir
karyawan hadir
Para undangan hadir
Mencari nikmat bibir
Sebagian menunggu TH-iR

Buka bersama di bagong catering
Ramai bukan main
Di bawah terop neon neon
berjejer
Menerangi wajah lugu dan sayu
Tubuh kering dan kerontang
Dan perut perut buncit jelmaan
kapitalis

buka bersama di bagong catering
Pujian menggema
khutbah agama menggelora
Memasuki lubang2 daun telinga
sang jelata, sang sayu, sang
kerontang dan perut buncit
pemilik tahta.

Pak kyai yang pintar,
Di depan ribuan mata membaca
mantra
Sesekali tertawa menghapus luka
lama

Bulan ramadhan
berkah sementara wajah tak
berdosa
Lebaran tiba, pintu duka kembali
terbuka

Buka bersama di bagong catering
Kita berdoa untuk sesama. Amin

Semarang, 20 juli 2014

Jiwa yang Terpotong

Jiwa yang Terpotong

Satu kata telah kau dengar Sabagai sapa kau aku kenal Lebih dalam Lebih nyaman Dalam bingkai janur anyam

Inilah aku dan jiwa yang terpotong Mengajimu dalam ruang tanpa waktu dalam huruf tanpa harkat Dengan burung tanpa sayap, aku tertatih dalam terbang penuh khayal

Dalam kebisuan kau tumpahkan keganasan

Kita saling tahu tapi tidak saling sapa, saling sapa tapi tidak saling senda, saling senda tapi dalam dusta

Dan dalam dusta aku ridho. Bukankah engkau dan aku percaya Bahwa senja belum menua

kita pun akan sama tahu, dalam tawa atau derita.

Telahku kehilangan kata Dan makna dari berita Tentangmu yang belum diraba

Aku terdiam di kediaman yang sama.

Semarang, 20 juli 2014

Selamat Untuk IRM

Hari ini jumat pertama sejak kepulanganku pada hari rabu yang lalu.
Pagi hari yang tampak seperti biasa. Hening dan syahdu. orang-orang sibuk dengan aktifitas masing2, di sawah, di pasar, di kebun, mungkin juga masih di tempat tidur. Di siang hari mereka akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jumat. Sebagian yang lain mungkin ada yang tertidur karena merasa lelah bekerja. Para wanita akan menikmati istrahat lebih awal karena tak punya kewajiban shalat jumat.


Sejak pagi hari, waktuku lebih banyak digunakan untuk istirahat, tidur. Tak ada pekerjaan yang harus aku lakukan. Liburan di rumah menjadi semacam pesta tubuh dan pikiran untuk beraktifitas tak begitu berat. Ini terjadi setiap waktu.

Aku terbangun setengah jam sebelum shalat jumat dilaksanakan. Setelah itu mandi, bersiap siap dan tiba di Masjid ketika khotib suda berdiri di atas mimbar, membaca khutbah. Di depan masjid seorang teman menyalamiku. Ia mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, satu tahun lebih muda dari padaaku yang masuk IAIN Semarang pada tahun 2010.

Shalat jumat selesai, aku tak langsung pulang. Di serambi masjid aku duduk, berbincang2 kecil dengan teman yang tadi aku salami. Aku tidak tahu kalau di serambi masjid akan ada rapat. Rapat yang melibatkan dua golongan masyarakat, para pemuda dan sesepuh sekaligus tokoh masyarakat.

Terkejut bukan maen. Ada Perasaan mendalam yang lebih lekat dengan rasa bahagia. Temanku memberitahu bahwa baru2 ini sudah terbentuk Ikatan Remaja Masjid (IRM) Muncek Timur. Rapat itu dalam rangka meminta ijin dan pertimbangan kepada sesepuh untuk mengadakan pengajian akbar.

Sejak beberapa tahun silam hingga hari ini ide semacam itu telah mengendap di kepalaku. Satu keinginan untuk mengadakan organisasi kepemudaan, satu cita2 untuk mengadakan gerakan kepemudaan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat dan satu mimpi untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya di desa Muncek Timur.

Kini keinginan itu sedikit demi sedikit mulai tersentuh walau tidak secara langsung dimulai dari tanganku sendiri. Aku senang, aku bangga kepada teman2 yang mendukung terbentuknya IRM. Dalam sejarahnya masjid telah menjadi pusat perkumpulan dan kegiatan kaum muslim. Masjid yang semula hanya dimanfaatkan untuk kegiatan ibadah ukhrawiyah meluas pada kegitan lain yang bersifat kemasyarakatan, pendidikan dll.
Yang saya harapkan juga demikian. IRM nanti dapat benkontribusi lebih banyak dan lebih menyentuh pada kebutuhan masyarakat, dari seluruh aspeknya.

Moncek Timur adalah tempat kelahiran kita. Di pundak kita pula kemajuan diletakkan. Selamat datang IRM. Kelahiranmu adalah mimpi yang selama ini selalu di harapkan menjadi kenyataan.

Moncek Timur, 25 Juli 2014

Selamat Datang Di Desa Moncek Timur

Setelah sekitar jam 16 jam dalam perjalanan, akhirnya sampai juga di kampung halaman. Sekitar jam 09.00 wib aku lepas dari kota Semarang menuju Surabaya. Dari Surabaya melanjutkan perjalanan menuju pulau Madura. Turun di daerah kecamatan. Dari kecamatan jemputan sudah menunggu. Mas Abudul yang menjemputku malam ini. Adekku herman menyusul di belakang. Kami akhirnya di pertemukan dirumahnya. Jam 23. 20 wib baru tiba di rumah yang terletak di atas bukit, di desa Muncek Timur Lenteng Sumenep Madura.
Perjalanan terlambat sekitar 4 jam dari waktu normal, 12 jam.


Suasana kampung sudah hening dan sunyi. Hanya nyanyian malam oleh binatang kecil yang masih setia menajaga kekhasan. Sepertinya memang tak banyak perubahan pada kampung ini. Suasanya masih sama seperti dulu. Alami.

Tak seperti di kota, Di kampung tak ada kebisingan pada malam hari. Tak ada mobil2 besar pengankut barang. Tak ada tongkrongan yang masih ramai. Tak ada satpam yang berjaga seperti di perumahan. Kampung dengan kesunyiannya. Sehingga dengan mudah dibedakan antara siang dan malam.

Saat ini musim tembakau. Dari ujung barat, timur, utara dan selatan tanaman tembakau sudah besar. Daunya hijau dan segar. Belum ada yang panen karena belum waktunya. Para petani barangkali telah tertidur pulas setelah setelah seharian menguras keringat demi tembakau, agar jika telah sampai pada waktu panen dilirik oleh pedagang dengan harga mahal.

Sekitar 100 m sebelum sampai di rumah, di depan masjid kerumunan pemuda berkumpul. Mereka adek2 kelas ketika di sekolah 4 tahun silam. Mereka kusalami satu persatu. Sesekali keluar candaan hangat.

Di rumah aku disambut bapak. Beliau belum tidur. Beberapa saat ibu terbangun menyambut kedatanganku. Kami kemudian berbincang sebentar. setelah itu aku menuju ke rumah saudara ibu, bibi, yang memang tempat tinggalku sejak kecil. Rumahnya tak begitu jauh. Sekitar 300 M. Disana aku disambut Om. Bibi, nenek, si kecil ari dan masnya Dayat sudah tertidur pulas.

Selamat malam kampungku. Aku kembali kepangkuanmu. Pagimu aku tunggu, wajah cerahmu aku nanti.

Muncet Timur, 24 Juli 2014
[02:29]

Pesona Terminal Bungurasih

Disinilah orang orang itu harus singgah terlebih dahulu untuk melanjutkan perjalanan dari daerah ke daerah, dari satu kota ke kota lain, dari desa ke kota atau dari kota ke desa. Bus bus berjejer sesuai rute perjalanan. Para pendatang hilir mudik tanpa peduli siapapun kecuali maksud yang hendak dituju sejak keluar halaman rumah. Sebagian tampak lihai tanpa peduli beberapa orang yang menyapa.


Bagi sebagian yang blum berpengalaman ia akan tampak bingung. Ternyata rekaan yang diangankan sebelumnya tak sesempit apa yang dipikirkan. Ini juga yang memberi peluang bagi orang malas bekerja keras untuk memanfaatkan kesempatan, menipu. Calo2 berkeliaran di setiap tempat macam ini. Biasanya pura2 berperan sebagai dewa penolong. Mengatasi kebingungan pendatang, menjadi penunjuk arah, menawarkan jasa secara paksa.
Para pegang asongan juga sibuk menawarkan dagangan. Mulai dari penjual es, kopi, buah, jajanan ringan, tasbih, dmpet, peci, kaos dan lain lain.

Para pengamen sibuk memetik gitar. Mulai dari yang suara fals sampai suara lembut. Mulai yang berpenampilan urakan sampai yang berpenampilan mecing.

Pesona terminal Bungurasih tak banyak berubah secara sosial, sejak aku mulai mengenalnya beberapa tahun silam. Hanya beberapa tempat yang mulai di renovasi, dipoles, dibangun, dipercantik agar tanpak menor seperti wanita2 yang tak sidikit dapat dijumpai di berbagai tempat. Ketika saya singgah di tempat ini selalu ada perubahan di bidang infrastruktur.

Tak tampak perubahan secara sosial. Semacam keramahan lingkungan. Senyum manis dari para pelayan seperti di mall2. Tak jarang pada ribut menawarkan jasa. Setiap beberapa langkah selalu ada pertanyaan yang di ulang2 oleh orang yang berbeda. Bahkan tak segan memaksa tanpa tau keinginan para pengunjung.

Ingatanku melompat ke satu waktu beberapa tahun silam, ketika sesorang memaksa saya untuk menaiki bisnya. Aku sempat mau ribut lantaran tak suka dipaksa. Dan Ketika itu, aku dan beberapa orang teman masih hendak menikmati pesona terminal, menyaksikan lalu lalang para pengunjung. Tapi tiba orang itu menarik narik lenganku. Aku melepas tarikannya. Ia tampak emosi. Lekas2 pula aku menghindar.

Beberapa tahun sebelumya tiba2 tiba ada orang yang sok baik menawarkan jasa. Ia merayu dan menjanjikan fasilitas yang memuaskan. Aku yang belum tahu apa2 hampir saja tertipu, setelah tahu ongkos yang harus dibayar harus berlipat dari biasanya.

Terminal memang selalu demikian. Dipenuhi sampah2 masyarakat. Di penuhi kemunafikan. Dipenuhi kebiadaban. Pintar2 para pengunjung harus bersikap. Agak smbong lebih pantas. Sok tahu lebih baik. Demi menghidari kejahan.

Surabaya, 23 Juli 2014

Mudikku Ke Kampung Halaman

Catatan pagi di atas bis, 23 Juli 2014
Akhirnya mudikpun terlakasa. Saat ini Aku dan temenku Hasan sudah menuju surabaya. Bis yang kami tumpangi start jam 08.53 wib dari lapangan Kali Sari Semarang.



Berbeda dengan tahun lalu, mudik kali ini tanpa mengeluarkan biaya kecuali sedikit. Untuk mengurangi angka kecelakaan, PT Jasa Raharja menyediakan mudik gratis bagi masyarakat yang ingin pulang ke kampung halaman. Jasa raharja menyediakan ribuan tiket ke 27 kota di jawa timur dan jawa barat.

Program ini bersekala nasional, tak hanya di jawa tengah. Ada sekitar 27 ribu tiket yang disediakan di seluruh Indonesia. Di jawa tengah pemudik yang ikut program ini hanya 500 orang. Akhirnya bis yang kami tumpangi hanya berisi 13 orang termasuk anak kecil, bapak2, ibu2, mas mas dan mbak2. Bis yang ditumpangi temenku tujuan blitar justru lebih sedikit, tak lebih dari 10 orang.

Secara perhitungan rugi. Ada banyak kursi yang mubadzir. Tidak bermanfaat. Entah karena sosialisasi kurang, para pemudik sedikit, atau para pemudik sudah tidak tertarik dengan program gratis. Sehingga pendaftar program ini tidak melebihi target yang diinginkan PT Jasa Raharja.

Aku duduk di kursi nomer 5 dari depan. Di samping kananku hasan tanpak menikmati musik yang di putar di depan. Judulnya "Sehidup semati", dinyanyikan oleh Didi Kempot.

"cinta kita tak perpisahkan walau di akhir zaman" demikian salah satu kutipan liriknnya.

Sungguh lagu yang sangat romantis dan menyentuh. Tentang kesetiaan. Akupun menikmatinya. Suasanya di atas bis menambah kenikmatan. Lagunya agak melo.

Ah, Aku jadi kasian pada orang di depanku. Dia mesti tak menikmati indah lagu itu. Kulihat ia tertidur pulas padahal bis baru saja berangkat. Sekitar setengah jam yang lalu. Atau jangan2 ia lebih menikmati dari pada aku hingga ia sampai tertidur? Kalau begitu aku kalah berarti dalam soal nikmat menikmati.

Aku masih dalam diam, duduk dengan lutut ditekuk. Kulihat bunyi plastik dari arah kiri. Ah, ternya tante2 lagi menikmati roti. Aku jadi teringat roti yang ada di tas.

"sabar ya roti. Nanti kalau sudah adzan magrib kamu pasti kuhajar juga"

Tante berkacamata itu tidak puasa. Barangkali saja ia non muslim. Atau mungkin karena perjalanan jauh, demi menjaga kesehatan. Mungkin saja.

Ternyata ada aneka ragam orang di dalam bis ini. Namun demikian kami punya tujuan yang sama. Keselamatan sampai tempat tujuan

"subhanalladzi sakhhoro lana hadza wama kunnaa lahuu mukriniin"

Selamat Malam Madura

Selamat Malam Madura

Malam terakhir menjelang mudik. Menikmati kopi Cappo Cino di sebuah kafe mini di daerah Ngaliyan. Kafe Pakde Ikan. Terletak di sebuah perumahan di BPI. Aku, Hasan dan Badrun. Kami berkumpul tanpa ada maksud dan tujuan serius. Menikmati malam terakhir saja.
Tak banyak orang malam ini. Tak seperti biasanya. Hanya 2 orang laki2 di samping kiri. 
Seperti, tempat ini memang terkhusus untuk kami.


Di pojok bagian depan ada dua orang wanita tengah membincangkan sesuatu. Satu wanita tak lain penjaga kafe. Seperti biasa, ia tampil dengan kacamata. Cantik dan tubuhnya seksi. Rambutnya lurus tanpa tutup kepala. Sesekali ia memainkan gelas plastik di depannya. Dia mesti tak tahu kalau di depannya, agak nyamping, aku memasukkan dia dalam catatan ini. Akupun tak memberitahunya.

Di belakang kami dua wanita. Ia juga penjaga kafe. Tak jelas apa yang mereka lakukan. Hanya sesekali terdengar tawanya, menyumbang bunyi tempat ini.

Kami kawan seperjuangan memang selalu berkumpul. Tak menunggu agenda penting. Bahkan kami menganggap ada yang lebih penting dari kebersamaan. Kebersamaan yang natural. Ia akan membentuk ikatan emosional, solidaritas yang tinggi. Tak sekadar formalitas atau hubungan profesi.

Kami anak rantau mencintai kampung halaman. Merindukan saudara-saudara. Mencitai kalian semua, madura. Besok pagi sapaku padamu akan sampai untuk kesekian kali sejak aku di sini, Semarang. Peluk dan dekaplah kami dengan hangat agar cinta ini tak pernah mengurang. Rindu kami tak pernah pupus dan harapanmu suatu saat akan terwujud.

Selamat malam tanah
Selamat malam pohon
Selamat malam laut
Selamat malam garam
Selamat malam tembakau
Selamat malam ladang
Selama malam jalan
Selamat malam warung kopi
Selamat malam bapak tani
Selama malam pedagang
Selamat malam bajingan
Selamat malam pak kyai
Selamat malam pak ustad
Selamat gedung
Selamat malam bangunan2
Selamat malam musolla
Selamat malam Madura

Selamat malam. Selamat malam Sampai pagi. Kita akan berada dalam kebersaman dalam banyak  waktu.

Semarang, 22 Juli 2014

Selasa, 08 Juli 2014

Perempuan Romantis, Sepucuk Surat yang Perlu Engkau Tahu


Semarang, 06 Juli 2014

Perempuanku,
Sejak engkau mulai merasakan segarnya udara di dunia
Telah kau tentukan pula keinginan dan kemauan
tentang hidup yang sejatinya.

Hidup sebagai fitrah bahwa engkau adalah wanita yang berhak diperlakukan dengan adil dan nyaman hingga engkau merasa senang.

Engkau inginkan romantisme hidup,
Engkau inginkan pula pujian dan manjaan.

Engkau inginkan mentari,
dan sinarnya menghangatkanmu kala siang datang,
Dan  bulan,
menjadi penyejuk badanmu kala malam mulai terlentang

Kau inginkan lelaki,
yang dapat memperlakukanmu seperti hiasan berharga
Dan engkau rindukan pula sosok pasangan yang selalu mengerti setiap keinginanmu.

Perempuanku,
Perlu engkau tahu bahwa hidup adalah tantangan
Mentari pagi tak mesti memberi hangat dan rembulan tak selalu indah menghias malam.

Begitupun alam.
Ia akan memaksamu untuk berubah, bergantung dimana engkau hidup
dan di titik bumi bagian mana bapak-ibumu melahirkan.

Sewaktu-sewaktu engkau akan dirubah oleh waktu,
lingkungan dan keadaan.

Engkau bisa sangat mudah mengeluarkan kata kotor dan tabu,
yang tak sedap untuk diperdengarkan.

Engkau bisa saja menjadi sangat keras,
dan berfikir lebih panjang untuk masa depan,
dan engkau pun mempersiapkaanya jauh-jauh hari untuk benteng penjaga

Bisa pula engkau selalu bergonta-ganti pasangan
untuk kau jajaki demi kau cari sebuah kesetiaan.

Ketika itu,
engkau akan tunduk dan pasrah setelah pada lelaki yang mengerti mimpi-mimpimu manis, yang kau inginkan

Perempuaku,
Lewat sepucuk surat ini kukabarkan
Bahwa waktu, lingkungan, dan keadaan tak mendidikmu begitu keras dan panas
Engkau pun kokoh dengan fitrahmu, menjadi wanita lembut, santun dan anggun,
tanpa kata kotor,
tanpa hasrat sekadar coba-coba dalam hubungan,
walau di satu sisi kau bersikap lebih pasrah atas masa depan

Engkau sopan dalam laku,
santun dalam tutur, dan
sederhana dalam hidup, tak suka bersolek ala waniti masa kini:

yang berlebihan,
yang suka menghias tubuh dengan gaun-gaun anggun,
yang memoles kedua pipi dengan bedak-bedak kelas elite,
yang memamerkan jari lentikknya dengan cat, dan
yang selalu membasahi bibir dengan lipstik yang tak begitu kentara
agar terlihat sangat manis.

Engkau adalah wanita sederhana tanpa tampilan berlebih,
yang selalu bermimpi tentang lelaki sempurna,
yang datang secara alami atau engkau sendiri yang menyiptanya.

Perempuanku,
Kerinduamu tentang lelaki punjaan adalah mimpimu setiap malam
Hingga ketika siang menyambang,
engkau selalu melihat pada setiap lelaki yang kau temui.

Tentang lelaki sempurna,
tentang lelaki romantis,
tentang lelaki tangguh yang tak mudah mengeluh atas lakumu,
tentang lelaki tegas yang dapat melindungimu,
tentang lelaki tegas yang membuat engkau aman dari mara bahaya, dan
tentang lelaki  yang dapat mengerti apa yang engkau ingin dan tidak engkau ingin di setiap masa yang tak pernah berhenti berjalan.

Perempuanku,
Kukabarkan kepadamu
Lelaki seberang kemaren sore,
di bawah lampu neon yang redup, di belakang tempatmu duduk ketika itu
Seorang gembala kuat yang satiap hari menggendong luka,
luka lama tinggalan kekasihnya yang telah berdusta
Dia sederhana,
tidak suka berpura-pura, dan
tidak terlalu berlebihan untuk meminta perhatian.
Aku ingin berbisik dan kukabarkan padamu, bahwa ia telah tahu banyak hal tentangmu:

bahwa engkau lebih suka dengan keadaan yang tenang di setiap kesempatan,
bahwa engkau senang mendapat masukan hangat atas sesuatu yang kurang baik yang engkau kenakan dan kerjakan,
bahwa engkau dengannya banyak persamaan,
bahwa engkau tak suka main-main dengan hubungan,
bahwa engkau tak tertarik jika dipuji terlalu berlebihan,
bahwa engkau lebih suka ketulusan dari pada tekanan,
bahwa engkau lebih suka kepribadian dari pada penampilan,
bahwa engkau butuh perlindungan,
bahwa engkau butuh ketegasan,

Dia juga tahu,
bahwa engkau adalah wanita romantis
yang dapat menyembuhkan luka dalam sejak masa silam