Haji
adalah rukun islam yang ke-5. Sebagai rukun maka hukum berhaji wajib bagi orang
islam. Rukun, jika mengacu pada pengetian kamus, menjadi syarat sahnya suatu pekerjaan.
Jika ada salh satu rukun yang tidak dipenuhi, maka sesuatu itu dianggap cacat,
rusak, atau tidak sah. Orang yang tidak melaksanakan ibadah Haji, sebagai rukun
islam, maka dapat dikatakan tidak sah, rusak atau cacat ia sebagai orang islam jika mengacu pada
pengertian ini.
Namun, tidak dalam kontek Haji. Sekalipun
ia menjadi rukun islam (kewajiban yang diperintah langsung oleh Allah) ada
syarat khusus yang harus dipenuhi. Ayat mengenai perintah berhaji berakhir pada
syarat khusus itu: man istatoo’a ilaihi sabilaa, bagi orang-orang yang
mampu.
Akhir ayat tersebut, dalam dugaan saya, Allah ingin menunjukkan kepada umat islam bahwa Haji merupakan ibadah yang (akan) berat untuk dilakukan. Tuhan telah jauh-jauh hari merancang bahwa umat islam akan tersebar-membeludak ke seluruh belahan dunia. Beratnya ibadah Haji ini, sekalipun telah menjadi rukun bagi orang islam, tidak lantas menjadi paksaan yang tidak boleh tidak, harus, dan wajib bagi setiap individu. Karena berat, maka hanya orang yang mampu saja yang wajib berhaji.
Haji menuntut kemampuan fisik yang berupa materi, perjalanan dan kesehatan si calon haji. Ada pengorbanan waktu dalam melaksanakan ibadah terjadwal itu, di sisi yang lain, khususnya bagi orang-orang islam di luar non Arab. Indonesia misalnya.
Akhir ayat tersebut, dalam dugaan saya, Allah ingin menunjukkan kepada umat islam bahwa Haji merupakan ibadah yang (akan) berat untuk dilakukan. Tuhan telah jauh-jauh hari merancang bahwa umat islam akan tersebar-membeludak ke seluruh belahan dunia. Beratnya ibadah Haji ini, sekalipun telah menjadi rukun bagi orang islam, tidak lantas menjadi paksaan yang tidak boleh tidak, harus, dan wajib bagi setiap individu. Karena berat, maka hanya orang yang mampu saja yang wajib berhaji.
Haji menuntut kemampuan fisik yang berupa materi, perjalanan dan kesehatan si calon haji. Ada pengorbanan waktu dalam melaksanakan ibadah terjadwal itu, di sisi yang lain, khususnya bagi orang-orang islam di luar non Arab. Indonesia misalnya.
Kemampuan berhaji akan mengalami
pengertian yang lebih luas sejalan dengan perkembangan zaman seperti sekarang,
dimana, setelah agama islam menyebar luas ke berbagai pelosok dunia dengan
milliyaran pemeluk.
Salah satu contoh: karena merebaknya
gairah umat islam untuk berhaji, pemerintah Arab Saudi perlu membatasi kuota
setiap negara untuk memberangkatkan warganya baitullah. Pembatasan kuota ini,
sudah pasti, akan menumpuk antrean
calon jamaah di setiap negara. Indonesia termasuk negara yang telah menampung
calon jamaah haji dengan jadwal keberangkatan terakhir tidak kurang dari 10-15
tahun mendatang. Antrean ini akan
terus bertambah sejalan dengan bertambahnya umat islam dan gairah untuk
berhaji. Kita sama-sama akan menyaksikan calon haji yang akan berangkat 15 tahun
mendatang. Jika sebagian mereka belum meninggal dunia, sebelum akhirnya naik
haji, maka kemampuan fisiknya sudah menurun. Mereka yang mendaftar berusia 40
tahun, kini, mereka akan baru berangkat setelah usianya menginjak 65 tahun.
Ketidakmapuan fisik, di sini, akan menggurkan kewajiban-paksaan berhaji.
Mereka yang meninggal sebelum naik haji,
padahal secara fisik dan meteri sudah siap berhaji, maka tidak bisa dikatakan
telah rusak, cacat, karena tidak memenuhi rukun dalam agamanya, islam. Dalam
hal ini hukum haji, dapat dikatakan, sah walau hanya pada tataran niat. Kewajiban
gugur karena keterbatasan waktu. Waktu tak mengizinkan walau materi dan fisik
sudah memenuhi. Sedangkan mereka yang
mampu secara ekonomi, namun tidak mampu secara fisik juga tidak (dipaksa) wajib
berhaji. Yang terakhir ini kemungkinan besar akan dialami oleh umat islam
Indoensia yang harus antre belasan
tahun padahal usia mereka, kini, sudah menginjak 40 tahun atau lebih.
Maka, di satu sisi, cukup beralasan jika
Ade Armando dalam satu tulisannya di Madina Online Meninjau Kembali Hukum Wajib Haji Saat ini, ingin menimbang ulang
kewajiban berhaji. Namun, Dosen Kumunikasi Massa Universitas Indonesia itu
justru mendapat cercaan banyak orang di media sosial. Ia diangaap kafir, murtad
tulen, koplak, dan sebagian lagi
mempertanyakan keislaman Ade. Singkatnya, kata mereka, tuhan sepertinya telah
sia-sia menciptakan Ade. Bukan menjadi khalifah yang baik di bumi, melainkan
justru merusak dan dianggap telah menggerogoti ajaran islam.
Ade, dalam pengamatan saya setelah
membaca beberapa tulisannya, berangkat dari semangat sosial dan kebangsaan.
Agama, bagi Ade, tidak mungkin lepas dari itu. Ia mencoba menimbang ulang
ajaran agama, dalam hal ini Haji, ketika ia memberi kemudlarotan bagi pemeluknya. Ia mengamati insiden mengerikan,
selama beberapa dekade, haji telah merenggut jutaan nyawa umat islam (Maaf, ini
tidak sedang berbicara mengenai takdir datangnya ajal).
Di lain pihak, kita akan ditunjukkan pada
sebuah pekerjaan yang, menurut Ade, lebih penting dan mendesak untuk segera
dicarikan solusi: kemiskinan yang me-menderita-kan jutaan umat di Indonesia.
Saya menangkap, bagi Ade, mengatasi kemiskinan jauh lebih penting dari pada
mengeluarkan uang untuk berhaji. Ia seperti ingin mengatakan, haji lebih kepada
kepentingan individu dengan tuhan, sedangkan membatu orang miskin lebih
berdimensi sosial dan juga tidak keluar juga dari dimensi ketuhanan. Haji juga merupakan
bagian dari perintah tuhan yang, sama penting-wajibnya. Untuk mengatasi itu
diperlukan kerja kolektif oleh masyarakat.
Insiden jatuh crine di masjidil haram,
lalu disusul dengan tragedi mina yang merenggut jutaan umat islam memang masih
menjadi trending topik. Setiap orang punya komentar, entah yang punya otoritas atau
tidak. Yang tak bisa mengemukakan gagasan cemerlang dan berdasar, yang bisanya
hanya memaki dan menghujat, mereka bergerak dibidangnya: mencaci, menghujat dan
menyalahkan. Penghujat Ade contohnya.
Yang tak gampang emosional tentu akan
bersikap lebih elegan: membaca dan menelaah setiap gagasan yang muncul ke
permukaan. Yang punya kebijakan akan mengunakan kebijakannya untuk ini.
Presiden, wakil presiden, atau DPR, misalnya, mendesak atau peminta pemerintah
arab Saudi untuk memeperbaiki pengelolaan ibadah haji agar kejadian serupa tak
kembali terulang di masa yang akan datang. Yang punya kemampuan bidang agama
juga akan mencari jalan untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap masalah
ini. Mengkaji ulang waktu haji, misalnya, seperti wawancara Ulil Absar Abdalla
dengan Masdar F. Mas’udi.
Haji, kata Masdar, sah dilakukan
sepanjang waktu tiga bulan: syawal,
dzulhijjah, dan dzulqa’adah. Tidak terbatas pada waktu lima hari efektif,
9-13 Dzulhijjah. Masdar menggunakan dalil Al Qur’an ayat 197 surat Al Baqarah: “Waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah
maklum”.
Saya melihat, ada kesadaran kolektif
bahwa pelaksanaan ibadah haji, kini, telah menemukan kesulitan. Pelaksaan
ibadah semestinya dijalankan secara khusuk dan nyaman. Pelaksanaan tak
sewajarnya berbuntut korban jiwa-kematian. Dan kita tidak pernah melihat ini
sejak bebera puluh tahun terakhir. Kematian umat islam di tanah suci berulang
saban tahun. Inilah yang, paling tidak, menjadi alasan Ade Armando, Masdar F.
Mas’udi dan yang lainnya ingin mengkaji ulang (pelaksanaan) Ibadah Haji.
Antara Ade dan Masdar memang memiliki
backgroud pendidikan yang berbeda. Maka menjadi wajar jika semangat yang mereka
usung tak mungkin sama persis. Ade berangkat dua masalah: polemik haji dan
kemiskinan di Indonesia. Sedangkan Masdar hanya berangkat dari polemik
pelaksanaan ibadah haji setiap saat.
Sekalipun demikian, kita harus mengakui bahwa
Ade Armando memang terkesan tergesa-gesa. Jika waktu haji dapat ditinjau ulang
untuk mengatasi polemik haji, maka kurang bijak jika kita menggugurkan
kewajiban umat islam itu.
Ade juga bukan seorang Agamawan. Wajar
jika kemudian mendapat kecaman karena, memang, kontroversial. Dan, secara tidak
langsung, ia ingin mencabut doktrin agama yang sudah mengendap dipikiran umat
islam berabab-abad lamanya. Ditambah, sikap sebagian umat islam indonensia yang
terkadang anti toleransi dan cenderung emosional dalam merespon gagasan baru.
Saya hanya membayangkan, seandainya
mereka bisa berdialog dengan tenang, berargumen dengan dasar-dasar pula,
berkomentar dengan ide-ide cemerlang dan berdasar yang kuat, maka kita akan
banyak belajar dari gagasan-gagasan itu untuk kemuadian kita pertimbangkan:
siapa, yang mana, gagasan yang lebih mendekati kebenaran. Jika tidak didapatkan
titik temu, bagaimana alternatif solution
selanjutnya untuk memecahkan persoalan yang tengah melanda umat islam, kini.
Yang tak punya kekuatan-kebijakan, yang
tak punya kemampuan di bidang agama, yang tak punya gagasan cemerlang dan
berdasar, yang tak punya alternatif solusion, lalu ngapain?
Tempat anda di sini, bersama saya. Mari ngopi, sambil ngobrol, kita belajar
dari mereka yang berpengalaman dan berpengetahuan.Semarang, 28 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar