Senin, 28 September 2015

Mari Ngopi, Sambil Ngobrol Polemik Haji



Haji adalah rukun islam yang ke-5. Sebagai rukun maka hukum berhaji wajib bagi orang islam. Rukun, jika mengacu pada pengetian kamus, menjadi syarat sahnya suatu pekerjaan. Jika ada salh satu rukun yang tidak dipenuhi, maka sesuatu itu dianggap cacat, rusak, atau tidak sah. Orang yang tidak melaksanakan ibadah Haji, sebagai rukun islam, maka dapat dikatakan tidak sah, rusak atau cacat  ia sebagai orang islam jika mengacu pada pengertian ini.

Namun, tidak dalam kontek Haji. Sekalipun ia menjadi rukun islam (kewajiban yang diperintah langsung oleh Allah) ada syarat khusus yang harus dipenuhi. Ayat mengenai perintah berhaji berakhir pada syarat khusus itu: man istatoo’a  ilaihi sabilaa, bagi orang-orang yang mampu. 

Akhir ayat tersebut, dalam dugaan saya, Allah ingin menunjukkan kepada umat islam bahwa Haji merupakan ibadah yang (akan) berat untuk dilakukan. Tuhan telah jauh-jauh hari merancang bahwa umat islam akan tersebar-membeludak ke seluruh belahan dunia. Beratnya ibadah Haji ini, sekalipun telah menjadi rukun bagi orang islam, tidak lantas menjadi paksaan yang tidak boleh tidak, harus, dan wajib bagi setiap individu. Karena berat, maka hanya orang yang mampu saja yang wajib berhaji. 

Haji menuntut kemampuan fisik yang berupa materi, perjalanan dan kesehatan si calon haji. Ada pengorbanan waktu dalam melaksanakan ibadah terjadwal itu, di sisi yang lain, khususnya bagi orang-orang islam di luar non Arab. Indonesia misalnya. 
Kemampuan berhaji akan mengalami pengertian yang lebih luas sejalan dengan perkembangan zaman seperti sekarang, dimana, setelah agama islam menyebar luas ke berbagai pelosok dunia dengan milliyaran pemeluk. 
Salah satu contoh: karena merebaknya gairah umat islam untuk berhaji, pemerintah Arab Saudi perlu membatasi kuota setiap negara untuk memberangkatkan warganya baitullah. Pembatasan kuota ini, sudah pasti, akan menumpuk antrean calon jamaah di setiap negara. Indonesia termasuk negara yang telah menampung calon jamaah haji dengan jadwal keberangkatan terakhir tidak kurang dari 10-15 tahun mendatang. Antrean ini akan terus bertambah sejalan dengan bertambahnya umat islam dan gairah untuk berhaji. Kita sama-sama akan menyaksikan calon haji yang akan berangkat 15 tahun mendatang. Jika sebagian mereka belum meninggal dunia, sebelum akhirnya naik haji, maka kemampuan fisiknya sudah menurun. Mereka yang mendaftar berusia 40 tahun, kini, mereka akan baru berangkat setelah usianya menginjak 65 tahun. Ketidakmapuan fisik, di sini, akan menggurkan kewajiban-paksaan berhaji. 
Mereka yang meninggal sebelum naik haji, padahal secara fisik dan meteri sudah siap berhaji, maka tidak bisa dikatakan telah rusak, cacat, karena tidak memenuhi rukun dalam agamanya, islam. Dalam hal ini hukum haji, dapat dikatakan, sah walau hanya pada tataran niat. Kewajiban gugur karena keterbatasan waktu. Waktu tak mengizinkan walau materi dan fisik sudah memenuhi.  Sedangkan mereka yang mampu secara ekonomi, namun tidak mampu secara fisik juga tidak (dipaksa) wajib berhaji. Yang terakhir ini kemungkinan besar akan dialami oleh umat islam Indoensia yang harus antre belasan tahun padahal usia mereka, kini, sudah menginjak 40 tahun atau lebih.
Maka, di satu sisi, cukup beralasan jika Ade Armando dalam satu tulisannya di Madina Online Meninjau Kembali Hukum Wajib Haji Saat ini, ingin menimbang ulang kewajiban berhaji. Namun, Dosen Kumunikasi Massa Universitas Indonesia itu justru mendapat cercaan banyak orang di media sosial. Ia diangaap kafir, murtad tulen, koplak, dan sebagian lagi mempertanyakan keislaman Ade. Singkatnya, kata mereka, tuhan sepertinya telah sia-sia menciptakan Ade. Bukan menjadi khalifah yang baik di bumi, melainkan justru merusak dan dianggap telah menggerogoti ajaran islam.
Ade, dalam pengamatan saya setelah membaca beberapa tulisannya, berangkat dari semangat sosial dan kebangsaan. Agama, bagi Ade, tidak mungkin lepas dari itu. Ia mencoba menimbang ulang ajaran agama, dalam hal ini Haji, ketika ia memberi kemudlarotan bagi pemeluknya. Ia mengamati insiden mengerikan, selama beberapa dekade, haji telah merenggut jutaan nyawa umat islam (Maaf, ini tidak sedang berbicara mengenai takdir datangnya ajal).
Di lain pihak, kita akan ditunjukkan pada sebuah pekerjaan yang, menurut Ade, lebih penting dan mendesak untuk segera dicarikan solusi: kemiskinan yang me-menderita-kan jutaan umat di Indonesia. Saya menangkap, bagi Ade, mengatasi kemiskinan jauh lebih penting dari pada mengeluarkan uang untuk berhaji. Ia seperti ingin mengatakan, haji lebih kepada kepentingan individu dengan tuhan, sedangkan membatu orang miskin lebih berdimensi sosial dan juga tidak keluar juga dari dimensi ketuhanan. Haji juga merupakan bagian dari perintah tuhan yang, sama penting-wajibnya. Untuk mengatasi itu diperlukan kerja kolektif oleh masyarakat.
Insiden jatuh crine di masjidil haram, lalu disusul dengan tragedi mina yang merenggut jutaan umat islam memang masih menjadi trending topik. Setiap orang punya komentar, entah yang punya otoritas atau tidak. Yang tak bisa mengemukakan gagasan cemerlang dan berdasar, yang bisanya hanya memaki dan menghujat, mereka bergerak dibidangnya: mencaci, menghujat dan menyalahkan. Penghujat Ade contohnya.
Yang tak gampang emosional tentu akan bersikap lebih elegan: membaca dan menelaah setiap gagasan yang muncul ke permukaan. Yang punya kebijakan akan mengunakan kebijakannya untuk ini. Presiden, wakil presiden, atau DPR, misalnya, mendesak atau peminta pemerintah arab Saudi untuk memeperbaiki pengelolaan ibadah haji agar kejadian serupa tak kembali terulang di masa yang akan datang. Yang punya kemampuan bidang agama juga akan mencari jalan untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap masalah ini. Mengkaji ulang waktu haji, misalnya, seperti wawancara Ulil Absar Abdalla dengan Masdar F. Mas’udi.
Haji, kata Masdar, sah dilakukan sepanjang waktu tiga bulan: syawal, dzulhijjah, dan dzulqa’adah. Tidak terbatas pada waktu lima hari efektif, 9-13 Dzulhijjah. Masdar menggunakan dalil Al Qur’an ayat 197 surat Al Baqarah: “Waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum”.
Saya melihat, ada kesadaran kolektif bahwa pelaksanaan ibadah haji, kini, telah menemukan kesulitan. Pelaksaan ibadah semestinya dijalankan secara khusuk dan nyaman. Pelaksanaan tak sewajarnya berbuntut korban jiwa-kematian. Dan kita tidak pernah melihat ini sejak bebera puluh tahun terakhir. Kematian umat islam di tanah suci berulang saban tahun. Inilah yang, paling tidak, menjadi alasan Ade Armando, Masdar F. Mas’udi dan yang lainnya ingin mengkaji ulang (pelaksanaan) Ibadah Haji.
Antara Ade dan Masdar memang memiliki backgroud pendidikan yang berbeda. Maka menjadi wajar jika semangat yang mereka usung tak mungkin sama persis. Ade berangkat dua masalah: polemik haji dan kemiskinan di Indonesia. Sedangkan Masdar hanya berangkat dari polemik pelaksanaan ibadah haji setiap saat.
Sekalipun demikian, kita harus mengakui bahwa Ade Armando memang terkesan tergesa-gesa. Jika waktu haji dapat ditinjau ulang untuk mengatasi polemik haji, maka kurang bijak jika kita menggugurkan kewajiban umat islam itu.
Ade juga bukan seorang Agamawan. Wajar jika kemudian mendapat kecaman karena, memang, kontroversial. Dan, secara tidak langsung, ia ingin mencabut doktrin agama yang sudah mengendap dipikiran umat islam berabab-abad lamanya. Ditambah, sikap sebagian umat islam indonensia yang terkadang anti toleransi dan cenderung emosional dalam merespon gagasan baru.
Saya hanya membayangkan, seandainya mereka bisa berdialog dengan tenang, berargumen dengan dasar-dasar pula, berkomentar dengan ide-ide cemerlang dan berdasar yang kuat, maka kita akan banyak belajar dari gagasan-gagasan itu untuk kemuadian kita pertimbangkan: siapa, yang mana, gagasan yang lebih mendekati kebenaran. Jika tidak didapatkan titik temu, bagaimana alternatif solution selanjutnya untuk memecahkan persoalan yang tengah melanda umat islam, kini.
Yang tak punya kekuatan-kebijakan, yang tak punya kemampuan di bidang agama, yang tak punya gagasan cemerlang dan berdasar, yang tak punya alternatif solusion, lalu ngapain?
Tempat anda di sini, bersama saya. Mari ngopi, sambil ngobrol, kita belajar dari mereka yang berpengalaman dan berpengetahuan.

Semarang, 28 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar