Jumat, 25 Agustus 2017

Menyadarkan Diri Menuju Kesadaran Tuhan

Sesungguhnya hidup tidaknya kita- manusia hanya berpangkal pada kesadaran. Kesadaran tertinggi adalah kesadaran tuhan yang kesemuanya berasal usul dari kesadaran diri.

Dialah kesadaran yang membuat kita tiada pernah guncang, gelisah dan gundah gulana. Sebab ada tali yang simpul menyinpul bahwa kita tiada sedetikpun pernah lepas dari tawanan. Tiada kebebasan yang sejatinya kebebasan. Kebebasan hanya bahasa manusia yang terbatas pada definisi dan kalimat-kalimat singkat.

Aku yang sadar atau engkau yang sadar atas diri selalu mengerti akan bisikan-bisikan nurani. Dia mula-mulanya bisikan murni soal baik-buruk atau apa yang seharusnya atau tidak seharusnya kita utamakan. Bahasa ilmiah mengumpamakannya dengan sebuah institusi hati nurani.

Kalau kita mendengar kabar baik dan seharusnya kita kerjakan lalu kita mengerjakannya sesungguhnya kita telah berada pada kesadaran ilahi itu. 

Ada tiga bisikan yang selalu menyertai diri. Bisikan itu mempengaruhi sampainya pada kesadaran diri atau sebaliknya. Mula-mula sebagaimana telah tersebut adalah bisikan tuhan atau nurani. Kemudian bisikan syahwat. Kemudian bisikan setan, pangkal sesat dan menyesatkan.

Bisikan yang tersebut terakhir boleh jadi tanpak sangat jelas diterka. Tetapi kedua dan pertama yang kadang kala absurd-amat sukar untuk dibedakan. Karena terkadang mewujud kebajikan.

Katakanlah kita sedang sibuk makan tiba-tiba terdengar suara adzan berkumandang, gusarkah kita atau tetap tenangkah kita karena jika lekas-lekas shalat khawatir bahwa shalat kita akan terganggu karena makanan.

Nurani sebetul-betulnya sadar bahwa shalat lebih baik. Tapi sebelum kebaikan terwujud perdebatan hebat terjadi dengan shawat. Akal kemudian mendorong dengan membuat analogi-analogi yang logis-masuk akal.

Situasi ini kadang kala juga kita temukan dalam kehidupan sehari-hari yang lain, misalnya, tatkala ada pengemis. Kita punya uang mula-mula kita terdorong untuk memberi. Kita berpikir kemudian dengan menganggap bahwa diri kita masih lebih butuh. 

Ditambah pengetahuan kita sebelumnya bahwa kita pernah melihat ditelevisi ada pengemis yang begitu kaya sehingga akhirnya kita tak jadi memberi. Maka saat inilah sebenarnya kita terjebak pada bisikan setan atau setidak-tidaknya bisikan syahwat yang disahkan oleh akal.

Maka tidak salah jika Hamka pernah memberi nasehat baik. Bahwa kadang kala kita perlu memilih pekerjaan yang lebih berat diantara dua pilihan. Sebab meskipun berat buahnya lebih manis. 

Kesadaran diri-kesadaran ilahi adalah dorongan bahwa kita memberi karena sebab nurani mendorongnya. Kita melakukan yang baik-baik itu karena sebuah kemuliaan. Bahasa sehari-hari kita menyebutnya dorongan moral yang bersumber dari nurani.

Kita melakukannya atau tidak bergantung pada: sedang ditingkat manakah kita sebenarnya. Setinggi-tinginya tingkat atau serendah-rendahnya. Kita sudah menyadari diri ataukah masih suka menyibukkan diri.

Katanya, manusia ada tingkat: mencari kesaktian (kesakten), mencari dunia untuk menfasilitasi kebaikan (kemoten), kemudian mencari kemuliaan (kemulyan). Yang tersebut terakhir kita telah sadar dan menikmati betul kehidupan, asal tidak dalam langkah yang menyebakan timbulnya kemarahan tuhan. Itu kesadaran diri, menyadari diri karena kesadaran tuhan dalam diri.

Makanya nabi bersabda: ketahuilah dirimu maka engkau akan tahu tuhanmu. Kita boleh menyebutnya ini bagian dari salah satu penekanan ajaran tasawuf. Tapi kita juga tak bisa menyangkal bahwa "mengetahui diri akan sampai pada pengetahuan tuhan" bukan mistis tapi sangat epistimologis dan logis.

Kesadaran tuhan (yakni kesadaran diri), berdampak pada ketenangan hidup. Kita tak merasa rendah dari yang lebih tinggi (karena status sosial). Juga tak gengsi ketika di tempat (yang mungkin dianggap) rendah karena tak pernah merasa tinggi.

Kosekuensi dari itu semua, maka sebenarnya kitalah itu kelompok elit menoritas, pejuang tersisa di sebuah negeri. Kelompok minoritas tak berati kelompok yang terpisah dari kelompok-kelompok besar atau dari kelompok yang semula utuh lalu terpecah. Namun, kelompok elit menoritas secara kualitas.

Kitalah itu bangsa Indonesia yang seharusnya dan sesungguhnya. Kelompok yang berdasarkan pancasila sejati: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan dan berkeadilan.

Mari kita belajar mengkaji diri dan sadar diri. 

_______________
Catatan lepas diskusi Gambang Syafaat: Pejuang yang tersisa. Masjid Baiturrahman Semarang, 25 Agustus 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar