Minggu, 11 November 2012

ANATOMI KEKERASAN PEREMPUAN

(Dimuat di Koran wawasan, rabu 14 juni 2012)

Ditengah banyaknya terobosan hukum yang berpotensi melindungi hak-hak perempuan, kekerasan masih kerap terjadi.  Perlakuan tak wajar sering kali menjadi kebiasaan buruk kaum lelaki. Dari sini, nasib perempuan tak ubahnya kucing, yang terkadang dielus dan terkadang pula dibuat mainan. Bahkan tak jarang kekerasan yang dialami kaum feminis berbuah
pada kematian.
Sungguh ironis jika kaum lelaki yang menurut beberapa sumber, baik agama maupun penelitian, diberi kemampuan lebih di beberapa aspek
semisal tenaga, belum tertransmisikan secara proporsional. Untuk melindungi perbuatannya itu, tak jarang doktrin agama dijadikan instrumen untuk membenarkan perbuatan mereka. Yang terakhir ini kerap dilakukan oleh mereka yang sudah mengarungi bahtera pernikahan. Padahal, Jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya perbuatan itu, disadari atau tidak, adalah bukti rendah dan piciknya kaum lelaki.

Penyebab Kekerasan
Dalam menganalisa penyebab kekerasan seksual, Abdul Wahid dalam buku Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan menyebut ada tujuh sebab kekerasan perempuan. Pertama, adanya pengaruh perkembangan budaya. Kondisi masyarakat yang kurang menghargai etika berpakaian rapi dan menutup aurat mendorong terciptanya kekerasan.
Kedua, berkembangnya gaya hidup dan pergaulan lawan jenis yang bebas. Sehingga hubungan tanpa batas yang tidak mengedepankan etika menyebabkan Seduktif rape. Ketiga, rendahnya pengamalan terhadap norma-norma keagamaan. Nilai agama semakin terkikis. Bersamaan dengan itu, pola-pola relasi horizontal semakin cendrung menafikan peran agama.
Keempat, rendahnya tingkat kontrol masyarakat. Berbagai prilaku yang dianggap menyimpang, melanggar hukum, norma kurang mendapat respon dan pengawasan ketat dari unsur-unsur masyarakat. Akhirnya, peluang untuk melakukan tindakan tak terpuji semakin mendapat ruang yang lebih luas.
 Kelima, adanya putusan Hakim yang kurang adil. Misal, putusan yang cukup ringan pada pelaku kekerasan. Putusan ini akan mendorong oknum-oknum lain untuk berbuat keji. Ketakutan akan sangsi hokum akan berkurang sebab ringannya sangsi yang diterima.
Keenam, ke-tidak-mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu. Nafsu dibiarkan mengembara dan menuntut untuk dicarikan kompensasi pemuasnya. Ketujuh,  tingginya keinginan untuk melampiaskan balas dendam terhadap sikap, ucapan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.
            Disisi lain, Stigma lemah bagi perempuan dibanding lelaki, tak pelak, juga mendorong timbulnya kekerasan. Seorang lelaki yang enggan mengindahkan tata nilai dan norma merasa memiliki kekuasaan untuk mewujudkan hasrat yang tengah membara. Akhirnya, pemaksaan menjadi terobosan utama ketika negosiasi gagal diwujudkan. Sehingga, kekerasan pun terjadi.
Sebenarnya ihwal kekerasan ini merupakan fenomena klasik. Kita tentu masih ingat, betapa kaum perempuan pada masa jahiliyah disiksa, bahkan ada yang dikubur hidup-hidup. Datangnya islam di muka bumi tak lain untuk membela persamaan derajat dan penghormatan yang tinggi bagi kaum wanita.
Kini, islam telah menyebar dan mengisi seluruh peradaban manusia. Maka satu konsekuensi yang seharusnya terjadi adalah enyahnya insiden-insiden dari kehidupan manusia. Apa lagi jika ditambah dengan semakin gencar  pembelaan terhadap perempuan yang digadang oleh berbagai pihak semisal Komnas Perempuan dan gerakan Feminisme. Kekerasan seharusnya telah menjadi sebuah history yang telah berlalu.
Namun, fakta dilapangan mempertontonkan, gencarnya pemebelaan itu berbanding lurus dengan kekerasan yang terjadi. Bahkan peran lembaga-lembaga itu nahas, tak membuahkan hasil yang maksimal. Kurva peningkatan kekerasan yang terjadi setiap tahun menjadi bukti kongkrit kurang maksimalnya fungsi lembaga anti kekerasan.
Data Legal Resourses Center Keadilan Jender dan HAM (LRC KJHM) menyebutkan kekerasan terhadap kaum wanita khususnya jawa tengah, periode 2010-2011, meningkat. Pada tahun 2010 kekerasan berjumlah 1.118 kasus, dan meningkat menjadi 1.280 kasus pada tahun 2011, 40 diantaranya meninggal. Selama periode Januari-Februari 2012 tercatat 322 kasus kekerasan (SM 09/03/2012).
Sementara, Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2011 yang tersebar di 33 provinsi menyebut ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2011. Jika diurai kekerasan yang terjadi 95.62 % terjadi di ranah domestik, 4,35% terjadi diranah publik dan 0,03% di ranah negara. Dalam ranah usia, rata rata mereka berumur 25-40 tahun. Sebanyak 87 kasus dialami perempuan dengan orientasi seksual, 4.335 kasus adalah kekerasan seksual diantaranya kekerasan diruang publik seperti pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual prostitusi dan pornografi yang berjumlah 2.937 kasus.
Terobosan Baru
 Seluruh masyarakat tentu menyadari betapa kondisi kaum hawa laiknya hewan piaraan yang di perlakukan secara tidak bebas dan dimanfaatkan bila diperlukan. Ibarat kata pepatah, “habis manis, sepah dibuang”. Bahkan sebagian mereka terus di intimidasi agar tak mau mengungkit apa yang terjadi pada pihak yang berwajib.
Jelas bahwa kekerasan terhadap kaum wanita merupakan tindak kriminal dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Amanat Undang-undang juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kenyamanan dan perlindungan hukum. Implikasinya, upaya perlidungan terhadap kaum perempuan itu, secara institusional mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah.
Saatnya pihak pemerintah menemukan trobosan baru sebagai langkah antisipatif meminimalisir kekerasan yang makin mengemuka belakangan ini. Lembaga anti kekerasan yang dibuat pemerintah bukan sekedar menerima laporan kemudian mengkalkulasi angka kekerasan yang terjadi setiap tahun. Berbenah diri dengan melakukan evaluasi secara continue mutlak diperlukan. Bahkan mereka dituntut terjun langsung dalam menindak lanjuti insiden buruk yang menimpa kaum hawa.
Bersamaan dengan itu juga, kaum perempuan harus berani bangkit, menolak kekerasan itu. Dalam bahasa Imminarti Fuad, Asdep perlindungan korban perdangan orang, perempuan harus “zoro tolerance” terhadap perlakuan kekerasan. Peringatan hari karti beberapa waktu lalu seharusnya menjadi sebuah iklim bahwa perempuan juga punya daya yang lebih disbanding kaum lelaki. Bukan sekedar rutinitas tahunan yang tidak memiliki efek berarti.
Selain itu, kesadaran masyarakat, khususnya kaum lelaki juga menjadi poin penting ihwal ini. Perlindungan terhadap perempuan adalah keniscayaan yang harus ditegakkan. Perempuan adalah perhiasan dunia yang harus dihargai, dilindungi dan dijunjung tinggi harkat dan martabatnya. Bukankah kita semua keluar dari “lubang” perempuan!

Miftahul Arifin, Pegiat Diros Putaka dan Peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.


Ijazah “Palsu” dan Kejahatan Intelektual


Oleh Miftahu Arifin
(Dimuat di Jateng Pos, Selasa 14 Juli 2012)

Google Photo
Terbongkarnya sindikat pembuat ijazah palsu yang diduga telah beroperasi sejak tahun 2011 oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu (SM, 23/05/2012) membuat penulis tergelitik untuk meneropong lebih jauh apa yang sesungguhnya terjadi, khususnya dengan pendidikan di Indonesia. Kesimpulan sementara, bahwa
lembaga pendidikan saat ini tak lagi dipandang sebagai satu medium pencetak manusia yang berkarakter, bermartabat dan memiliki loyalitas tinggi kepada masyarakat, bangsa dan negara. Lembaga pendidikan justru banyak dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan materi para pemangku kepentingan.
Senada dengan kasus di atas,  dapat kita simak, berapa banyak orang yang rela mengeluarkan puluhan juta demi mendapatkan selembar ijazah tanpa susah payah? Dengan ijazah, tentunya mereka punya satu kepentingan, baik menyangkut profesi kepentingan lain yang ujung-ujungnya adalat “duit”.
Jajaran birokrasi di lembaga pendidikan pun ikut andil dalam suksesi tersebut. Mereka tidak faham akan makna dan esensi sebenarnya dari selembar kertas yang diterima para sarjana saat upacara wisuda . Dengan seenaknya pihak perguruan tinggi mengeluarkan ijazah. Salah satunya dengan melancarkan keinginan pihak tertentu yang memerlukan ijazah dengan cara instan.
Fungsi Ijazah
Pada hakikatnya, ijazah merupakan legalitas yang “sakral” bagi para lulusan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi sebagai jenjang paling akhir. Ijazah menjadi tanda dan bukti kemampuan mereka. Dengan Ijazah itulah, secara tidak langsung, seseorang dinobatkan sebagai sarjana yang memiliki skill yang  tinggi dan ilmu yang mumpuni, sesuai dengan bidang studi yang ditekuni.
Dengan kata lain, ijazah adalah bukti kongkrit secara tertulis bahwa seorang sarjana dinyatakan siap untuk mengabdi kepada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat pun harus menganggap bahwa apa yang mereka dapatkan merupakan hasil jerih payah yang murni, yaitu selama kurang-kurangnya empat tahun di lembaga pendidikan.
Fungsi ijazah juga sebagai legalitas formal yang sangat penting ketika seseorang hendak melamar kerja. Bahkan, boleh dibilang, sia-sia berpengetahuan luas jika tidak memiliki ijazah. Mereka tidak akan dianggap karena di klaim sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan. Apa lagi jika melihat kenyataan saat ini. Jangankan tak punya ijazah, punya sekalipun akan dihadapkan dengan beragam tantangan dan kesulitan karena tidak memiliki teman yang bisa dimintai bantuan, alias melaui jalur belakang.
Ijazah menjadi sebuah alat ukur untuk mengetahui bagus dan tidaknya kemampuan seseoang. Kemampuan mereka akan diteropong dengan deretan angka yang tertera di dalamnya. Oleh karenanya, keseimbangan antara nilai-nilai yang tertera dalam ijazah dengan kemampuan yang dimiliki oleh para sarjana, tidak boleh tidak, mutlak perlukan. Karena alasan ini lah lembaga pendidikan tidak boleh sembarangan mengeluarkan ijazah. Apa lagi membuka peluang sistem “pesan” ijazah itu sendiri.
Namun, apa yang sering terjadi belakangan ini merupakan potret yang sangat menggelikan kita semua; bergam kebohongan dan kecurangan dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Transaksi jual beli ijazah seolah telah menjadi rahasia umum yang dilakukan oleh pihak tertentu di lembaga pendidikan.
Di sisi lain, marak juga jasa pembuatan skripsi atau tesis yang tak kunjung diberantas. Ijazah palsu, bagi penulis, tidak hanya terbatas pada ijazah yang tidak memiliki pengesahan dari dinas pendidikan. Ijazah yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan sekalipun jika diperoleh dengan instan maka dapat dikategorikan sebagai ijazah palsu yang juga harus dibumihanguskan.
Sindikat ijazah “palsu” ini memberikan sebuah gambaran akan ironi, kejahatan intelektual, pelanggaran undang-undang dan pencemaran terhadap “kesucian” lembaga pendidikan. Ini menjadi salah bukti lemahnya penegakan aturan di lembaga pendidikan.
Bahkan, lembaga pendidikan yang seharus menjaga “kesakralan” ijazah itu, bertindak tidak sesuai dengan porsinya; melakukan kejahatan berupa penyelundupan predikat intelektual kepada seseorang yang sama sekali belum pantas. Banyak gelar sarjana diperoleh tanpa kuliah, cukup membayar sekian juta semuanya dapat diproses dengan lancar tanpa konsekuensi. Nampaknya, memang sifat rakus telah membuat oknum birokrasi kampus buta akan tanggung jawab, kewajiban mengemban amanah dan kebenaran. Kebenaran hanya menjadi satu dirkursus dalam diskusi-diskusi rutin yang biasa mereka laksanakan, tetapi minim aplikatif dalam tindakan nyata.
Sadar Moral
Lembaga pendidikan ibarat sebuah pabrik. Bagus dan tidaknya hasil yang diproduksi tergantung dari sejauh mana kecakapan pihak-pihak terkait dan bahan baku yang akan diolah menjadi barang yang siap pakai.
Kecakapan pihak-pihak lembaga pendidikan dan peserta didik sangat berpengaruh dalam suksesi pendidikan itu sendiri. Yakni pendidikan yang memberikan manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. Kecakapan disini paling tidak meliputi dua aspek: kecakapan berfikir dan bertindak. Keduanya harus sesuai dengan etika, moral dan norma yang berlaku.
Etika dan moral harus menjadi idiologi yang akan menyetir tingkah laku seseorang. Sebagaimana didefinisikan, Etika atau moral adalah seperangkat aturan yang mengatur prilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok masyarakat. (Maryani & Ludogdo, 2001).
Dengan melakukan apa telah menjadi ketentuan hukum, agama dan ketentuan dalam masyarakat, seseorang dapat dikatakan telah beretika dan bermoral.
Immanuel Kant, sebagaimana dikutip Lili Tjahjadi (1992), membagi moral menjadi dua bagian: moralitas heterenom dan otonom. Moral heterenom adalah suatu sikap, dimana, kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri. Melainkan, melaksanakan kewajiban karena tujuan yang diinginkan atau atau karena perasaan takut pada penguasa yang memberi kewajiban. Adapun moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaati karena diyakini sebagai hal yang baik.
Dalam kontek ini, setidaknya kita selaku mahasiswa dan birokrasi kampus sebagai monitoring lembaga pendidikan berpegang teguh pada prinsip moralitas yang pertama, bahwa kita memiliki aturan yang harus ditaati. Dan kita harus menyadari bahwa jika melanggar akan mendapat sangsi.
Lebih dari itu, perlunya pemahaman bahwa segala peraturan yang telah ditetapkan tiada lain kecuali demi kebaikan diri sendiri dan masyarakat secara umum. Moral inilah yang disebut Kant dengan Autonnomie des Wilness, prinsip moral tertinggi karena berkaitan dengan kebebasan dan yang hakiki sebagai tindakan manusia.

Miftahul Arifin, Peneliti di Idea Studies dan aktifis SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang.







Rabu, 07 November 2012

Umat Islam dan Problem Kemiskinan di Indonesia

Oleh Miftahul Arifin
Dimuat di radadar madura, oktober 2012

Salah seorang warga singapura pernah berkata, “bukan indonesia yang butuh dunia tapi dunia yang butuh indonesia”.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Paling tidak, dengan dua alasan; pertama, sebagai reaksi atas sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Tentu masih lekat dengan ingatan bangsa indonesia, dimana republik ini menjadi objek
sekaligus medan kompetisi bangsa asing. Mulai dari portugis, jepang hingga belanda sebagai Negara paling betah “menyetubuhi” Negara Indonesia. Dalih berdagang hanya sebagai kedok dari maksud terselubung yang ingin mereka lancarkan; mengeruk kekayaan alam, bahkan ingin menguasai negeri ini. Hingga kini pun, kolonialisasi itu masih tetap berlangsung namun dengan cara yang nyaris berbeda. Yang disebut terakhir inilah yang mungkin sangat tanpak dalam memori warga singapura tersebut.
Kedua, sebagai reaksi kekaguman terhadap bentangan alam Indonesia, baik secara geogerafis maupun geologis, dimana struktur bumi Indonesia mengndung lempengan mineral yang dapat mendudukung keberlanjutan hidup umat manusia.
Dua hal diatas memang cukup representatif untuk dijadikan alasan. Memang demikian adanya. Sebagai warga negara, yang secara langsung menyaksikan dengan mata kepala sendiri, penulis perlu mengamini pernyataan itu. Dan masyrakat tentu sudah mafhum, bahkan mereka akan secara lantang menjawab “ya”, jika diajukan sebuah pertanyaan: benarkah Indonesia memiliki kekayaan melimpah? Bahkan golongan  awam  sekalipun, seketika, akan menjadi “jenius” menanggapi pertanyaan tersebut.
Namun, faktanya, apa yang terjadi saat ini adalah tidak tercerminnya kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari kekayaan yang ada. Sebaliknya, masyarakat kian terpuruk; tidak menemukan kenyamanan hidup.

Problem Kemiskinan
Dalam sebuah artikel yang berjudul “tori indonesia maju” (Jurnas:7/10/11), dijelaskan bahwa kemelaratan indonesia ditengarai karena elit pemerintah yang mengeruk kepingan pribadi dengan mengekor dan mengolah kebijakan yang menguntungkan asing, dan merugikan bangsa secara semena-mena. Selain itu, rusaknya sistem produksi dalam negeri yang disebabkan adanya kebijakan ekspor-impor yang tak terkendali dan tak terawasi.
Akibat yang paling tampak dari insiden “mengerikan” di atas tak lain adalah problem kemiskinan yang kian mengemuka. Kemiskinan menjadi problem utama karena ia akan berdampak pada berbagai sendi kehidupan manusia yang sangat vital. Ia akan menjadi mesin pembunuh yang berbahaya bagi fisik dan pribadi masyarakat. Bukti kongkrit, berapa banyak korban gizi buruk, yang disebabkan kurangnya suplay makanan yang sehat, bersih dan bernutrisi? Pun tak sedikit nyawa melayang karena korban kelaparan. Ironisnya, dalam kondisi ini pun, para aparatur negara masih sempat membahas kenaikan gaji tanpa ada koreksi terhadap kinerjanya.
Masyarakat miskin tidak dapat mengenyam pendidikan dengan normal. Bahkan, demi sesuap nasi, sebagian mereka lebih memilih menjadi kuli dari pada melanjutkan studi. Disinilah letak gagalnya lembaga pendidikan membentuk karakter masyarakat secara merata. Pemerintah belum sukses “mendidik” warga negaranya secara efektif. Dan bukankah kita semua tahu bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Inilah yang selama ini belum sepenuhnya di sadari oleh pihak pemerintah. Pendidikan gratis yang digadang pemerintah selama ini belum berjalan secara optimal. Banyak temuan, biaya pendidikan untuk warga miskin tak tepat sasaran. Belum lagi, banyak alokasi dana pendidikan yang dikorupsi. Nahas.
Implikasinya, masyarakat miskin yang tak mengenyam pendidikan akan lemah secara moral dan pengetahuan. Ia akan mudah terdoktrin oleh lingkungan. Maka, tak heran jika banyak dari mereka memilih jalan pintas untuk menyambung hidup. Merampok dan menjamret atau yang lainnya. Bahkan, tanpa bermaksud menyindir pihak lain, mereka akan rela pindah agama karena kebutuhan ekonomi. Mungkin inilah yang pernah disinggung dalam sebuah maqolah: Kadza al fakru an yakuuna al kufru: kefakiran akan lebih dekat dengan kekafiran.
Peran Muslim
Sebagai Negara yang dihuni oleh mayoritas muslim, peran muslim sangat penting dalam mengatasi problema masyarakat, dalam hal ini kemiskinan. Secara radikal, dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan tanggung jawab umat islam.
Sebenarnya, islam telah memiliki konsep yang sangat apik dalam menangani problem kemiskinan. Kemiskinan dalam islam menjadi tanggung jawab bersama, tak hanya pemerintah atau sebuah institusi negara. Kewajiban membayar zakat bagi seluruh umat islam, disamping untuk membersihkan harta, secara sosiologis, merupakan satu trobosan untuk meminimalisir kemiskinan. Makanya, urutan penerima zakat pun adalah orang fakir miskin. Selama masih ada fakir miskin, maka pemberian zakat tidak dianjurkan kepada yang lain.
Ahmad Mustofa Al Maraghi dalam tafsirnya al Maraghi menegaskan dua hal fungsi zakat; pertama, sebagai modal pertahan Negara dalam menyangkal serangan musuh. Kedua, menyelamatkan manusia dari kematian karena kelaparan. Menurut penulis, jika problem utama yang cukup mendesak dicarikan solusi adalah kemiskinan, maka tujuan zakat tak lain untuk itu. Dalam kontek ke-indonesia-an, kiranya, sangat tepat gagasan Al Maraghi untuk dijadikan pertimbangan.
Sayangnya, fungsi zakat di Indonesia, saat ini, belum berjalan dengan baik. Salah satu problemnya adalah karena penyaluran zakat tidak sepenuhnya dihandle oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Amil Zakat (BAZ). Penyaluran zakat, khususnya bagi masyarakat pedesaan saat ini masih banyak dihandle sendiri. Selain, sifatnya yang berupa konsumtif, terkadang penyalurannya pun kurang tepat. Misalnya, untuk musholla atau lembaga pendidikan. Dalam islam, hal ini sah-sah saja. Namun, alangkah baiknya jika zakat diberikan langsung kepada fakir miskin. Sehingga, dapat memenuhi tujuan utama zakat sebagaimana disyariatkan agama islam; mengurangi angka kemiskinan. Sementara pemberian zakat dalam bentuk barang konsumtif dinilai kurang kreatif.

Optimalkan Fungsi Zakat
Oleh karena itu, agenda terpenting saat ini, selain upaya terus menerus melakukan perbaikan terhadap perekonomian negara, tidak ada salahnya jika sistem penyaluran zakat Indonesia juga diperbaiki. Salah satunya, pemerintah mewajibkan kepada seluruh masyarakat agar zakat yang mereka keluarkan, baik zakat fitrah maupun zakal mall, harus melaui badan-badan yang telah ditunjuk pemerintah. Momen ini sangat tepat mengingat saat ini memasuki bulan suci ramadhan, dimana, setiap umat islam wajib membayar zakat (zakat fitrah).
Peran lembaga zakat adalah mengoptimalkan penyaluran zakat bagi masyarakat miskin di seluruh seantoro indonesia. Barang barang zakat harus berupa lapangan kerja (zakat produktif) yang dapat menumbuhkan kreatifitas masyarakat miskin. Zakat produktif memiliki fungsi yang sangat apik, yaitu dapat mengurangi angka penduduk miskin secara riil. Meskipun butuh waktu panjang, mengingat angka kemiskinan sangat banyak, zakat produktif memiliki danpak yang nyata. Saya kira begitu.

Miftahul Arifin, Penulis Adalah Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, santri Pondok pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto  Sumenep
  

Ujungan Dan Kekerasan Antar Pelajar


Bangsa ini tentu saja sangat sepakat jika Indonesia disebut sebagai Negara yang kaya akan budaya. Hal ini akan menerjemahkan pada satu anggapan bahwa bangsa ini cukup layak untuk menjadi bagian dari “donatur” dalam sejarah peradaban umat manusia.
Pengakuan terhadap kebudayaan bangsa tentu saja harus disertai upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya tersebut. Yang paling penting lagi adalah bagaimana sebuah budaya dapat menjadi spirit hidup, baik dalam sikap maupun tingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari dalam kehidupan sosial.
Namun, faktanya, hal tersebut nampak berbading terbalik dengan kondisi di lapangan. Spiritakan kebudayaan banyak luntur di masyarakat, terutama ketika dikaitkan dengan kekerasan. Kekerasan antar pelajar yang kerap terjadi belakangan ini, di satu sisi, disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk memelihara dan merefleksikan kebudayaan bangsa. Sebab, budaya kekerasan, di satu sisi, tidak selalu bermakna negatif. Meskipun, di sisi lain (sisi kebanyakan), kekerasan telah menjadi sebab rusaknya tatanan sosial.
Orang-orang tentu akan prihatin jika menyaksikan kerapnya tawuran antar pelajar akhir-akhir ini. Namun, akan muncul anggapan yang berbeda ketika mereka menyaksikan tradisi Ujungan, seperti sering dilakukan di desa Gumelan, Banjarnegara.
Ujungan adalah pertarungan dua orang yang dipimpin seorang wasit dalam rangka meminta hujan. Keduanya memiliki kebebasan penuh untuk memukul, melukai dan menyabet lawan dengan rotan hingga keluar darah. Sebagaimana keyakinan mereka, semakin banyak darah yang keluar, semakin dekat pula hujan akan datang. Namun, dalam tradisi ini, peserta hanya boleh memukul bagian paha ke bawah.
Tauran antar pelajar dan Ujungan adalah dua contoh praktik kekerasanyang telah terjadi di masyarakat. Tetapi, keduanya, memiliki dasar yang amat berbeda.  Bahkan berlawanan.
Jika yang pertama cenderung lahir dari sikap arogansi, maka yang kedua lahir dari satu hasrat untuk menciptakan kondisi sosial yang apik. Walaupun, secara khusus, kebudayaan yang disebut terakhir adalah bagian dari ritual dan doa kepada Tuhan. 
Adapun kekerasan antar pelajar yang kerap terjadi tak lain hanya pelampiasan hawa nafsu yang sesungguhnya tidak bisa dibenarkan, baik secara etika maupun moral.
Meningkatkan Integritas
Selain bertujuan untuk memohon hujan, Ujungan telah menjadi salah satu sarana meningkatkan integritas warga Banjarnegara. Dengan tradisi itulah mereka berkumpul dengan satu misi yang sama: berdoa kepada tuhan. Para lakon pun yang terlibat langsung dalam tradisi tersebut harus menghilangkan kebencian dan dendam kepada lawan jika kalah dan terluka dalam pertarungan. Sebuah pelajaran berharga.
Untuk menghindari hal tersebut di atas, peserta dalam Unjungan melakukan semedi terlebih dahulu guna membersihkan hati agar tidak grogi dan terhindar dari sifat dendam jika kalah dalam pertarungan. Terbukti, meskipun mereka kalah dalam pertrungan, mereka tetap senang, bahkan, berjoget-joget di areal pertandingan.
Sayangnya, budaya ini, mungkin, nampak terlalu tua di kalangan para pemuda: kuno, kampungan dan tidak cocok dengan tren masa kini. Ketika pandangan demikian telah menjamur dalam pemahaman seseorang, maka suatu tradisi kebudayaan tak lagi menjadi alat untuk kemanusiaan: menigkatkan integritas, menjalin solidaritas atau yang lainnya. Sebaliknya, hanya akan menjadi momok yang kurang sedap dipandang.
Kebanyakan dari pemuda saat ini enggan melakukan refleksi terhadap budaya tertentu. Mereka sering berada dalam zona nyaman dan romantisme budaya modern yang cenderung tak memihak pada kemanusiaan. Akhirnya pandangan terhadap satu kebudayaan tertentu cenderung keliru. Yang baik menjadi buruk dan yang buruk tetap dilakukan.
Pemaknaan terhadap kebudayaan harus dilakukan secara benar. Hal ini dapat dilacak melalui akar kebudayaan itu sendiri. Bagaimana kebudayaan tertentu dapat memainkan perannya dengan benar.
Budaya kekerasan antar pelajar bukan hanya terlampau kehilangan makna. Tetapi telah keliru. Karena kekeliruan inilah maka budaya tersebut tidak pantas lagi disebut sebagai sebuah kebudayaan.
Karena, bagi penulis, kebudayaan jika dilihat dari akar katanya selalu berkonotasi positif yaitu budi-daya. Budi adalah alat batin yg merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Sedangkan dayaadalah kemampuan mendatangkan manfaat dan hasil. Budi-daya, sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah usaha yang bermanfaat dan memberi hasil.
Abdul Arif dalam buku Refilosofi Kebudayaan sebenarnya telah menyinggung pergeseran makna kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat. Menurutnya, bahwa makna budaya  lepas landas dari akar katanya (budi-daya) yang selalu berkonotasi positif. Sehingga, salah jika ada yang mengatakan bahwa korupsi adalah budaya, alias “budaya korupsi” (Abdul Arif, 2011). Tawuran antar pelajar adalah contoh prilaku kekerasan yang merusak tatanan sosial. Tak layak dilestarikan.

Sebuah Refleksi  
Tradisi Ujungan yang dilakuan di desa Gumelan, Banjarnegara memiliki sejarah yang unik . Ia muncul sebelum Belanda datang dan menjajah di Indonesia. Ketika itu, tujuan diselenggarakannya tradisi Ujungan ialah untuk memohon hujan. Namun, karena ketika itu Indonesia dijajah Belanda, maka tradisi Ujungan kemudian dijadikan sebagai sarana latihan beladiri guna membina mental dan fisik para pejuang. Tradisi ini juga sedikit banyak turut melahirkan pejuang-pejuang bangsa yang pemberani (Detik News, 17/10/2012).
Dalam perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1830-an, tradisi ujungan menjadi alat untuk memecah perselisihan antar petani karena berebut air hujan di musim kemarau. Perseteruan antar petani dapat terselesaikan karena hujan pun turun setelah tradisi Ujungan digelar.
Kini, tradisi ujungan, meski tetap merupakan sebuah pertarungan yang identik dengan kekerasan, ia menunjukkan sebuah keguyuban bagi masyarakat Banjarnegara(Wawasan, 29/09/2012). Itu artinya, sebuah kebudayaan, meskipun pada dasarnya bersifat kekerasan tidak serta merta disalahkan. Apalagi telah menjadi sarana untuk menigkatkan keakraban satu sama lain.
Ujungan juga telah menjadi salah satu alat untuk menyucikan jiwa dari sifat tercela: dendam kesumat.
Sebuah refleksi bagi kalangan pemuda saat ini. Makna kekerasan harus bisa direduksi menjadi nilai nilai positif di masyrakat. Kekerasan harus menjadi alat untuk menyatukan kekuatan, guna melawan hegemoni pemerintah terhadap rakyat.
Penjajahan fisik telah berakhir. Karenanya, mereka tak harus menyontoh dan menggelar  Ujungan. Kekerasan dalam Ujungan harus bisa ditransformasikan kedalam bentuk yang lain. Yakni, keras dalam belajar (sungguh-sungguh), keras dalam bekerja (kerja keras), demi mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Semoga.

Miftahul Arifin, Mahasiswa Jurusan Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin, Aktif sebagai Reporter SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang.