Sabtu, 21 Juni 2014

Ketidakadilan Lain Di Laundry Asri

Catatan Minggu 22 Juni 2014

Selain ketidakadilan mengenai potongan gaji kepada saya, ketidakadilan juga terjadi pada teman saya M. Syahid. Tapi alangkah malangnya lelaki paruh baya itu yang tidak sadar bahwa ia telah diperlakukan tidak adil. Ceritanya begini:


Sistem kerja di Laundry Asri 12 jam kerja dari jam 08.00-20.00 WIB dengan gaji pokok 750 ribu per bulan. Ditambah uang makan per hari sebesar 10 ribu. Ada siff pagi-sore ada siff siang-malam. jika bekerja mengambil satu siff maka perhitungan gaji perjam dengan hitungan 3000 per jam minimal delapan jam kerja. Biasanya, pekerjaan paling sering di siff siang sementara siff malam jarang. Keterangan ini saya peroleh ketika wawancara kerja. Saya bekerja hanya mengambil satu siff, siff pagi sampai sore. Sedangkan teman saya kerja full dari pagi sampai malam hari. Saya mendapat uang makan separuh karena hanya mengambil satu sifft. Sedangkan teman saya, karena mengambil kerja penuh, seharusnya medapat uang makan 10 ribu perhari.

Namun, ini tidak sesuai dengan kenyaataan di lapangan. Saya tahu persis karena biasanya uang makan untuk teman saya ditipkan ke saya. Saya yang memberikan langsung kepadanya, seringkali hanya 5 ribu rupiah perhari.

Ketika teman saya protes dan bertanya kepada pemilik perusahaan itu mengenai uang makan, pemilik perusaahan itu berdalih, bahwa uang makan sebesar 10 ribu kalau ada kerja pada malam hari. Kalau tidak ada kerjaan maka uang makan hanya 5 ribu rupiah. sedangkan teman saya itu masih harus menjaga laundry sampai malam hari, berjaga-jaga takut ada pekerjaan.

Sekilas, ini masuk akal karena memang pada malam hari tidak ada kerjaan. Tapi ini tidak adil. Teman saya itu sudah dikontrak untuk menjaga laudry sampa malam hari. Seharusnya, hitungan tidak pada seberapa besar bekerja tapi pada waktu yang telah dibuang untuk menjaga Laundry itu. jadi sekalipun, tidak ada kerjaan ia harus mendapatkan hak uang makan itu sebesar 10 ribu karena telah menjaga laundrynya.

Menjaga laundry karena takut ada pelanggan itu adalah kerjaan karena telah mengabdikan diri, membuang waktu untuk menjaga itu. Jadi, seharusnya  ia juga mendapat uang makan. Tapi teman saya itu mungkin tidak berfikir kesana. Ia mau saja diperlakukan seperti itu. saya tidak menyalahkan dia, karena mungkin dari usianya yang sudah tua sehingga ia tidak berfikiran ke sana. Seharusnya, yang lebih mengeti ini adalah pemilik Laudry itu. tapi ia tidak mengerti atau sebaliknya ia memang mengerti dan sengaja melakukan itu. Ini namanya ketidakadilan. Lebih tepatnya kesewenang-wenangan seorang bos.
Sekali ini, pembicaraan saya ini bukan soal rupiah yang sangat kecil. Tapi soal perlakuakn adil dan penghargaan terhadap hak-hak seseorang.  

Sepenggal Cerita Kerja Di Laundry

Catatan Sabtu, 31 Mei 2014 (11:52 WIB)

Hari sabtu tanggal 31 Mei 2014 adalah hari terakhirku kerja di Laundry Asri yang beralamat di Ruko bringin Hil Estate no 2 jalan raya Bringin Tambak Aji Ngaliyan Semarang. Tampat Kerjaku di salah satu cabangnya, Hotel Dafam Jalan Imam Bonjol Semarang. Setelah 31 satu hari kerja dipotong hari libur pada tanggal 17 dan 20 aku memutuskan untuk berhenti kerja karena beberapa hal: pertama, aku ingin menyelasaikan proposal skripsi yang sudah beberapa minggu mangkrak lantaran fokus kerja. Aku punya target, bulan ini, Juni 2014, proposalku sudah harus selesai dan diujikan. Penelitianku bertempat di di desa Muncek Timur lenteng Sumenep Madura, tempat kelahiranku. Sehingga liburan puasa mendatang penelitianku tentang “Bentukan Etika Sosial Bagi Kriminal, Studi Kasus Kumpulan Jamiyyah Walisongo di Desa Muncek Timur” sudah bisa berjalan. Jika tak berhenti kerja, kecil kemungkinan aku menyelesaikannya karena terkendala waktu. Tak ada kesempatan mencari refrensi buku di perpustakaan.

Kedua, bulan April lalu telah kusetujui menjadi bagian dari Tim redaksi pembutan buku kenang-kenangan fakultas Ushuluddin. Proposal sudah dibuat, job sudah dibagi oleh ketua tim. Tinggal melangkah. Hanya saja, karena bulan Mei aku fokus bekerja, maka sampai saat ini aku belum ikut membantu sama sekali. Semoga, dengan resendnya aku dari tempat kerja masih bisa ambil bagian untuk mesukseskan buku tersebut.

Ketiga, bekerja fulltime pada masa-masa kuliah ternyata tidak enak. Ada yang selalu terfikirkan, entah  merindukan kampus di siang hari, merindukan kawan di siang hari dan merindukan segalanya di siang hari. Bekerja disiang hari telah menghalangiku untuk itu. Ada kebahagian dan kelegaan tersendiri setelah kuputuskan untuk berhenti,  membiarkan diri bergerak bebas sesuka hati, tidak terkekang oleh tanggung jawab kerja.

Namun demikian, banyak pengalaman yang kudapat selama bekerja. Mulai dari menyentuh hal-hal baru sampai pada keadaan penuh tekanan karena dimarahi oleh pemiliknya. Adu argumen dengan bos pernah dan membuat kesalahan ditempat kerja juga pernah. Yang masih kuingat dan masih lekat dibenak sampai saat ini dan mungkin tak akan pernah terlupakan adalah ketika aku beberapa kali harus adu mulut karena ada ketidaksepahaman.

Dedi Triputra adalah pemilik Laundry Asri. Istrinya bernamaTina. Dedi adalah sarjana komputer lulusan Perguruan Tinggi STIKUBANK Semarang. Ia Juga penulis buku “Most Wanted Interpreneour” dan buku tentang Laundry yang aku lupa judul bukunya. Sedangkan istrinya sarjana Menejemen lulusan perguruan tinggi yang sama.

Bagi saya, ada perbedaan yang sangat signifikan antara Dedi dan Tina terutama dalam karakter. Dedi lebih santai dan selalu menghadapi masalah dengan kepala dingin. Sedangkan Tina lebih memakai emosional, crewet dan agak judes. Ini terlihat dari beberapa pengalaman selama satu bulan aku bekerja. Saya jadi berfikir, bahwa di dunia ini memang tak ada yang sempurna. Selalu ada kelebihan dan kekurang di setiap hal. Bagi Dedi, mungkin sudah biasa dan tidak kaget berhubungan dengan Tina. Hingga apapun yang barangkali menurut orang lain tak enak, bagi Dedi enak-enak saja. Mengerti karakter dan mengerti segalanya tentang Tina. Tapi menjadi lain ketika aku yang berhadapan dengan Tina. Selain karena pengelaman sempat cekcok dengan dia, dari raut wajahnya sudah bisa ditebak mengenai karakternya. Ini diperkuat salah seorang teman melihat Tina ketia ia mengantarkanku ke rukonya di Bringin. “Dia orangnya enakannya?” tanya dengan nada meragukan. Dari sana aku juga mulai menilai bahwa raut wajahnya sangat menggambarkan karakternya yang bengis.

Beberapa hari kerja, pengalaman yang kurang mengenakkan kualami. Ada beberapa rentetan kejadian yang akan kuceritakan di sini. Pertama, peristiwa cucian pakian yang kurang kering. Tina marah membuktikan dugaanku dan temanku mengenai kebengisannya. Sedangkan dedi tak banyak komentar, sedikit tapi membuatku lebih segan dari pada tina. Dedi memaklumi atas kejadian itu. ia tau posisi kalau aku dan temanku M Sahid masih baru bekerja dan belum berpengalaman. Aku memakluminya lantaran masih baru dan belum tahu Standar Operasional. Dan ketika masa training pun tak ada penjelasan mengenai tetek bengek sistem kerja Loudry. Bahkan, aku beranggapan bahwa training selama tiga hari itu bukan training. Melainkan syarat, agar kita bisa diterima kerja, maka harus bekerja tanpa dibayar.
Kedua, ihwal cucian yang tidak kering lagi. Tina marah dengan amat sangat. Dia seolah tak menggubris dan tidak percaya pada apa yang kusampaikan. Jelas, aku tak bisa menerimanya. terjadilah adu mulut. Kubantah semua pembicaraannya yang hampir membuat telingaku budek. Kujelaskan padanya cucian yang tak kering itu hasil kerja rekanku M Sahid. Bukan hasil kerjaku sama sekali. Tapi ia tetap tidak mau kalah karena ketika M sahid ditanya juga tidak mengakui bahwa itu hasil kerjanya. Padahal sangat jelas bahwa hari itu aku kebagian job nyetrika. Mulai saat itulah, melihat aku yang selalu membantah perkataaanya, ia selalu menampakan wajah judes dan kurang sedap dipandang ketika aku tiba ditempat kerja. Hari hari berlalu dengan suasana yang agak menegangkan kecuali setelah akhir-akhir bulan. Mungkin saja ia mulai faham karakterku yang keras dan selalu transparan.

Ketiga, masalah motor. Sebagaimana informasi lowongan kerja yang kudapat di internet, bahwa selain mendapat uang makan, gaji dan tempat tinggal, karyawan akan mendapat fasilitas kendaraan. Kebetulan, pada suatu hari Dedi ingin bepergian menggunakan motor. Setelah mengantarku ketempat kerja di Hotel Dafam ia pergi dan tak kembali hingga sore hari sampai waktu aku harus pulang. Aku jengkel karena tak dijemput. Aku menghubunginya, ia lantas menyuruhku naik angkot. Dan aku kurang sepakat jika setiap hari harus naik angkot. Disamping banyak lebih banyak mengeluarkan biaya, tidak sesuai dengan ketentuan Iklan yang ada.

Keesokan harinya, aku mempertegas masalah fasilitas motor. Tina menjawab, bahwa tak ada fasilitas motor secara pribadi. Motor tersebut hanya untuk tim. Ia lantas menyalahkannku karena dikira, aku tak ada inisiatif untuk pulang sendiri padahal aku tahu bahwa Dedi lagi ada urusan di luar. Sebenarnya aku bukan tak punya inisiatif. Hanya ingin memperjelas masalah fasilitas yang dijanjikan. Ini juga menjadi akan pertimbangan, bahwa aku akan lanjut kerja atau berhenti karena tidak sesuai dengan yang ada di iklan.
Beberapa menit adu argumentasi, kutegaskan sekali lagi “Aku pergi tanpa motor, langsung ketempat kerja di hotel Dafam atau aku ke bringin terlebih dahulu untuk mengambil motor sekaligus membawa cucian dari sana”. Akhirnya, diputuskan aku harus ke Laudry Bringin dahulu untuk menggunakan motor, kecuali suatu saat motornya mau dipakai. Akan diinformasikan lebih lanjut, katanya.

Keempat, masih di permasalahan motor. Kembali aku dibuat jengkel oleh Tina. Suatu hari setelah aku tiba di Bringin motor masih dipakai oleh Tina. Bersama Dedi aku menunggu sambil berbincang santai di sana. Tak ada instruksi bahwa aku harus berangkat naik angkot. Beberapa menit kemudian, Tina datang dengan motornya dan ngomel tidak jelas, lantaran aku masih menunggu motor yang dipakainya. “Sesuai kesepakatan bagaimana, bagaimana aku mau pergi naik angkot sedangkan tak ada informasi jika motornya mau dipakai. Pun tak ada intruksi dari Dedi agar aku berangkat naik anggkot. Masak iya aku nyelonong sembarangan padahal tak ada intruksi,” pikirku jengkel. Hari itu aku lagi malas berdebat. Ku bairkan saja ia ngomel tidak jelas. Wajahnya yang sinis membuat pemandangan kembali tidak menarik. Menggrutu seolah tanpa dosa dan tanpa pikir.

Kelima, masalah parfum yang terlalu boros. Sama seperti di atas, tak ada training cara pemakaian parfum. Aku bekerja dengan caraku sendiri dan sebenarnya ingin memberikan yang terbaik untuk perusahaan. Eh salah lagi, karena parfumnya cepat habis. Padahal, sebelumnya juga sudah ada teguran kalau pakainnya kurang wangi (alias kurang parfum). Trus gue harus bagaimanaaa. Sampai-sampai kupraktekkan caraku memberi parfum. Alhasil, ia tak percaya. “Kalau begitu tidak mungkin parfumnya boros,” katanya. Aku bingung harus menjelaskan bagaimana.

Keenam, pekerjaan mengeringkan pakaian tidak selesai. seharusnya sudah selesai, katanya. Kujelaskan apa yang telah kulakukan. Pengeringan ada pekerjaan mesin, bukan pekerjaanku. Kalau mesinnya tidak bisa mengeringkan dengan cepat kenapa aku yang disalahkan. Kujelaskan padanya berulang-ulang. Ia masih tadak menerima alasan-alasaku. Yang kuinginkan hanya bagaimana mengeringkan pakain dengan sangat cepat. Ia lantai berbicara menejemen waktu. Aku bingung menerimanya. Karena tak ada hubungan antara mesin dan menejemen waktu dalam kontek ini. 

Akhirnya, hari itu, kukemukaan semua unek- unek yang mengganjal di kepala. Tentang ketidaknyamanan, tentang tekanan dan tentang kebosanan selalu mendengar ceramahnya. Aku lebih suka diajari apa yang tidak kuketahui dari pada harus dimarahi tidak jelas. Ia lantas mengatakan, bahwa apa yang ia lakukan adalah proses pembelajaran. “Ya, pembelajaran”pikirku. Pembelajaran yang tidak menyenangkan. Siapapun akan tidak suka dengan pembelajaran demikian.

Setelah kubantah, dia kapok dan berkata tidak akan mengajaiku lagi. semuanya akan dipasrahkan pada Dedi “Ya, alhamdulillah. Lebih baik aku tak diajari olehmu,” kataku dalam hati.

Keenam, masalah pakaian tertukar antara satu pelanggan dengan pelanggan lain. Dua celana hilang, katanya. Tentang itu, aku tak habis pikir mengapa itu bisa terjadi. Padahal, aku sudah bekerja dengan sangat hati-hati. Aku tak tau ini salah siapa. Salahku? Salah temanku? atau hanya rekayasa? Entahlah semuanya masih absurd. Sejauh yang kuingat telah kupetakan satu persatu pakaian pelanggan. Nalarku mengatakan, bukan aku yang membuat kesahan itu. Kalau tidak temanku berarti ini rekayasa. Atau, sebenarnya celana itu tidak di Laundry, tapi terselib dibawah kasur yang punya, atau terselip dipakian-pakian yang lain dirumahnya? Entahlah, sampai aku menyatakan resend, aku masih dimintai pertanggungjawaban untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bentuk tanggung jawabnya juga belum jelas. Paling-paling ya potong gaji. Tidak masalah jika masih masuk diakal dan bukan akal-akalan.
Secara umum, banyak pengalaman positif yang aku dapatkan. Mulai dari yang bersifat fikisik dan psikis. Bahkan, seandainya aku punya modal dan ingin mendirikan Laudry sendiri, mungkin sudah bisa. Hanya perlu banyak belajar mengenai menejemen agal lebih baik dan banyak pelanggan. Secara teknis sudah lumayan bagus  insyaallah tidak akan mengecewakan pelanggan. Semoga menjadi pelajaran berharga di masa depan.

Akhir dari semuanya kukatakan: “Bekerja sendiri dengan hasil yang pas-pasan lebih baik dari bekerja kepada orang lain walau dibayar dengan sangat mahal. Lebih baik kita membeli waktu dari pada waktu kita yang dibeli untuk menjadi budak orang lain. Jadilah pembisnis yang handal jika ingin hidup  nyaman!”