Senin, 16 Februari 2015

Aku Cinta Polri, KPK dan Cinta Indoensia

google.com
Bagaimana saya harus memulai tulisan ini sementara saya berada diantara ribuan penulis yang mungkin telah banyak menulisnya hari ini. Baik dari kalangan wartawan, penulis opini di media, aktifis facebook, twitter dan media sosial yang lain. Baik tulisan yang hanya satu sampai dua kalimat sampai pada tulisan dengan ribuan kata. Saya juga ambil bagian di dalamnya. Saya berada diantara ribuan huruf, kata, dan kalimat yang hari ini tidak yatim dengan kata, Putusan Pengadilan, Hakim Rizaldi, Budi Gunawan, KPK, Polti dan Jokowi. 


Kita telah menyaksikan bersama putusan Pengadilan Negeri (PN) yang dipimpin oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi ihwal praperadilan Budi Gunawan yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya, dan mungkin mayoritas masyarakat Indoensia, merasa kaget dengan putusan hakim yang menerima gugatan Budi Gunawan. Yang paling mengagetkan, barangkali, ketika penetapan sebagai tersangka oleh KPK dinyatakan tidak sah oleh Hakim. Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka tiba-tiba dihapus ketersangkaanya di sidang praperadilan? Bukankah itu kewenangan sidang pengadilan? Ada apa dengan sarpin? Mungkinkah ia telah berlaku tidak adil dalam mengadili?

Saya bukan ahli hukum pertanyaan-pertanyaan itu. Dan jika pun saya menjawab, jawaban saya mungkin hanya sekadar mengutip dari beberapa pernyataan tokoh yang sudah ahli di bidang hukum. Atau saya hanya bisa menjawab berdasarkan analisis terhadap beberapa pernyataan yang telah disampaikan melaui media, cetak maupun elektronik.

Ada dua kubu, kelompok, atau pihak dalam menyikapi putusan hakim. Pertama, mereka yang merasa senang dan bangga karena pengadilan mengabulkan gugatan Budi Gunawan. Sebagian mereka, termasuk dari kalangan polri, sampai melakukan sujud syukur karena merasa menang. Sebagian yang lain menyerbu istana dan mendesak presiden Joko Widodo untuk segera melantik Budi Gunawan sebagai kepala Polri Negara Republik Indoensia. Mereka adalah pihak pendukung budi gunawan. Kedua, mereka yang mengecam habis-habisan hakim karena dianggap telah merusak tatanan hukum negara. Hakim dianggap tidak konsisten. Ngawur dan mencederai keadilan di tanah air. Mereka adalah pihak KPK yang sejak beberapa minggu terakhir menyatakan dengan lantang #seveKPK. Selamatkan KPK demi pemeberantasan korupsi yang semakin membabi buta.

Dan saya termasuk kelompok yang kedua ini. Alasan saya sederhana: biar bagaimanapun, di tengah-tengah maraknya pejabat negara yang melakukan korupsi, KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi harus tetap dijaga. Bukan saya menafikan bahwa KPK selalu bersih dan anti kepentingan tertentu. Tetapi menyelematkan negara, uang negara, kekayaan negara dari tangan koruptor itu lebih penting karena menyangkut kehidupan orang banyak. Menyangkut kepentingan rakyat Indonesia. Menyelamatkan KPK lebih dibutuhkan dari pada menyelamatkan Budi Gunawan yang hanya jadi atau tidaknya sebagai kepala kapolri. Toh, sekalipun budi gunawan tidak dilantik, masih banyak jenderal-jenderal yang lain, yang menurut saya bisa lebih kredibel dengan mantan ajudan presiden Megawati Soekarno putri itu. Hal ini diperkuat dengan beberapa rekam jejak Budi gunawan yang selama ini sempat disinggung juga pernah bermasalah dengan hukum (lih. tempo, 2-9 februari 2015)

***

Sebelumnya, pertanyaan beruntun diajukan kepada presiden Jokowi terkait nasib budi gunawan, tetap dilantik menjadi kepala polri atau dibatakan karena memang pengangkatan kapolri merupakan hak prerogatif presiden. Menanggap pertanyaan itu, jawaban yang sama diampaikan oleh presiden, “secepatnya,” kata Jokowi. Sebagian besar masyarakat mungkin menafsiri perkataan bapak presiden, bahwa pengumuman nasib budi menunggu siding praperadilan yang diajukan Budi Gunawan.

Kini, praperadilan sudah selesai. Keputusan sudah diketok oleh hakim. Masyarakat sedang menanti keputusan bapak presiden meskipun sepertinya putusan membatalkan pelatikan itu kecil mengingat situasi politik dimungkinkan akan semakin memanas. Pada posisi ini presiden sedang diuji. Jika ia memilih bersama mayoritas masyarakat dengan membatalkan pelantikan maka citranya akan meningkat di mata rakyat sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana dan benar-benar sesuai dengan janjinya ingin memberantas korupsi. Jika tetap melantik, maka ia akan berhadapa dengan partai pendukung yang tergabung dalam Koalisi Indoensia Hebat (KIH) yang selama ini mendudukung budi Gunawan Sebagai kepala Kapolri. Bagai buah simalakama, presiden kini sedang dalam dilema. Keputusannya sama-sama mengandung konsekuensi.

Tinggal bagaimana Jokowi menakar efek positif dan negatifnya, memilih dengan hati nuraninya, tanpa ditumpangi kepentingan apapun, personal atau golongan, itulah yang terbaik bagi bangsa indoensia. Saya lahir di Indoensia, hidup di Indoensia, dan bangga menjadi warga negara Indonesia. Dan lebih bangga jika persoalan yang selama ini membelit negara dan rakyat Indoensia segera tereselesaikan. Aku Cinta Polri, cinta KPK, dan Cinta Indoensia.

Mari kita mengingat kembali lagu Indoensia raya:

Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku

Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Saya ingin tidur dan semoga setelah bangun saya sudah menjadi orang yang lebih bangga dengan Indonesia.

Rabu, 11 Februari 2015

Media Sosial dan 'Sindrom' Popularitas

google.com
Sejak beberapa tahun terakhir Indonesia telah memasuki babak baru dalam dunia teknologi khususnya internet. Jika semula internet hanya bisa diakses oleh orang kota, orang berduit dan kalangan tertentu seperti pejabat sebuah instansi, kini, internet laiknya air hujan di sebuah musim yang melimpah, membanjiri seluruh jagat raya tanpa terkecuali. Kenyataan ini menjadikan masyarakat seperti disulap. Dari yang semula katrok, gagap teknologi, dan tradisional menjadi manusia modern yang dapat mengenal dunia tanpa batas. Internet seperti mengambil peran tuhan yang dapat merubah manusia hanya dengan satu kata: kunfayakuun, jadilah, maka jadi.
 
Alhasil, perubahan besar-besaran telah terjadi, termasuk yang paling menohok adalah gaya hidup yang digambarkan melalui mode berpenampilan atau berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kita mungkin akan tanpak seperti ‘orang gila’ yang lepas olah tawa ketika membandingkan foto kisaran tahun 90-an dengan foto kisaran tahun 2000-an sampai sekarang. Perubahan dalam gaya hidup masyarakat bisa dilihat aktifitas yang tidak bisa lepas dari internet termasuk media sosial.

Dan yang paling masyhur, belakangan ini, internet telah berhasil mendongkrak popularitas seseorang dengan sangat cepat. Bahkan, mereka yang semula tak dikenal, melalui media sosial, ia menjadi terkenal dan akhirnya diundang banyak orang karena keahliannya. Sebut saja ustad Maulana. Dengan gaya ceramahnya yang khas dan unik ia kerap mendapat kesempatan mengisi pengajian di beberapa stasiun televisi. Dari Kalangan artis kita mengenal Raisya, wanita asal solo yang kini menjadi salah satu bintang dalam belantika musik Indoensia karena keahliannya dalam dunia tarik suara yang sempat diunggah di youtube. Berkat bantuan media sosial, keahlian mereka dapat dikenal khalayak ramai dan menjadi daya tawar tersendiri untuk masa depan yang lebih cerah. 

Sindrom popularitas

Kenyataan  itu kemudian menyedot perhatian banyak orang menimbulkan ‘sindrom’ popularitas. Satu gejala sosial yang berjalan dan tidak terkontrol. Ia seolah menjadi candu yang mempengaruhi emosi dan pikiran banyak orang diantara pengguna internet, khususnya media sosial. Munculnya artis dadakan-instan, namun lekang oleh zaman adalah gejala ‘sindrom’  popularitas yang tak terkontrol itu. Tidak ada pertimbangan etis bahwa kreatifitas harus juga dimbangi dengan kontinuitas.

Kita mungkin masih ingat Salahuddin atau Udin, lelaki asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mendadak terkenal karena videonya dengan judul “Udin Sedunia” yang diunggah di media sosial youtube. Masa-masa itu Udin diuntungkan dengan meraup jutaan rupiah karena sempat juga membintangi sebuah film yang berjudul “Udin Cari Alamat Palsu”. Karena tidak adanya kontinuitas dalam kreatifitas, Udin pun kini hanya tinggal nama yang perlahan mulai dilupakan oleh publik.

Perhatian publik juga sempat disedot oleh sosok Norman Kamaru atau Oman, mantan anggota Brigade Mobil berpangkat Briptu yang menjadi terkenal setelah video lip-sync-nyamenirukan lagu India berjudul Chaiyya Chaiyya tersebar di media sosial. Sampai-sampai ia melepas jabatanya sebagai Polisi Gorontalo karena sindrom popularitas. Kini, publik mungkin akan menilai sikap Norman sebagai perbuatan konyol yang karena mengejar popularitas ia lebih memilih menjadi artis  dari pada abdi negara. Tanpa bermaksud menghina, seandainya penulis adalah seorang sutradara, mungin lahir sebuah film yang berjudul “Polisi Menjadi Tukang Bubur”, menandingi film “Tukang Bubur Naik haji”. Dalam hal ini sangat disayangkan, jika seorang abdi negara dengan tugas mulai melayani masyarakat berpindah haluan karena mengejar popularitas untuk kepentingan pribadi yang bersifat hiburan.

“Popularitas yang tak tuntas hanya akan menjadikan hidup menjadi nahas. Media sosial yang hanya digunakan sebagai ajang mengejar populatitas, tanpa dimbangi dengan kontinuitas sebuah kreatifitas akan berbuntut pada kebagagiaan sesaat. Selebihnya, hanya kegagalan dan dosa,” ujar seorang teman.

Media Menawarkan Bakat

Terlepas dari kepentingan ekonomi creator media sosial seperti youtube.com, megavideo.com, metacafe.com,metayoutube.com dan lain-lain, sejatinya hanya sebagai alat bantu untuk menawarkan bakat atau keahlian seseorang. Dengan menyebarkan bakan atau keahlian di media-media itu, publik akan mengetahui bahwa seseorang punya kemampuan tertentu untuk dimanfaatkan. Disini, ada simbiosis mutualisme antara si empunya bakat dengan si pengguna bakat atau keahlian tersebut (baca: masyarakat).

Mereka yang memiliki keahlian akan dimudahkan dalam mensosialisasikan keahliannya untuk dijual pada orang yang membutuhkan. Sebaliknya, si pengguna keahlian akan juga diuntungkan, karena dengan jasa mereka pekerjaan cepat dan mudah tersesaikan. Sebagai contoh, misalnya, creator design logo yang menjual keahliannya lewat media sosial. Para pengguna jasa tersebut  tidak perlu bersusah payah mencari rental pembuat logo seperti zaman dahulu dimana teknologi masih terbatas. Cukup dengan komunikasi lewat email dan transaksi via rekening, pekerjaan akan menjadi mudah tanpa mebuang banyak waktu.

Sepertinya, kita perlu mengamini perkataan Heidegger sebagamana dikutip oleh Fransis Lim dalam Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Manusia dan Alat (Kanisius, 2012), bahwa sebenarnya teknologi bersifat netral karena tidak mengandung tujuan. Dalam hal ini, Teknologi hanya bergantung pada konteks penggunaannya dalam budaya yang berbeda. Masyarakat Indoensia harus dapat memahami dengan cara memanfaat teknologi temasuk internet dengan benar.


Menggunakan media sosial sebagai bagian dari teknologi dengan baik menunjukkan kecerdasan masyarakat di era modernisasi. Teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia dalam bekerja dan beraktifitas dengan orang lain demi kelangsungan hidup dan nyaman. Bukan sebaliknya, untuk menjerumuskan manusia pada sikap individualis yang merugikan banyak orang. Semoga kita menjadi bagian dari orang yang cerdas memanfaatkan tekonologi. Wallhua’lam bissawab.

Selasa, 10 Februari 2015

Presiden Harus Tunduk Pada Konstitusi

google.com

(Tanggapan atas Tulisan M. Arif Rohman Hakim, Wawasan, 28 Januari 2015)

Tulisan M. Arif Rohman Hakim ““Jasmerah” bagi Jokowi” di Wawasan pada 28 Januari lalu membuat saya tergelitik untuk memberikan tanggapan, atau setidaknya ingin meluruskan pemahaman umum yang secara sengaja atau tidak ingin diruntuhkan oleh penulis.

Pemahaman yang dimaksud berkaitan dengan sikap seorang presiden sebagai kepala negara. Tidak dapat dibantah bahwa seorang kepala negara harus tunduk pada konstitusi. Bukan pada personal, golongan atau partai politik tertentu. Publik tentu akan merasa geram dan tidak segan-segan akan melempar batu hantam jika presiden tidak taat pada undang-undang, dan justru tunduk pada golongan tententu. Dan sejatinya, mentaati konstitusi tak lain merupakan bagian dari amanat undang-undang yang harus dipenuhi oleh seorang kepala negara.

“Jasmerah” ialah “jangan sekali-kali membuat Mega marah”, plesetan dari “jangan sekali-kali melupakan sejarah” sebagai mana sering dikatakan Soekaro untuk mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak melupakan sejarah.

Dalam tulisan berjumlah 16 pragraf itu, Hakim menggambarkan Megawati sebagai sosok yang tidak bisa dipungkiri memiliki peran penting dalam kesuksesan Jokowi. Perjalanan Karier Jokowi, menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta dan Presiden Republik Indonesia tidak lepas dari peran PDI Perjuangan. Hakim mengklaim, kesuksesan Jokowi tak lain karena pengaruh Megawati, yang menurutnya, telah merubah dari “tukang kayu” menjadi orang nomer satu.

Dari sana Hakim berkesimpulan bahwa, bagaimanapun, Jokowi harus tetap menjaga kedekatan dengan Megawati. Megawati adalah sosok paling berharga yang harus selalu dihormati. Bahkan di pragraf yang lain ia menyatakan, Jokowi harus mampu membuat Megawati selalu tersenyum.
Selain itu, Megawati juga digambarkan sebagai sosok yang santun. Karena kesantunannya itu, Kata Hakim, ia tak segan-segan mengekang hawa nafsunya untuk mencalonkan diri sebagai presiden demi Jokowi. Keikutsertaan Megawati dalam setiap kesempatan, pembentukan kabinet misalnya, menunjukkan betapa pentingnya posisi Megawati dalam mengawal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. “Tidak bisa dibayangkan jika Jokowi sampai membuat Mega marah,” ujar hakim.

Apa penilaian berlebihan dan tidak didasari pemahaman yang proporisonal dalam tulisan Hakim. Bangunan ide yang kurang utuh akan menyesatkan pembaca pada alur berpikir kurang tepat. Saya menduga, secara moral, Hakim adalah salah satu pengagum Megawati kecintaannya membuat Hakim tidak bisa memberikan penilain yang proporsional.

Setidaknya beberapa hal yang bisa saya lihat kegagalan Hakim dalam membangun gagasannya. Pertama, “Jasmerah” bagi Jokowi. Jangan sekali-kali membuat Mega marah. Pernyatan tersebut jelas mengarah pada satu negara atau kerajaan dengan sistem monarkhi dengan Megawati sebagai seorang raja yang harus selalu ditaati dan dihormati seluruh keputusannya.

Padahal, Indonesia merupakan negara yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara, baik pemerintah atau rakyat jelata harus taat terhadap undang-undang. Terlebih seorang presiden, ia harus taat pada konstitusi itu demi kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, bukan pada golongan tertentu atau Megawati yang kini hanya berstatus sebagai Ketua Umum PDIP.

Dalam kontek umum, Presiden berhak mendapat masukan dari siapapun termasuk Megawati. Selagi masukan itu positif untuk rakyat, Jokowi berhak menerimanya. Sayangnya, Hakim tidak memberikan batasan tertentu, dimana,  Jokowi harus tunduk dan hormat terhadap Megawati. Sehingga Hakim telihat kerdil dan pendapatnya keluar pemikiran yang sempit.

Kedua, penyataan yang sangat berlebihan. Pernyataan tersebut terdapat pada pragraf ke-11, Tak bisa dibayangkan apabila megawati marah pada kadernya. Seberapa besar efek negatif jika Megawati marah, kita tidak pernah tahu, dan tidak dijabarkan olah Hakim dalam tulisannya. Ungakapan yang sangat berlebihan tetapi tidak didukung oleh fakta yang kuat.

Presiden adalah kepala negara tertinggi yang keamanannya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini, Jokowi tidak perlu merasa khawatir atas kemarahan pimpinan partai pengusungnya jika seandainya pendapatnya bersinggungan. Yang perlu dikhawatirkan Jokowi sejatinya menghadapi kemarahan rakyat jika pada satu waktu kebijakannya dianggap tidk berpihak kepada rakyat.

Hakim juga sempat menyinggung tentang kelemahan Jokowi, dimana, ia harus menahan pendapatnya sendiri demi menghormati pucuk pimpinan partainya itu. tetapi dalam kesempatan yang sama ia juga mengakui serinya bersinggungan pendapat antara Jokowi dengan Megawati. Jika demkian, tidak ada dasar jika seorang presiden harus hormat kepada pimpinan partai hanya karena lahir dari partai jika bersebrangan dengan kepentingan rakyat.

Ketiga, pengambilan sampel yang kurang tepat. Hakim menegaskan, bahwa Megawati sangat begitu lihai dalam melihat potensi kader. Dari situ lahirlah banyak kader yang dianggap mumpuni seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Surabaya Tri Riswawati seperti yang dicontohkan Hakim.

Dalam hal ini Hakim kurang jeli dalam melihat perjalanan Risma ketika memimpin Surabaya. Kita tentu masih ingat peryataan Sekretaris DPD PDI-P Jawa Timur Kusnadi yang mengibaratkan Risma seperti “Kacang lupa kulitnya” karena sering bersebrangan dengan fatsun politik PDI-P (Kompas,20/02/2014). Pertanyaan besarnya kemudian, benarkah bahwa gebrakan-gebrakan Risma karena pengaruh kuat Megawati? Lalu kader siapakah  Kusnadi?

Konstitusi Harga Mati

Gagasan Hakim dalam tulisan tersebut jelas kurang kredibel karena tidak didukung oleh fakta-fakta yang proporsiaonal. Kesimpulan yang disajikan dapat merusak pemikiran pembaca yang kurang jeli. Padahal disatu sisi ia mengakui bahwa kedekatan Megawati  dan Jokowi dapat menjadi bumerang. Namun ia tidak menjelaskan bagaimana buomerang itu bisa berdampak pada masyarakat. Sebaliknya ia justru mengarahkan pembaca pada keharusan Jokowi menghormati Megawati, Jasmerah bagi Jokowi.

Jelas sekali, tulisan Hakim lebih bernuansa politis ditengah-ditengah statusnya sebagai akdemisi yang harus berpegang teguh pada logika berpikir dan pengetahuan yang benar.

Yang perlu saya luruskan dan tidak dapat ditawar lagi di sini, bahwa konstitusi harga mati. Bagi setiap warga negara, pejabat pemrintah dan terlebih bagi Presiden Jokowi sebagai kepala tentinggi. Kisruh KPK Vs Polri masih hangat hingga kini. Masyarakat menanti keputusan Jokowi yang harus taat pada konstitusi dan rakyat di atas segalanya.

Miftahul Arifin, Peneliti di Idea Studies UIN Walisongo Semarang

Dimuat di Wawasan, 05 Februari 2015

Jumat, 06 Februari 2015

Kotak Amal di Hari Jum’at

Ini bukan pertama kali pertama saya melihatnya. Banyak kali aku telah menyaksikan di tengah-tengah sang khotib membacakan khutbah menjelang shalat jum’at. Di banyak masjid yang saya temui juga demikian. Pelan-pelan kota amal secara menghampiri seluruh anggota jamaah. Berjalan dari barisan shaf paling depan sampai saf paling akhir. Ada yang memakai roda sehingga para jama’ah hanya perlu mendorong untuk sampai ke jama’ah yang lain. Ada pula yang tidak sehingga setiap jamaah perlu mengangkat kotak itu untuk berpindah ke lain tangan.

Sebagian orang yang saya temui ada yang merasa enggan untuk memindahkan kotak itu. Ia tetap khusyu’, benar-benar khusyu’ atau berpura khusyu’ saya tidak tahu, mendengarkan khotib membacakan khutbah. Mereka yang demikian berpegang teguh pada sebuah dalil yang mengatakan bahwa barang siapa yang berbicara ketika khotib sedang khutbah maka, la jum’atalahu, tiada jum’at baginya, seperti orang yang tidak melaksanakan jum’at. Jum’at hukumnya wajib. Tidak berjum’at berarti berdosa.

Mereka barangkali memaknai pembicaraan secara lebih luas yaitu bahasa. Pekerjaan memindahkan kotak amal ketika khotib sedang khutbah adalah bagian dari bahasa. Bahasa isyarat. Bahkan dihukumi makruh ketika jama’ah jumat memilih dzikir sendiri dengan tidak mendengarkan khutbah. Kira-kira begitu tafsiran saya terhadap pendapat mereka. Sebagian lagi memperkuat bahwa hal itu bagian dari pekerjaan duniawi yang tidak perlu dicampuradukkan dengan perbuatan ukhrowi, shalat jum’at.

Sejauh pehaman saya, berbicara ketika khutbah, adanya banyak versi ulama memahami. Sebagian lebih menitiktekankan larangan berbicara pada pembacaan ayai suci Al Qur’an. Sebagian yang lain lagi seperti yang sudah saya jelaskan di atas, yakni larangan berbicara pada seluruh khutbah sang khotib dan macam-macam. Masyakarat termasuk juga orang yang saya contohkan memahaminya sesuai dengan apa yang telah mereka terima dari guru, buku, atau yang lain. Berbeda-beda tentunya.

Perhatian saya selalu tetuju pada tangan jama’ah ketika memindahkan kotak amal. Sebagian yang lain ada yang hanya berjasa memindahkan tanpa memasukkan apapun ke dalam kotak. Tidak sedikit bahkan. Barangkali mereka lupa membawa receh atau memang sengaja tidak ingin memberi lantaran tidak punya uang lebih, alias pas pas untuk kebutuhan sehari-hari dalam hidupnya. Mungkin juga ada yang merasa eman untuk menyumbang di masjid. Saya tidak akan mempermaslahkan itu karena hal tersebut adalah bagian hak prerogatif masing masing individu. Dan kalau saya juga jarang memasukkan receh ke kotak amal. Barangkali saya lebih mengikuti alasan yang kedua, ada kebutuhan yang lebih penting. Bahkan kadang saya berpikiran, bahwa saya masih lebih membutuhkan dari pada masjid yang kemungkinan sudah disuplay khusus, baik oleh pemerintah setempat atau sumbangan rutin warga. Oleh orang tertentu pula barangkali saya akan dicap sebagai orang yang tidak suka sedekah atau tidak percaya kemanfaat sedekah, beramal. Tergantung bagaimana orang menilai dan setiap oran punya alasan masing-masing.

Mengalirkan kotak amal ketika hari jum’at barangkali hanya buat tambahan untuk keperluan masjid. Atau barangkali pula karena jasa takmir masjid dengan memberikan fasilitas bagi siapapun yang ingin menymbang. Tapi yang jelas, yang terakhir ini akan merusak  shalat jum’at jika dihadapkan pada orang-orang yang memiliki pemahaman di atas.

Saya melihat tradisi yang sama bagi orang yang menyisihkan uangnya untuk dimasukkan ke kotak amal. Secara sadar atau tidak mereka mesti memanfaatkan kedua tangan. Jika tangan kanan yang memasukkan uang ke lubang ukuran sempit itu, tangan kiri pasti menutupi. Sebaliknya jika tangan kiri yang memasukkan maka tangan kanan akan menutupi tangan tersebut. Barangkali karena satu alasan, yaitu agar orang-orang di samping kanan atau kirinya tidak tahu berapa uang yang dimasukkan di kotak amal. Karena dua alasan barangkali. Pertama, ia merasa malu karena hanya bisa menyumbang sedikit. Kedua, taku dianggap riya’ karena nyumbang sangat banyak. Untuk yang kedua barangkali akan menghadapi dilemma jika tidak berhati-hati. Diperlihatkan bisa saja riya’ dan tidak diperlihatkan bisa saja ujub atau takabbur, membanggakan diri sebagai orang baik yang justru lebih berbahaya dari pada riya’. Semoga kita tidak termasuk kedalam keduanya. Semoga amal yang diberikan murni karena ingin mendapatkan pahala dan ridho disisi Allah swt.

Semarang, 06 Februari 2015

Kamis, 05 Februari 2015

Indahnya Hidup Jika Tak Saling Mengusik

Tiada yang lebih baik dari  kita hanya memberi nasehat dari pada ikut campur atas kesalahan orang lain sedang masalah itu sama sekali tak ada hubungan dengan kita. Apalagi sampai mengusik dan menganggap sebagai orang salah nomer wahid. Lantas kita enggan bergaul, menganggapnya buruk dengan mengklaim hanya kita orang baik. Egois!

Ada golongan orang yang pandai berbicara dan meyakinkan sangat baik sehingga siapapun yang mendengar akan percaya dan yakin atas apa yang ia katakan. Tetapi dibalik itu ia menyembunyikan banyak hal yang ketika siapapun mengetahui maka bisa saja ia tak akan lagi menjadi orang yang bisa dipercaya. Secara pandangan sekilas mungkin kita akan menyebutnya munafik ketika kita tahu dibalik itu ada satu, dua atau bahkan banyak yang disembunyikan. Bisa saja kita menyebutnya sebagai sebuah pencitraan karena akan menguntungkan dirinya. Hal itu karena penilain subyektif yang kita lakukan terhadap dirinya. Penilaian objektif terhadap orang tersebut bisa menimbulkan dua penafsiran.

Pertama, jika yang dibicarakan tidak menyangkut atau ada hubungan dengan apa yang ia sembunyikan maka orang yang mendengarkan hanya akan membatasi diri dengan tidak meniru apa yang telah ia lakukan. Tapi hanya mengambil hikmah dari apa yang ia katakan. Para ulama juga sempat menyinggung Khudzilhikmata walau min dzuburil khinziir, ambillah hikmah walau ia keluar dari dubur anjing. Kedua, jika yang dibicarakan ada hubungan dengan kejelekan dirinya maka bisa dipastikan pembicaraan itu bagian dari pencitraan untuk mengelabuhi lawan bicara bahwa ia orang buruk yang ingin dianggap baik. 

Tak ada orang yang murni baik dan tidak ada orang yang murni buruk. Karena dalam diri manusia ada dua dorongan potensi yaitu baik dan buruk. Kita tidak bisa menafikan bahwa dua potensi itu pernah dilakukan oleh setiap orang lantas. Dan kekacauan akan terjadi jika kita tidak bisa memetakan kedua potensi itu, dari sudut mana kita memandang sebagai orang yang tidak mungkin lepas dari hubungan sosial. Barangkali ini hal ini bisa diperkuat dengan kenyataan bahwa karena kebijaksanaan tuhan, seluruh aib kita tidak diperlihatkan kepada setiap orang yang kita jumpai. Kenyataan ini mungkin terlihat absurd. Tetapi, sebagai orang yang masih percaya terhadap agama dan tuhan, kita akan sulit menyangkal kenyataan yang sejatinya hanya ada dalam pikiran itu karena belum ada survey dan kita menemukan data empiris penelitian.

Memetakan dua potensi yang saya maksud ialah dengan tidak menyamaratakan setiap persoalan harus dipandang dalam sudut pandang yang sama.  Salah satu pengibaratan, misalnya, kita akan mungkin akan dianggap salah jika menganggap orang yang tidak mendirikan ibadah sholat sebagai orang yang buruk dan kita enggan bergaul dengannya. Padahal secara laku sosial yang tidak pernah melanggar etika yang ada. Atau kemudian tidak mempercayai orang tersebut ketika bebicara masalah pengetahuan dalam agama. Padahal jika ditelusuri berdasarkan sumber agama, apa yang ia bicarakan benar dan berdasarkan sumber-sumber yang diakui kebenarannya.  

Dan kita mungkin telah banyak melihat kesalahan dalam menilai itu terjadi dilingkungan kita. Dalam sekala nasional kita bisa melihat misalnya bagaimana ulama terkenal seperti AA Gym bisa tidak lagi ngetren hanya karena ia telah melakukan poligami. Atau dilingkungan kita sendiri, seseorang bisa enggan bergaul dengan salah seorang teman setelah kita tahu bahwa ia seorang ‘bajingan’, pemabok, atau ‘penjahat’ wanita. Dan kita membecninya habis-habisan. Atau menceritakan keburukannya pada teman kita yang lain atau setiap orang yang kita temui di jalan.

Dari sudut pandang mana kita menilai akan memepengaruhi cara kita bersikap. Jika kita memetakan permasalahan maka kita tidak akan pernah mengusik keburukan orang lain. Karena kesalahan yang ia lakukan tidak mengusuk dan merugikan diri sendiri atau orang lain. Kita pun akan merasanya nyaman bergaul dan selebihnya kita bisa mengambil hikmah, pengetahuan dan apa yang dia tahu sedang kita tidak tahu. Sebaliknya jika kita menilai dari sudut pandang yang menyamarakatakn setiap kesalahan untuk dijadikan alasan menghujat, membenci dan memutus hubungan, maka tak akan ada keharmonisan sosial karena masing-masing dari kita punya aib dan kesalahan. Dan jika itu terjadi, kita yang juga tidak bisa dinafikan punya aib, akan selalu salah dimata orang karena pandangan demikian kita gunakan.


Maka yang terpenting dari kita hidup di dunia ini ialah bagaimana meningkatkan kompetisi menjadi baik, baik menurut tuhan atau menurut manusia dengan tidak mengusik keburukan orang karena ingin dianggap yang paling baik. Dan sejatinya dakwah agama tidak turun menjadi sebuah paksaan. Melainkan hanya seruan.Tinggal kita mau ambil seruan itu atau tidak, semuanya memiliki konsekuansi sendiri. Sangsi sosial adalah salah satu konsekuansinya. Tetapi jika sangsi itu akan memutus kehamonisan dalam hidup ber-sosial maka alangkah lebih baik jika konsekusnsi itu kita serahkan saja kepada si pembuat konsekuensi. 

Catatan dini hari
Semarang, 06 Februari 2015