Minggu, 24 Agustus 2014

Di Terminal Ceritaku Tentang Su

Catatan dini hari
Surabaya, 25 Agustus 2014
Rantang kecil biru muda. Nampan. Tas. Kepul asap dari dalam termos ketika gelas plastik mulai menganga. Kopi saset telah menjadi adonan siap saji selang beberapa menit kemudian.


Dari banyak macam merk rokok kuambil gudang garam surya. Tak ada rokok jarum super yang seharusnya menjadi sasaran utama. Tak apa. Asal kepul asap masih ada. Kenikmatan akan senantiasa mengikuti. Ah rupanya beberapa pangkalan bis masih kosong. Beberapa kali aku berfikir, kalau2 beberapa orang yang sedari tadi ada di sekiling kami sebagian adalah perampok. Mati2an dua kardus, tas dan lembaran2 rupiah di dalam dompet aku pertahankan. Kekhawatiran itu hilang ketika tongkrongan terasa semakin nikmat. Tak kurang dari satu jam aku memaku diri di terminal. Dua cangkir kopi panas dan tak kurang dari tiga batang rokok di sedot habis. Bukan karena tak ada bis jurusan tempat tujuanku. Semarang. Lebih karena satu hal: Menjadi pengamat satu titik tempat dari banyak tempat yang secara bertahap langkah kaki.

Di belahan bumi manapun banyak orang menginkan kerja nyaman. Gaji besar dengan kerja santai. Fasilitas penunjang agar urat saraf tidak terlalu tertekan. Bahkan tak usah bekerja asal bulanan tetap lancar. Itulah naluri kita menginginkan. Kita semua mendamba hidup nyaman, terpenuhinya segala kebutuhan. Walau ukuran kenyamanan sebenarnya manusia sendiri yang bisa merasakan.

Meski tempat 'kumuh' seolah telah menjadi andalan, jangan ditanya soal isi kantong. Lebih dari 100 ribu rupiah pendapatan bersih per hari.  Su (kisaran 45 tahun umurnya), menaruh hidup pada aneka rokok dan kopi saset dalam keranjang warna biru muda. Setumpuk gorengan di atas nampan. Persediaan tambahan dalam tas. Dan didih air dalam termos pencet yang beberapa kali harus ditambah dalam sekali jam kerja waktu normal.

Ketika saya bertanya kepadanya, Su hanya bekerja pada malam hari. Mula jam 21.00-05.00 WIB. Diluar itu ia gunakan untuk belanja dan istrahat. "kalau siang saya tidur" ujar ibu dari empat anak itu.
Duduk bersila di samping dagangannya. Aku tak laiknya seorang wartawan yang tengah mewancarai pejabat negara. Tak ada cecal pertanyaan. Tak ada pertanyaan beruntun. Santai. Seperti seorang penjual ke pembeli. Sesekali perbincangan terhenti ketika datang pembeli lain. bahasa madura menjadi jembatan berkomunikasi berjalan secara alami. Ya, ternyata dia juga berasal dari Madura. Bangkalan.

Wanita itu berkerudung kuning. Kain kaos melekat di tubuhnya yang agak gemuk. Sembari menyeduh kopi panas aku melirik celana hitamnya. Menyusul ke isi nampan. Ada empat gorengan yang tersisa, dua tahu dan dua bakwan. Masih banyak lombok di samping gorengan.

Di dalam keranjang ada aneka macam rokok. Ada juga sprite. Mizone. Dan sebungkus nasi.
Su merasa nyaman bekerja demikin. Dapat dilihat dari lamanya ia menekuni pekerjaan itu. "sudah lama dek. Mulai zamannya pak harto" ujarnya.

Hasil kerja ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makan. Arisan. Pembayaran kredit motor. Dan lain2 yang tak sempat

Di surabaya ia sudah punya rumah sendiri. Madura hanya menjadi persinggahan ketika hari raya atau ada hajatan.

Senin, 04 Agustus 2014

Sendiri dalam Sepi

Sendiri dalam Sepi Kecuali lengkinganmu, terdengar nyaring. Di atas bukit di belakang rumah. Dalam sepi aku sendiri Diam tanpa henti Malam, selamatkan aku yang tak tahu soal waktu Moncek Timur, 01 Juli 2014

Sabtu, 02 Agustus 2014

Mainanku Yang Hilang

Catatan:
Moncek Timur, 02 agustus 2014

Masih kuingat hari itu kubawa pulang ribuan karet. Beruntung! aku menang dalam permainan padahal lawanku adalah orang dewasa. Usiaku masih terlalu dini untuk mengingat detail berapa sesi, berapa modal awal dan berapa kali sempat dikalahkan hingga aku menjadi pemenang diakhir pertandingan.


Hari itu aku main "tongghuen" (karet dikumpulkan jadi satu. Lalu dilempar dengan cara menarik sebagian ke tugu yang telah disediakan). Banyak model yang kami kenal. Sebenarnya ada banyak model yang kami tahu. Ada pettatan gedung, onjebban, bunderren dan selte'an. "Tongghuen adalah model permainan karet dengan skala paling besar.

Senang. Hasil kemenanganku aku simpan di sebuah tempat khusus di rumah. Sebagian aku pilah pilah, yang bagus dan tidak. Warna juga demikian. Kuning dengan kuning, merah dengan merah, biru dengan biru dan lainya.

Permainan karet sifatnya musiman. Namun aku dan teman-teman tak pernah khawatir. Musim berakhir berarti akan berganti dengan musim yang lain, permainan baru. Hasil kerja musim ini akan disimpan untuk digunakan pada musim yang sama yang akan datang.

Kami jalani hidup masa kanak-kanak. Desa Muncek Timur yang kami tinggali mendidik hidup kami mengalir begitu saja dengan aneka permainan yang cukup komplek. kadang sampai dimarahi ibuk karena telat pulang, kadang dimarahi orang karena mengganggu ketentraman dan kadang pula kami saling bertengkar satu sama lain karena kurangnya pemahaman.

Ada banyak permainan yang aku dan dan teman seumuran lakonkan. Setiap jenis memiliki banyak model. Kami tak pernah ketinggalan untuk melakukannya bersama-sama. Setiap waktu. Setiap musim. Setiap kesempatan.

Malam yang jauh setelah hari itu. Kami berbincang di pinggir jalan, di samping halaman masjid desa kami. Kesadaran mulai terbuka ketika malam mulai larut, rupanya masak kanak-kanak kami telah lama berlalu. Kami mengulang masa itu dengan cerita2 sederhana. Gelak tawa meledak sesekali ketika peristiwa lucu saling kita ingat. Tentang mainan-mainan tradisional. Tentang kebersamaan mencari burung di gunung.

Tentang perjalanan ke kali-kali dengan membawa pancing. Tentang kebersamaan mengejar layang2 putus. Tentang petak umpet. Tentang tembak-tembakan dengan menggunakan pelepah pisang. Tentang jalan2 ketika bulan puasa tiba. Tentang lari pagi sebelum subuh tiba. Tentang mencuri mangga di sawah2 orang. Tentang balapan dengan pelepah penang di tebing2. Tentang sero'an buncis. Tentang mobil-mobilan dan macam-macam.

Ditengah cerita-cerita malam itu kami mulai mengerti, permainan2 itu sepertinnya kini telah mulai hilang, jarang ditemui pada adik adik. Bahkan sebagian besar telah musnah, digantikan mainan-mainan modern yang dianggap lebih baik. Kalau dulu ladang, sawah, gunung, jalan, halaman adalah tempat kebersamaan kami, kini kebersamaan itu terjalin dalam kejauhan melalui sebuah ruangan berukuran kira satu meter persegi. Warnet. Atau melalui produk2 impor buatan asing.

"Permainan dulu telah dirusak oleh cina" ujar salah seorang teman dengan nada guyon bahasa kami. Madura.
Ah! Andai masa kecil itu bisa ditarik kembali akan kuulangi lagi permainan2 itu bersama teman-teman. Akan kubeli klereng2 dan kita akan berkumpul lagi di halaman. Akan kuambil pelepah2 penang untuk aku bawa ke tebing2. Akan kuambil bambu dan pelepah pisang untuk aku jadikan pistol. Karet2 akau kubeli untuk ku kalahkan teman dengan berbagai model permainan: tongguen, bunderren, geddungan dan onjebben. Akan kubeli kelereng untuk aku mainkan dengan pot potan dan lobengan. Akan kuambil nyamplong2 di bukit untuk diadu di kali2. Akan kuajak lagi bermain sudur, banting, pal palan, juk taijuk, lak laalak butah, guringan dan jikjighen.

Dan ketika itu aku telah bersama adik-adik. Mengajari mereka betapa berartinya permainan karya lokal. Permainan yang sebagian syarat dengan nilai2 falsafah hidup. Permainan yang mulai tersingkirkan oleh mainan2 produk manca negara.

Dan akan kuucapkan "Selamat datang mainanku yang hilang"