GAGASAN Full Day School Muhajir Effendy sejak
baru dilantik menjadi Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada 2016
lalu menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat. Sebagian pihak mendukung
dan sebagian lainnya menolak gebrakan bapak mentri yang rencananya akan mulai
berlaku tahun ajaran 2017/2018 mendatang ini. Konsep Full Day Scholl tiba-tiba
seperti magnet yang menarik perhatian. Baik pegiat lembaga pendidikan maupun
yang hanya pura-pura giat dan penduli pada nasib pendidikan di tanah air.
Pendukung Full Day School, terutama pak
mentri, percaya bahwa Full Day School bisa menekan generasi bangsa agar tak
salah pergaulan. Sebaliknya, Full Day School akan menjadi salah satu cara
menanamkan karakter sisiwa. Pasalnya, selama seharian penuh siswa akan berada
di sekolah. Sepulang sekolah mereka akan mendapat pantauan langsung dari oran
tua. Lebih spesifik, sebagian pihak menilai Full Day School dapat menangkal
paham radikan yang selama ini dipandang mengancam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sebaliknya, Full Day School dikecam karena
dinilai tak cocok bagi kondisi geografis dan kultur bangsa Indonesia. Konsep Full
Day School dinilai tak memihak kepada Madrasah Diniyah (Madin) yang selama ini
berlangsung pada sore hari. Salah seorang teman bahkan mengecam Muhajir
Effendy. Dia yang statusnya warga Muhammadiyah dinilai tak berpihak kepada
Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, sekolah diniyah selama ini lebih kental
dilaksankan oleh madrasah-madasah di lalangan warga Nahdliyin. Gagasan Full Day
School membawa bias.
Pro kontra Ful Day School tak akan menemukan
titik temu selama tidak terjalin kesepahaman antara masyarakat dan Mendikbud
selaku penggagas. Bias-bias yang cenderung keluar dari substansi masalah akan
bermunculan. Ia akan menjadi bola liar yang berbahaya jika tak segera dicarikan
upaya menjalin kesepahaman.
Penulis optimis, Full Day School secara
substasi bertujuan positif meski setelah diterapkan musti memiliki kelemahan. Sebaliknya,
penulis juga geram karena pendidikan kita selama ini lebih sering hanya
coba-coba konsep dan siswa seolah hanya sebagai kelinci percobaan. Wajah
pendidikan belum menampilkan wajah masa depan. Konsep pendidikan hanya lebih
sering menampilkan wajah-wajah pemimpin pendidikan. Ganti pimpinan berganti
pola konsep. Alih-alih menyempurnakan, pendidikan kita semakin tak jelas arah
dan tujuannya.
Half Day
School hingga Full Time School
Terlepas dari pro kontra Full Day School, penerapan
waktu belajar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia selama ini terbagi ke
delam tiga wajah: Half Day School, Full Day Chool, dan Full Time School.
Wajah Half Day School atau sekolah setengah
hari tanpak pada lembaga pendidikan umum atau lembaga negeri. Siswa berangkat
pagi ke sekolah dan pulang pada siang hari. Sedangkan Full Time School atau
sekolah sepanjang waktu terlihat pada pesantren-pesantren yang tak terhitung
jumlahnya di Indonesia.
Santri-santri di pesantren tak tanggung-tanggung
disekolahkan dan diajar oleh para kiai dan ustad. Mulai dari bangun tidur
hingga tidur lagi mereka selalu bersetuhan dengan ilmu. Bahkan ketika tidur pun
mereka sejatinya sekolah. Mereka tidur dengan tuntunan agama. Tata cara tidur,
doa tidur, dua bangun tidur, bahkan doa ketika santri mimpi buruk pun diajarkan
di pesantren.
Bukan Konsep
Baru
Full Day School sendiri banyak berlaku di
madrasah. Selain mengikuti sekolah formal mulai pagi hingga siang hari,
pengelola madrasah bisanya memberlakukan sekolah sore atau sekolah diniyah yang
khusus mengkaji kitab-kitab. Hal ini penulis alami sendiri karena sewaktu
mengenyam pendidikan di madrasah dulu dan kebanyakan madrasah di Sumenep, Madura,
tempat penulis tinggal memang menerapkan Full Day School. Dengan demikian Full
Day Shool gagasan Muhajir Effendy sebenar bukan konsep baru.
Di tengah-tengah ragam wajah pendidikan seperti itu, Full Day School tentu sangat
wajar ditentang. Apalagi jika sebatas wacana atau setidaknya berupa konsep yang
masih “ngendap” di kantor Mendikbud. Konsep Full Day School yang belum
tersampaikan secara menyeluruh kepada masyarakat memang canderung memunculkan salah
paham dan membawa bias.
Penerapan Full Day School kembali hangat karena
salah paham tersebut. Muhajir Effendy sudah menegaskan bahwa Full Day School
buka belajar seharian penuh. Waktu belajar hanya delapan jam. Sedangkan sisanya
bisa digunakan untuk kegiatan ekstra kurikuler dan penanama karakter. Fill Day
School sudah diterapkan di 1.500 sekolah sejak 2016. Tahun ini ditarget 5. 000
sekolah namun ada sekolah yang secara sukarela mengadopsi konsep ini sehingga
menjadi 9.300 sekolah di sembilan kabupaten di Indonesia (detik.com, 13 Juni 2017).
Dengan demikian, kita tak perlu kawatir
pendidikan agama di madrasah setiap sore akan terhapus dengan adanya Full Day
School. Karena Full Day School sejatinya hanya ingin menyasar sekolah-sekolah
yang selama ini menggunakan wajah Half Day School atau sekolah setengah hari.
Salah paham konsep Full Day School ini harus
segera kita luruskan dengan saling memahami persoalan. Lebih baik kita awasi
penerapan Full Day School ala madrasah ini untuk menuju Full Time School ala
pesantren. Dengan catatan jika cara ini memang jitu memperbaiki moral generasi
muda yang sudah dalam kondisi menghawatirkan.
Penolakan Full Day School berupa kecaman atau
bahkan demo mahasiswa di Semarang beberapa hari lalu tak lain merupakan
tindakan berlebihan. Mereka demo karena tak memahami betul pangkal persoalan. Mungkin
juga mereka sedang koar-koar di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk
kepentingan lain.
Mengutip
Emha Ainun Najib dalam Lingsem (Gelandangan
di Kampung Sendiri, 2015), banyak kasus yang bersumber dari perbedaan pendapat
di masyarakat seringkali substansinya selalu bergeser. Pergeseran terjadi
karena subjektifitas. Orientasi tak lagi pada penyelesaian masalah, namun
subjektifitas rasa yang tak mau mengalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar