Rabu, 14 Juni 2017

Gelisah Half Day School, Full Day School Menuju Full Time School

GAGASAN Full Day School Muhajir Effendy sejak baru dilantik menjadi Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada 2016 lalu menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat. Sebagian pihak mendukung dan sebagian lainnya menolak gebrakan bapak mentri yang rencananya akan mulai berlaku tahun ajaran 2017/2018 mendatang ini. Konsep Full Day Scholl tiba-tiba seperti magnet yang menarik perhatian. Baik pegiat lembaga pendidikan maupun yang hanya pura-pura giat dan penduli pada nasib pendidikan di tanah air.
Pendukung Full Day School, terutama pak mentri, percaya bahwa Full Day School bisa menekan generasi bangsa agar tak salah pergaulan. Sebaliknya, Full Day School akan menjadi salah satu cara menanamkan karakter sisiwa. Pasalnya, selama seharian penuh siswa akan berada di sekolah. Sepulang sekolah mereka akan mendapat pantauan langsung dari oran tua. Lebih spesifik, sebagian pihak menilai Full Day School dapat menangkal paham radikan yang selama ini dipandang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebaliknya, Full Day School dikecam karena dinilai tak cocok bagi kondisi geografis dan kultur bangsa Indonesia. Konsep Full Day School dinilai tak memihak kepada Madrasah Diniyah (Madin) yang selama ini berlangsung pada sore hari. Salah seorang teman bahkan mengecam Muhajir Effendy. Dia yang statusnya warga Muhammadiyah dinilai tak berpihak kepada Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, sekolah diniyah selama ini lebih kental dilaksankan oleh madrasah-madasah di lalangan warga Nahdliyin. Gagasan Full Day School membawa bias.
Pro kontra Ful Day School tak akan menemukan titik temu selama tidak terjalin kesepahaman antara masyarakat dan Mendikbud selaku penggagas. Bias-bias yang cenderung keluar dari substansi masalah akan bermunculan. Ia akan menjadi bola liar yang berbahaya jika tak segera dicarikan upaya menjalin kesepahaman.
Penulis optimis, Full Day School secara substasi bertujuan positif meski setelah diterapkan musti memiliki kelemahan. Sebaliknya, penulis juga geram karena pendidikan kita selama ini lebih sering hanya coba-coba konsep dan siswa seolah hanya sebagai kelinci percobaan. Wajah pendidikan belum menampilkan wajah masa depan. Konsep pendidikan hanya lebih sering menampilkan wajah-wajah pemimpin pendidikan. Ganti pimpinan berganti pola konsep. Alih-alih menyempurnakan, pendidikan kita semakin tak jelas arah dan tujuannya.
Half Day School hingga Full Time School
Terlepas dari pro kontra Full Day School, penerapan waktu belajar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia selama ini terbagi ke delam tiga wajah: Half Day School, Full Day Chool, dan Full Time School.
Wajah Half Day School atau sekolah setengah hari tanpak pada lembaga pendidikan umum atau lembaga negeri. Siswa berangkat pagi ke sekolah dan pulang pada siang hari. Sedangkan Full Time School atau sekolah sepanjang waktu terlihat pada pesantren-pesantren yang tak terhitung jumlahnya di Indonesia.
Santri-santri di pesantren tak tanggung-tanggung disekolahkan dan diajar oleh para kiai dan ustad. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi mereka selalu bersetuhan dengan ilmu. Bahkan ketika tidur pun mereka sejatinya sekolah. Mereka tidur dengan tuntunan agama. Tata cara tidur, doa tidur, dua bangun tidur, bahkan doa ketika santri mimpi buruk pun diajarkan di pesantren.
Bukan Konsep Baru
Full Day School sendiri banyak berlaku di madrasah. Selain mengikuti sekolah formal mulai pagi hingga siang hari, pengelola madrasah bisanya memberlakukan sekolah sore atau sekolah diniyah yang khusus mengkaji kitab-kitab. Hal ini penulis alami sendiri karena sewaktu mengenyam pendidikan di madrasah dulu dan kebanyakan madrasah di Sumenep, Madura, tempat penulis tinggal memang menerapkan Full Day School. Dengan demikian Full Day Shool gagasan Muhajir Effendy sebenar bukan konsep baru.
Di tengah-tengah ragam wajah pendidikan  seperti itu, Full Day School tentu sangat wajar ditentang. Apalagi jika sebatas wacana atau setidaknya berupa konsep yang masih “ngendap” di kantor Mendikbud. Konsep Full Day School yang belum tersampaikan secara menyeluruh kepada masyarakat memang canderung memunculkan salah paham dan membawa bias.
Penerapan Full Day School kembali hangat karena salah paham tersebut. Muhajir Effendy sudah menegaskan bahwa Full Day School buka belajar seharian penuh. Waktu belajar hanya delapan jam. Sedangkan sisanya bisa digunakan untuk kegiatan ekstra kurikuler dan penanama karakter. Fill Day School sudah diterapkan di 1.500 sekolah sejak 2016. Tahun ini ditarget 5. 000 sekolah namun ada sekolah yang secara sukarela mengadopsi konsep ini sehingga menjadi 9.300 sekolah di sembilan kabupaten di Indonesia (detik.com, 13 Juni 2017).
Dengan demikian, kita tak perlu kawatir pendidikan agama di madrasah setiap sore akan terhapus dengan adanya Full Day School. Karena Full Day School sejatinya hanya ingin menyasar sekolah-sekolah yang selama ini menggunakan wajah Half Day School atau sekolah setengah hari.  
Salah paham konsep Full Day School ini harus segera kita luruskan dengan saling memahami persoalan. Lebih baik kita awasi penerapan Full Day School ala madrasah ini untuk menuju Full Time School ala pesantren. Dengan catatan jika cara ini memang jitu memperbaiki moral generasi muda yang sudah dalam kondisi menghawatirkan.
Penolakan Full Day School berupa kecaman atau bahkan demo mahasiswa di Semarang beberapa hari lalu tak lain merupakan tindakan berlebihan. Mereka demo karena tak memahami betul pangkal persoalan. Mungkin juga mereka sedang koar-koar di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk kepentingan lain.
Mengutip Emha Ainun Najib dalam Lingsem (Gelandangan di Kampung Sendiri, 2015), banyak kasus yang bersumber dari perbedaan pendapat di masyarakat seringkali substansinya selalu bergeser. Pergeseran terjadi karena subjektifitas. Orientasi tak lagi pada penyelesaian masalah, namun subjektifitas rasa yang tak mau mengalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar