Sabtu, 11 Oktober 2014

Kita [mungkin] Sedang [dipaksa] Bergembira

Catatan [10]

Kita dalam refresh, mendinginkan otak walau sejatinya memang dalam keadaan dingin. Ya, kita yang tak pernah ada kerja di siang hari, kecuali sedikit, setelah banyak hari kita lalui memanjakan diri untuk pergi, jalan-jalan, makan-makan, duduk bersama dan macam-macam sesuai indra penangkapan. Pekan Raya Batik Nusantara Pekalongan tempat menghibur diri malam itu.

Kita beramai-ramai membanjiri sebuah lapangan di pinggir jalan. Di sebuah hamparan luas penuh mutiara dan sampah. Mutiara karena barangkali ada satu tujuan baik diantara kita dan orang-orang. Sampah, karena satu pemanfaatan yang kurang mungkin kurang layak dipandang dan diperdengarkan.

Mungkin kita tak mengalami dan tak sadar saat seseorang melakukannya di sekeliling kita. Atau sebaliknya kita yang melakukannya di saat orang-orang dalam nikmat suasana. Hanya diri yang tahu, yang terbaik untuk hari ini, besok, dan hari berikutnya. Untuk kita.

Lamat-lamat aku melihat, mendengar dan memasukkannya dalam rasa dan pikir. Betapa bahagia ketika mulut lebar memperlihatkan barisan gigi putihnya. Dan betapa sedihnya ketika dalam ramai masih sempat mendonggakan dagu dengan tangan kiri atau kanan. Dari kedalaman hati, mungkin tuhan telah mati, tuhan sedang dicari, tuhan sedang tidak memihak pada diri, atau dalam sabar dan sadar menyakini bahwa tuhan masih menanti dan mereka sedang menacari.

Kita dalam sama. Sama tujuan walau mungkin beda maksud. Sesekali ada senda dan sesekali ada diam untuk sejenak berpikir, diantara kita. Dan ketika kelucuan terjadi, tawa kita pecah. Kita bahagia saat itu. Bahagia walau untuk sementara, dan setelah itu pikiran kita dihantui oleh masalah yang kita bawa dari rumah, kos, atau tempat kita berada saat ini.

Sesekali kita berpisah memecah pandangan, mencari objek pemuas sepasang mata: menonton hiburan musik yang sajikan di pentas, mendengarkan lirik yang sesekali selaras dengan perasaan yang kita alami, menonton ramai penonton atau mendengar ragam sorak mereka. Malam ini kita bergembira atau dipaksa keadaan untuk bergembira, walau hati mungkin sedikit kurang menerima itu.  

Kita kembali ketika malam mulai beranjak. Membawa setumpuk cerita dan kenangan untuk kita ceritakan ulang sewaktu-waktu. Satu hal yang kita harus menyadarinya, sudahkah kita meninggalkan ‘luka’ yang kita bawa, membuangnnya jauh dikeramaian itu. Dan kita merasa tenang, damai, tentram saat selimut kita tarik, mata kita pejamkan dan saat mata itu kembali terbuka, kita telah siap menyambut pagi dengan kerja-kerja-kerja dan pikiran positif? Semoga.

Batang, 12 Oktober 2014

Baca Juga: 
Memahami Hidup Secara Sederhana