Minggu, 21 Agustus 2016

Selamat Ulang Tahun, Diri!

Selamat Ulang Tahun, Diri!
Peritiwa ini seperti tahun lalu. Tepat tanggal 20 Agustus, hari ketiga setelah peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia, setelah 46 tahun Indonesia merdeka, aku lahir. Dilahirkan emak.
Senyum sumringah pasti juga terlihat di wajah bapak waktu itu. Juga kakek. Juga nenek. Juga saudara, kerabat, dan tetangga. Kecuali aku, barangkali. Itu sebabnya, aku (juga setiap bayi yang lahir) memecah tangis diantara senyum sumringah dan tawa banyak orang. Karena sejak hari itu sudah terlihat tanggung jawab mengemban amanah di bumi tuhan.
Ini tahun ke-24 aku lahir. Tahun ke-6 melepas diri dari kampung halaman. Enam tahun lamanya aku terlempar dari bumi kelahiran ke tengah-tengah pulau seberang, Jawa Tengah. Enam tahun terasa aku menjalankan diri, menasehati diri, belajar mengajar diri, menghajar diri, memuji mencela bahkan kadang mencaci maki diri.
Selama itu pula, yang bisa aku mengerti, bahwa hidup laiknya bermain judi: bertaruh, menaruh harapan, lalu kalah atau menang. Aku belum sepenuhnya kalah juga belum sepenuhnya menang. Sebab permainan masih terus berjalan hingga titik darah penghabisan.
Selamat ulang tahun, diri!
Hari ini engkau diingatkan. Melalui sorak dan doa kawan, melalui kelindan wajah emak, melalui nasihat bapak dan keluarga dari seberang. Agar diri tak lapuk dan tunduk nyerah dengan keadaan. Agar diri terus melangkah berjalan dan berlari kencang. Agar diri makin percaya diri. Agar diri terus mencari sampai menemukan jati diri. Agar diri lebih mandiri. Juga tahu diri pada apapun yang terjadi.
Selamat Ulang Tahun, Diri!
Hari ini engkau dapat hadiah. Bingkisan doa dari kawan, lawan, keluarga, sanak famili, hingga kiai. Amin. Terima kasih kawan dan salam takdzim saya haturkan untuk kiai Nor Khalis Ishaq. Terima kasih atas doanya.
Jepara, 20 Agustus 2016

Minggu, 14 Agustus 2016

Inginku memelukmu, Ibu

Ingin sekali aku memelukmu, ibu. Selama mungkin. 
Sampai setelah itu, engkau perlu berganti gaun sebab kuyup oleh air mata anakmu.

Ibu. Ingin sekali aku merangkulmu. Seerat mungkin.
Sampai aku tak sadar,  kalau aku masih hidup dan perlu engkau lepas untuk melihat kehidupan.

Di dalam bola matamu, ibu, aku melihat wajahku.
Dulu lbu bilang, itu bukan bayang. Itu memang aku yang tak pernah lepas dari pandangmu.
Ibu lalu memegang pipiku. 
Mengelus kepalaku. 
Mencium pipi kanan kiriku. 
Ibu memelukku. Dan kepalaku,  tepat menyentuh dada ibu. 
Aku merasakan hangat. Kudengar bunyi ibu mengecup ubun-ubun. Makin erat kupeluk dan kusandarkan kepalaku di dada ibu.

Ibu lalu pergi sebelum aku merasakan itu berkali-kali.
Ingin lagi aku memelukmu, ibu. Selama mungkin. 

Semarang, 14 Agustus 2016