Sabtu, 30 November 2013

Mengapa Aku Moderat, Antara Takdir Tuhan dan Usaha Manusia

Tuhan menciptakan saya tidak untuk diam. Tuhan pun menciptakan saya tidak untuk berontak dan mengabaikan-Nya dalam kehidupan. Tuhan hanya ingin saya berbuat sesuai dengan hukum alam yang telah dibuat oleh-Nya. Karenanya ia menciptakan akal untuk saya, dan menyuruh saya untuk berfikir atas apa yang harus saya lakukan untuk mendapat ridhonya.

Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang manusia menyalahkan orang lain atas keadaan dirinya yang mungkin kurang sesuai dengan harapan. Kurang beruntung kalau saya boleh menyebutnya. Bahkan bisa saja ia menyalahkan tuhan dengan mengatakan bahwa tuhan tidak peduli dengan hidupnya.

Banyak pula orang yang hanya menggantungkan diri kepada orang lain. Orang lain dianggap lebih bisa untuk mensukseskan sesuatu apa yang diharapkan. Dan termasuk pula tuhan: ia diangaap memiliki peran yang sangat vital dalam proses perjalanan hidupnya. Sehingga ketika yang diharapkan itu tidak tercapai ia akan menggap bahwa ini adalah bagian dari renacana dan ujian dari tuhan. Akibatnya, ia menumpulkan otaknya dan membiarkannya berkarat.

Menarik sekali, bagi saya, sebuah artikel yang diposting di kompasiana.com. Judulnya  “Pelajari Cara agama menipu Anda”. Artikel itu ditulis oleh Revo Samantha dengan akun www.kompasiana.com/RevoSamantha. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia merupakan proses alamiah, tidak ada mistifikasi misterius dalam prosesnya. Ia menyayangkan bahwa manusia malas dan gagal dalam memahaminya.

Ada tiga pemisalan yang ditulis oleh Revo. Pertama, seorang pemeluk agama (orang yang menyakini adanya tuhan) ketika merasa sakit mereka akan meyakini bahwa itu cobaan dari tuhan. Padahal menurut dia, itu merupakan kecerobohan dan ketidakberdayaannya dalam menjaga kesehatan diri.

Kedua, jika seorang pemeluk agama gagal dalam hidupnya, mereka meyakini bahwa tuhan belum memberi kemudahan dalam hidupnya. Padahal, menurutnya, bila dirunut semua itu merupakan hasil dari berfikir dan cara bertindak yang tidak terarah.

Dan tetiga, jika seorang pemeluk agama merasa tidak bahagia dalam hidupnya, maka mereka meyakini bahwa Tuhan belum memberkati hidupnya. Padahal yang terjadi, mereka malas dan gagal menata pikiran dan hati mereka.

Begitulah seterusnya.

Dalam kontek hubungan tindakan manusia dan tuhan, dalam ilmu kalam, setidaknya kita mengenal tiga aliran yang mungkin bisa mewakili seluruh aliran yang tak sedikit jumlahnya. Ketiga aliran itu Mu’tazilah, Qadariah dan Asy’ariah. Faham Mu’tazilah yang berciri rasional menganggap bahwa manusia adalah penentu segalnya. Ia mentukan dirinya dan tidak ada peran tuhan dalam setiap tindakannya.

Adapun faham Qadariah menganggap bahwa manusia berada dalam genggaman tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan. Manusia tidak punya kuasa untuk melakukan apapun. Tuhanlah yang menggerakkan manusia, dimana pun dan kapan pun.

Sedangkan faham Asyariah berada pada posisi tengah dari kedua paham tersebut. Ia mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah kehendak manusia tanpa lepas dari kehendak tuhan. Manusia memiliki kebebasan melakukan apapun, tetapi masih berada dalam kehendak tuhan. Tuhan meberikan daya untuk manusia dan tindakan manusia sesuai dengan daya yang telah diberikan oleh tuhan.

Sebagai orang yang telah sedikit banyak mempelajari ketiga aliran tesebut, saya tidak meyakini untuk kemudian mengikuti dua paham yang pertama, Mu’tazilah dan Qadariah. Pikiran dan hati saya menolak jika tuhan memberikan kebasan yang se bebas-bebas kepada manusia dan saya pada khususnya tanpa ada peran tuhan di segala tindakan yang saya lakukan.

Begitupun pada paham yang kedua, hati saya akan berontak jika saya harus diibaratkan seperti seperti robot yang selalu disetir melaui remot kontrol oleh tuhan, tanpa diberi kesempatan untuk melakukan sekehendak hati dan pikiran saya. Untuk apa tuhan menciptakan akal jika pada akhirnya saya sepenuhnya harus dikendalikan oleh tuhan? ini kurang masuk akal bagi saya.

Saya hidup dengan masyarakat, teman dan tetangga. Seluruh interaksi saya dengan mereka berjalan sesuai proses alam yang diciptakan oleh tuhan sebagai pencipta pertama.

Apa yang saya yakini ini mungkin ada kaitannya dengan beberapa pengalaman hidup yang saya jalani. Kebetulan sekali, ketika saya menulis catatan ini, setidaknya ada dua hal yang menimpa hidup saya. Pertama, mungkin saya termasuk orang yang sangat minim dalam bidang ekonomi. Sebagai seorang perantau yang jauh dari keluarga, saya  menyambung hidup dari hari ke hari dengan kerja sederhana dan tidak menentu. 

Saya tidak pernah gentar apalagi takut dengan kehidupan saya. Di satu sisi mungkin sudah menjadi keyakinan saya, ketika awal keberangkatan saya ke daerah rantau yang bernama Semarang. “Saya tidak mungkin mati karena kelaparan,” begitulah keyakinan yang sampai saat ini masih saya pegangi. Saya hanya yakin bahwa hidup saya akan terus berlanjut.

Tentu saja, dengan keyakinan itu saya tidak lantas diam meskipun keyakinan itu sudah mendarah daging. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya harus bekerja. Dan saya tidak yakin jika saya hanya mengandalkan doa kepada tuhan, lantas tuhan langsung memberikan apa yang saya inginkan. Bagi saya, semua akan berjalan sesuai dengan proses alamiahnya. Saya harus kerja untuk memenuhinya. Saya menyakini bahwa keyakinan saya ini juga diyakini oleh orang kebanyakan.  

Kedua, saya sebagai anak muda dan sepeti kebanyakan pemuda lain se usia saya, mesti menyukai seorang wanita. Wanita bagi pria adalah kebuthan dasar yang mau tidak mau menuntut pemenuhan. Saat ini saya menyukai seseorang di kampus tempat saya kuliah. Kesukaan saya tumbuh setelah bebera kali saya bertemu dengannya dalam satu kegiatan. Sekali saya telah mengajaknya pergi.

Beberapa hari setelah bertemu dengannya, perasaan cinta tumbuh. Saya ingin menjadikan ia sebagai kekasih. Pacar lah kalau dalam bahasa anak muda sekarang.

Karena cinta saya itu, saya mencoba mendekatinya dengan sedikit memberi perhatian kepadanya. Tidak lupa, sebagai orang yang masih meyakini adanya tuhan, saya berdoa kepada tuhan agar apa yang saya inginkan bisa terpenuhi, menjadikan ia sebagai kekasih. Bahkan saya pernah melakukan istikhoroh seperti yang telah diajarkan oleh salah satu dosen dibangku kuliah.

Alhasil, usaha saya belum membuahkan hasil. Beberapa hari setelah saya mencoba mendekatinya ia mulai menjauh dan apatis terhadap perhatian saya. Dan dari hasil istghoroh yang saya lakukan, sepertinya tidak mengarah pada kebaikan. Bahasa sederhananya, saya mungkin tidak cocok dengan dia.  

Dalam hal usaha mungkin cara saya yang masih belum bagus sehingga ia berlagak apatis terhadap saya. Wajar karena segala sesuatu ada caranya.

Hati saya berontak setelah istikhoroh. Saya kesulitan mencari alasan mengapa hasil istighoroh saya seperti itu. Saya tidak tahu, kalau hasil istighoroh saya benar, mengapa tuhan tidak merestui saya dengan wanita itu?

Dalam hati saya tidak mengimani hasil istighoroh itu. Tidak mungkinkah dengan usaha dan doa saya kepada tuhan akan menghasilkan kebaikan jika suatu saat saya mendapatkan wanita itu? itu lah pertanyaan yang masih ingin saya tahu jawabannya.

Saya menyakini, tuhan memberikan saya akal, usaha lebih berperan, dengan catatan, tanpa harus sepenuhnya meninggalkan tuhan sebagai pemeberi kehendak dan yang menakdirkan segalanya. Saya menyakini bahwa tuhan telah menciptakan prosedur-prosedur alamiah. Jika itu saya jalankan, maka hasilnya akan sesuai dengan apa yang saya lakukan. Dan doa saya kepada tuhan agar saya dimudahkan dalam menjalankan proses alam itu.

Pada contoh yang pertama mungkin akal sehat orang-orang masa kini akan menolak jika yang saya putuskan adalah berpasrah diri tanpa usaha apapun. Tidak mungkin tuhan memberikan saya se abrek uang tanpa melalu perantara, yaitu kerja. Pada contoh kedua, haruskah saya berhenti melangkah karena ada isyarat bahwa apa yang saya ambil tidak baik?

Jika saya memutuskan untuk berhenti mengejar wanita itu, itu artinya saya menyakini bahwa tuhan sepenuhnya menentukan diri saya secara mutlak tanpa campur tangan saya. Apa yang membedakan contoh pertama dan kedua jika saya harus mengambil sikap yang berbeda dengan masalah yang pertama?

Saya meyakini, bahwa tuhan tidak menentukan tindakan manusia secara mutlak. Melainkan ia memberikan daya kepada manusia untuk bertindak sesukanya. Hal ini sejalan dengan apa yang telah diyakini kaum Asy’ariah.

Sebagai konsekuensi dari perbuatan itu, tuhan menciptakan prosedur alamiah yang harus di lalui oleh manusia. Jika saya (dan semua manusia) berjalan sesuai prosedur alam, maka tuhan akan memberikan kebaikan pada pada saya. Isyarat yang ada dalam istighoroh saya dengan sendirinya tidak akan berlaku. Tapi, sekali lagi, saya tidak boleh pergi meninggalkan tuhan agar daya tuhan yang diberikan kepada saya selalu cukup.

Sebagai refleksi, bagi saya, dan saya meyakininya, bahwa tuhan tidak sepenuhnya diam dengan tindakan manusia. Karenanya, melupakan tuhan dalam setiap hal tidak akan membawa kebaikan. Sebaliknya, tuhan tidak memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Hasil manusia yang menentukan, tergantung bagaimana proses alam yang dibuat oleh tuhan dijalani.

Kurang bijaksana, jika tuhan menentukan segala tindakan manusia sementara di sisi lain ia memberikan akal kepada manusia untuk berfikir. Saya rasa begitu. 

Ashaduallailahaillallah Waashaduanna Muhammadan Rosulullah.

Semarang, 30 November 2013

Note: Terakhir, saya mengucapkan teriakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak terkait \yang telah menginspirasi saya untuk membuat tulisan pendek ini. Syukur saya kepada tuhan karena telah memberi saya kehidupan dengan warnanya yang beraneka ragam. Terima kasih saya juga kepada kompasia. Karena kompasia, saya bisa membaca tulisan Rovo Samantha. Tidak lupa terimaksih saya kepada Anissa Gina Nazda, Karena kamu pula tulisan ada dan dibaca oleh orang. Tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengabadikan kisah hidup saya. Kamu adalah inspirasi saya dalam tulisan ini. You are My Inspiration. Sukses buat saya, buat kamu dan buat kita semua. Amin.

Sisi Lain Wanita "Kelabu"

“Anda itu bukan orang yang penting bagi saya. so jangan GR dan PD. Saya juga telah melupakan anda. Jelasnya, saya mati rasa dengan anda, mengerti kan? Nggak usah merasa WAO dan paling hebat. Ada langit di atas langit! Tampang pas2an blagu, huuu,”

Kata itu keluar dalam jendela media sosial Facebookmu malam itu. Entah untuk siapa kata itu kau ucapkan. Yang pasti, akuhanya membayangkan betapa teriris hati seseorang yang kau maksud jika ia membacanya. Hatinya akan terluka, tersedu dengan tangis. Sementara hatimu tertawa bangga tanpa memerdulikan. Barangkali.

Setatusku sebagai lelaki membayangkan seandainya kata itu keluar untukku. Tak ada lain yang akan keluar dari lisan dan kalbu paling dalam kecuali sebuah kebencin yang sangat. Terlalu berani bagi orang sepertimu mengata demikian. Sebuah kecongakakan yang tidak beretika yang keluar dari mulut wanita. 

“Kau terlalu radikal,” kataku kemudian sembari mengintip jendelamu yang lain untuk mencari hubungan kalimat tentang apa yang baru saja kau katakan. Nihil. 

“Apanya yang radikal? Hanya status gila, luapan rasa jengekal saja” jawabmu. 

“Belajar sastra untuk mengindahkan kata, agar setiap luapan emosi menjadi keindahan yang tak tampak kebencian. Namun, itu dirasa sebagai sebuah ultimatum,”

Diseberang sana, kau berfikir, mencari kata untuk kau ucapkan. Beberapa menit berlalu kau kembali berkicau. 

“Iya, ini saya lagi eror saja, serba ngawur. Yang penting cukuplah sebagai katarsisku,” katamu kemudian.
Sepetinya kau mengamini kataku.

Kau pecinta sastra. Begitupun aku walau karyaku mungkin tak sepadan jika diperbandingkan. Kecerdikanmu mengolah kata adalah keindahan yang dapat menyihir pikiran pembaca. Tapi kali ini sastramu tak berlaku. Tak melebur jika luapan emosi menyambangimu. 

Padamu ku katakan:

“Tidakkah kau tahu, kata itu menjadi pisau pengiris paling tajam untuk memutar keadaan menjadi negasinya?”

“Dan itu yang kumau, agresif sedikit, boleh lah,” jawabmu angkuh. 

Kau benar-benar dilanda kebencian. Namun, Aku tak peduli seberapa besar kebencian itu. Yang jelas dan yang ku pahami,  kata itubagian dari penghinaan tingkat akut. Mencederai kebebasan ekspresi natural, membunuh mental dan mencerca kepribadian.

“Itu egois namanya,” bantahku.

“Biarkan saja aku egois untuk malam ini meski kata itu akan membekas seumur hidup untuk dia yang aku benci,”

Satu hal yang masih ku ingat tentangmu di hari yang lalu. Beberapa kali kau bertanya soal agama, filsafat, penafsiran dan lainnya. Keinginanmu untuk tahu banyak hal masih membekas dan membuatku berdecak kagum. Membantumu dalam segala hal yang kau rasa sulit mendapatkannya adalah inginku setelah itu. Pernah kau ku bawa kepada salah seorang teman untuk berdiskusi tentang filsafat. 

“Kalau saya lihat, dia memiliki keingintahuan yang sangat besar,” ujar temanku setelah beberapa saat kau pergi usai diskusi kecil di malam itu.

Aku mengamini kata-katanya. Dari caramu bertanya, aku melihat kau memang demikian adanya. Pertanyaanmu detail dari A ke Z hingga kau benar-benar mengerti maksud suatu gagasan yang keluar dari bibir temanku. Aku di sampingmu ketika itu.

Kau yang cinta pengetahuan. Kau yang cinta seni dan keindahan. Baru saja aku mendengar kata transparan berupa penghinaan. Barangkali ini adalah sisi lain kepribadianmu dan baru kukenali malam ini. 

“Jika kontekstualisasi selalu di kedepankan setidaknya bukan hanya untuk menafsirkan kitab suci. Melainkan untuk menafsirkan hidup dan kata dalam kehidupan. Kata mulut, kata hati, gerak, diam dan segala hal yang bermaksud dan bermakna,” sindirku.

“Iya, sepakat. Tapi, terkadang manusia kalah dengan ego dari pada superego, sebagaimana teori Freud,”
Sepertinya kau mulai paham dengan apa yang kumaksudkan.  Walau sejatinya kau tak begitu menerima dan bermaksud melakukan pembelaan.

“Menyadari bukan untuk dikata dan sekadar menjadi wacana tak bermakna karena minus tindakan nyata. Menata kembali, membuat regulasi diri, berkata dan bertindak sesuai nurani ilahi,” tambahku.

Engkau diam. Entah apa yang kau lakukan diseberang sana. Mencari kata, menerka makna, atau barangkali engkau membenci kataku. Dan setelah setelah itu engkau pergi atau tertidur pulas karen malam mulau larut. Entahlah.

Engkau wanita kelabu yang kucari kunci hidupnya. Setelah itu semuanya akan jelas, engkau pantas atau tidak menjadi bagian dari pewarna hidup, mendengarkan kabar gembira, keluh kesah, dan menjadi seorang pencerita handal tentang perjalananku setelah aku di akhir waktu.  

Aku diam bukan tanpa gerak. Lamat-lamat aku belajar tentangmu dan kepribadianmu. Salah satunya memahami setiap kalimat yang keluar melalui media sosial modern itu.

Aku juga mengoleksi beberapa kata-katamu yang telah berlalu. Untuk apa? Ya, untuk melacak aktifitasmu. Karena setiap statusadalah gambaran dari kehidupan seseorang. Ada waktu dan setting sosial. Dari sana aku belajar tentangmu. Menghubungkan kalimat demi kalimat yang kau tulis dengan alat elektronik guna menemukan keutuhan makna.

“Diam-diam mengahnyutkan,” katamu dalam komentar status Facebookku di lain kesempatan. 

“Ya, diam-diam aku menjadi sorang intelejen yang menyadap pembicaranmu,” gumamku. “Kalau diam ya diam, bagaimana mungkin menghanyutkan,” aku berkilah. 

Engkau mengerti. Kemudian engkau memperjelas perkataanmu. Aku diam dan setelah engkau pergi tanpa sebuah pesan yang berarti.

Tentangmu wanita kelabu. Kutemukan sisi lain darimu malam ini. Akankah kata lain kutemukan di malam-malam berikutnya. Aku Setia menunggu.

Semarang, 01 Desember 2013