Minggu, 25 Januari 2015

Notulen Untuk Jokowi

Google.com

Oleh: Miftahul Arifin *)

Kasus Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa saat setelah ia ditunjuk menjadi calon tunggal kepala kepolisian Republik Indoensia (RI) berbuntut panjang, menjadikan situasi pemerintahan kian memanas. Hingga kini dua lembaga besar negara, Polri dan KPK, sudah tanpak terbuka saling menyerang satu sama lain. Banyak pihak mengklaim, serangan terhadap KPK sebagai sebuah upaya pelemahan lembaga pemberantas korupsi itu. Tidak adanya bukti yang cukup kuat, menjadikan lembaga lembaga Polri berdalih bahwa “serangan” terhadap KPK murni urusan hukum yang memang harus ditegakkan di negeri ini. Begitupun dengan KPK, ia seperti tokoh protagonis dalam sebuah film yang mendapat pembelaan sekalipun salah satu anggotanya juga ditetapkan sebagai tersangka.


Kini, masyarakat menanti ketegasan presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini untuk bertindak. Kita semua tentu berharap, keputusan yang diberikan Jokowi adalah keputusan  yang terbaik dan memihak pada kepentingan rakyat. Bukan sebagai politisi yang memihak satu kelompok tertentu untuk menguatkan.

Presiden punya kewenangan ketika negara atau pemerintahan di dalamnya mengalami situasi sulit dan tak kunjung terselesaikan. Kewenangan presiden adalah hak “istimewa” yang dilindungi undang-undang. Sebagai mana disampaikan Mahfud MD dalam Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Gama Media, 1993), hak prerogatif presiden sebagai “hak istimewa” yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain.

Hak tersebut bertujuan agar fungsi dan peran pemerintah direntang sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat. Maka, sekali lagi perlu ditegaskan di sini, kepentingan rakyat harus didahulukan dari kepentingan yang lain.

Akar Masalah

  Kalau kita lihat, akar masalah dari perseteruan KPK dan Polri tidak dapat dipungkiri merupakan buntut dari kebijakan Jokowi yang terkesan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala kepolisian RI menggatikan Jenderal Sutarman yang akan pensiun pada Oktober mendatang. Padahal, masih banyak waktu untuk lebih jeli dalam menilai layak atau tidak seseorang untuk diajukan sebagai pimpinan lembaga negara. Kehati-hatian presiden dalam meberikan keputusan adalah poin penting yang harus dicatat setelah kejadian ini. Apalagi ketika dihadapkan pada situasi minimnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika keputusan yang benar bisa jadi salah kerena berakhir dengan kegagalan, apa lagi keputusan tergesa-gesa yang seolah tanpa pertimbangan.

Ditengah-tengah penantian terhadap keputusan terbaik dari presiden, penulis berkeyakinan, publik menyimpan kekecewaan di dalam lubuk hati yang paling dalam terhadap Jokowi. Sebab terlihat jelas sikap presiden yang terkesan lambat dalam memberikan keputusan. Hal ini tanpak berbeda pada saat ingin mengajukan Budi Gunawan calon tunggal Kapolri. Sebagaimana diberitakan, belum hitungan hari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengajukan beberapa calon kepala Polri, presiden langsung menunjuk Budi Gunawans sebagai calon tunggal yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat.

Banyak pihak yang menyayangkan penunjukan Budi Gunawan tidak melalui pertimbangan KPK dan Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Presiden memiliki hak prerogatif dalam mengangakat kepala lemabaga negara dijadikan alasan oleh kelompok pro keputusan presiden termasuk wakil presiden Jusuf Kalla waktu itu. Inilah akar permasalahan atas perseteruan antara KPK dan Polri.  

Ini harus dipahami betul-betul oleh Jokowi. Jika presiden tidak segera mengambil keputusan, maka situasi akan semakin mencekam dan kemarahan publik nantinya akan semakin mempertegas bahwa posisi presiden telah sedikit kehilangan daya tawar di mata rakyat. Harapan masyarakat kepada pemimpin baru perlahan akan tergerus jika presiden tidak tanggap dengan permasalahan yang terjadi.

Atas situasi ini setidaknya tiga catatan penting bagi presiden untuk melanjutkan tampuk kemepimpinannya: Pertama, Indonesia adalah negara kesatuan republik yang menjunjung tinggi sistem demokrasi atau musyawarah. Alangkah lebih bijak jika setiap keputusan yang akan diambil didasarkan pada hasil musyawarah. Dalam kontek ini, lembaga-lembaga negara yang memiliki peran penting harus menjadi kawan bermusyawarah presiden. Asas musayawaroh adalah karakteristik bangsa sebagai mana tertuang dalam pancasila ke-4, kerakayatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan atau perwakilan.

Kedua, waktu yang panjang hendaknya dijadikan kesempatan untuk memantabkan putusan. Pertimbangan yang akan menghasilkan keputusan yang memuaskan.

Ketiga, sebagai kepala negara Jokowi diharapkan dapat bersikap tegas tanpa pandang bulu untuk memberantas mafia-mafia di lembaga pemrintahan. Presiden adalah seorang negarawan yang harus berpihak pada kepentingan rakyat. Bukan pada kepentingan tertentu yang nantinya dapat merugikan rakyat.

Keputusan cepat presidean untuk menyelasaikan perseteruan antara KPK dan Polri sedang dinanti sebelum memakan korban, setelah keduanya sudah saling sikut.


*)Peneliti di Idea Studies dan Human Resourch Departement SKM Amanat UIN Walisongo Semarang.

Kamis, 22 Januari 2015

Siaran Televisi dan Sikap KPI

google.com
Oleh Miftahul Arifin
Tayang di Koran Wawasan, 20 Januari 2015

Sikap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang beberapa film yang berpotensi merusak moral masyarakat beberapa waktu lalu merupakan tindakan yang patut diajukan jempol. Hal ini mengingat, bahwa televisi memiliki pengaruh besar terhadap pola, sikap dan tingkah laku penontonya (baca: masyarakat). Dari siaran televisi masyarakat akan meniru adegan yang dianggap menarik. Ketertarikan berlebihan akan mebutakan mata hati, sehingga tidak bisa mebedakan yang mana yang pantas ditiru atau tidak. Bagi anak-anak pengaruh televisi lebih besar dari pada orang dewasa.

Sejak 2014 lalu, KPI telah melarang beberapa tayangan televisi termasuk film, film anak khususnya, karena dianggap dapat memicu tindak kekerasan dan merusak moral. Tindakan tersebut sebagai bentuk kepedulian pihak pemerintah demi terwujudnya masyarakat bermoral dan cerdas dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang cerdas pula, terlepas dari kemungkinan adanya kepentingan politik industri perfilman yang terjadi di balik layar. Sebab, beberapa tayangan televisi yang dapat merusak moral generasi muda masih lanjut tayang hingga kini.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran pasal 32 ayai 1 menetapkan bahwa  isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Undang-udang tersebut melarang siaran berupa fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Larangan itu tercantum pada ayat 5 dalam pasal yang sama.

Larangan Tayang
Karena dianggap tidak melanggar undang-undang, setidaknya telah ada lima film kartun anak dilarang tayang. Lima film itu Tom and Jerry, Crayon Shin-chan, Little Krishna, Spongebob Squarepants dan Bima Sakti (Chhota Bheem). Jika diklasifikasikan setidaknya ada tiga alasan pelarangan itu. Pertama, terdapat unsur kekerasan seperti pada film Tom and Jerry,  Spongebob Squarepantsdan Little Krishna. Kedua, ada unsur pornografi seperti yang terdapat pada film Crayon Shin-chan. Sedangkan film Bima Sakti (Chhota Bheem) dianggap mengandung unsur filosofi yang kurang tepat dan berbahaya jika dilihat anak.

Jika diamati, ketentuan dalam undang-undang tersebut bersifat menyeluruh. Artinya, sekalipun satu film terdapat filosofi yang baik, akan tepi menyalahi satu ketentuan maka dianggap tidak layak. Film Spongebob Squarepants termasuk film yang mengandung banyak kata bijak dalam komunikasinya. Namun karena terdapat unsur kekerasan dalam tingkah laku yang diperankan aktornya, akhirnya film itu dilarang. Begitu juga dengn Tom and Jerry. Kecerdikan Jerry yang selalu mengalahkan Tom mungkin dapat menginspirasi sebagian tentang pentingnya sebuah kecerdikan dan siasat dalam hidup. Film itu akhirnya juga dilarang karena jamak praktek kekerasan di dalamnya. Kini, film-film itu harus mangkrak di “gudang” kantor pertelevisian.

Anak merupakan calon penerus bangsa di kehidupan mendatang. Oleh karenanya, mulai sejak dini mereka harus selalu diarahkan pada hal yang positif. Termasuk yang mereka tonton harus bersifat mencerdaskan. Membiarkan menonton film yang disenangi namun mengandung hal negatif merupakan tindakan yang tidak baik mengingat seorang anak memiliki sikap yang cendrung meniru. Di usia yang masih polos, mereka belum bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang positif dan negatif, dan yang mana boleh dilakukan atau ditinggalkan. Membiasakan anak menonton film yang berbau kekerasan atau porno akan menyebabkan mereka berlaku keras dan porno, hari ini, besok atau kelak.

Media Komunikasi Positif
Secara utuh setiap film mesti mesti memiliki nilai filosofis yang baik. Film merupakan hasil dari konstruksi pikiran lewat cerita atau narasi dari realitas lingkungan sosial si pembuat film. Lewat alur cerita yang disajikan, kecerdasan si pembuat dapat terlihat.  Namun, yang paling penting, nilai-nilai positif  dalam sebuah harus lebih nampak dari pada kemungkinan adanya nilai negatif yang tidak diduga. Saya yakin, Stephen Hellenburg punya maksud baik ketika membuat Spongebob Squarepants jika dilihat dari komunikasi aktornya di dalamnya yang selalu mengandung kata-kata bijak. Hanya saja, suguhan unsur kekerasan lewat lakon para aktor dinilai lebih berpengaruh hingga akhinya dianggap melanggar undang-undang penyiaran di Indonesia.

Sebagai media komunikasi, setidaknya tayangan televisi tidak boleh keluar dari tiga hal: pertama, media informasi. Film yang bermuatan sejarah akan membantu masyarakat untuk memahami sejarah tanpa harus membaca buku. Film Soekarno, misalnya, akan membantu masyarakat mengetahui tentang sejarah Indonesia terutama mendekati detik-detik kemerdekaan sampai perumusan  Negara Kesatuan Republik Indonesia (RKNI).

Kedua, media pendidikan. Banyak pengetahuan yang bisa didapat dari film. Selain menambah ilmu film yang bermuatan pendidikan akan menjadi inspirasi bagi masyarakat. Sebut saja film Laskar Pelangi atau Negeri Lima Menara. Kedua film itu mengandung muatan pendidikan yang banyak dan dapat menginspirasi dan juga menyadarkan masyarakat akan pentingnya sebuah pengetahuan.  Ketiga, media hiburan. Situasi sosial yang kerap membuat masyarakat mengernyitkan dahi dan geleng kepala dapat direfresh dengan tayangan-tayangan komedi. Komedi yang cerdas akan mendidik masyarakat menjadi cerdas. Sebab, seorang komedian perlu memutar otak untuk bisa menghibur. Dari sana kita akan belajar pentingnya memaksimalkan fungsi pikiran.

Kepekaan KPI dalam menimbang layak dan tidaknya tayangan televisi di Indonesia diperlukan untuk membantu perbaikan moralitas di masyarakat khususnya para remaja. mereka yang bermoral dapat dinilai dari cara mereka bersikap dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu, mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sebagaimana diketahui, bangsa Indonesia memiliki karakter yang khas: berketuhanan, berprikemanusiaan, adil, gotong royong, toleransi, santun dan tengga rasa satu sama lain. Inilah tolok ukur kita dapat dianggap bangsa yang baik selain tetap menjaga keutuhan NKRI.

Bagaimana denga film sinetron yang hampir memenuhi seluruh jagad televisi setiap hari? Jangan-jangan cara hidup kalangan remaja masa kini yang kerap menyimpang dari agama moral sepertinya merupakan hasil adopsi dan imitasidari sinetron. Bagaimana KPI?


Miftahul Arifin, pecinta film tinggal di kampoeng IDEA Studies UIN Walisongo Semarang

Senin, 12 Januari 2015

Memanfaatkan Teknologi untuk Pembelajaran Pesantren

google.com
Setelah sempat mengalami banyak peristiwa, bahkan sulit mendapatkan pengakuan sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia, pesantren kini dihadapkan pada masalah baru. Perkembangan teknologi sangat pesat, yang mengubah seluruh aspek kehidupan termasuk cara pandang masyarakat terhadap pesantren. Secara tidak langsung pesantren dihadapkan pada dua pilihan, ia harus menampakkan “wajah baru” sebagai respon atas kenyataan yang terjadi, atau tetap dengan keadaannya yang mempertahankan sisi tradisional, khas dan unik.


Bukan tidak mungkin pesantren harus berganti wajah karena itu adalah keharusan. Dimana, pesantren adalah lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik dan menggembleng para santri salah satungan dengan menjadikannya juru dakwah agama bagi kalangan masyarakat luas. Tujuan tersebut tentu harus bersinergi dengan cara yang mestinya dilakukan pesantren dalam mempersiapkan santri kelak setelah kembali ke masyarakat. Sedangkan pada sisi yang lain, kekhasan dan keunikan pesantren menjadi pertaruhan. Jika kemajuan teknologi tidak direspon dengan agresif, maka pesantren akan tertinggal jauh dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Inilah yang kemudian menjadi tantangan pesantren abad ini.

Kemampuan pesantren untuk menjawab tantangan ini, pernah dikomentari oleh Nur Cholis Madjid dalam Bilik-bilik Pesantren (Paramadina, 1997). Ia berpendapat bahwa tantangan arus modernisasi yang berlangsung menjadi tolok ukur seberapa jauh pesantren dapat survive dengan zamannya. Apabila pesantren mampu menjawab tantangan itu, akan memperoleh kualifikasi sebagai lembaga modern. Lembaga yang masih berpegang teguh dengan tujuan yang utuh tanpa ketinggalan zaman dan kolot.

Berbeda dengan era 70-an dimana era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) baru bisa diakses oleh kalangan tertentu. TIK kini, telah menjadi bagian gaya hidup sehari-hari banyak orang. Sebut saja sosial media yang telah membagi manusia ke dalam dua dunia: nyata dan maya. Hal ini penting untuk disikapi pesantren mengingat kemajuan tersebut selalu memiliki danpak negatif disamping positif. Seyogiyanya, teknologi haruslah menjadi media transfomasi nilai-nilai positif dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus. Termasuk bagi pesantren.

Meminjam istilah Gus Dur, pesantren adalah sebagai sebuah ‘sub kultur’ yang khas, yang kini berada tengah-tengah kondisi itu (modernisasi). Pilihan bertahan dalam kondisi tradisional akan menyebabkan ia tertinggal jauh dari peradaban. Sehingga, mau tidak mau pesantren harus merespon kemajuan tersebut dengan bijak. Satu diantaranya adalah kemajuan TIK haruslah dapat menjadi media untuk memaksimalkan peserta didik (baca:santri) dalam mengembangkan ilmu yang ia miliki.
Dengan demikian, santri sebagai produk pesantren haruslah mulai belajar hal-hal baru utamanya teknologi. Karena dapat kita definisikan bahwa, santri hari ini bukan hanya santri yang pandai membaca kitab kuning, namun gagap teknologi. Bukan pula mereka yang hanya paham ilmu ulama salaf tanpa tahu ilmu ulama kholaf. Begitulah kurang lebihnya. Santri yang baik, harus sesuai tuntutan sosial. Mereka haruslah paham terhadap kenyataan, mengerti situasi kekinian, dapat menyelesaikan problem sosial dengan sikap arif dan dan berlandaskan hukum yang benar, tanpa terlepas dari tradisi yang dipegang oleh ulama terdahulu.

Di sinilah peran pondok pesantren untuk mencetak santri yang diharapkan itu. Sudah waktunya pondok pesantren dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk mempermudah santri menuntut ilmu, memperluas ruang dawah pesantren dan mempertimbangkan efektivitas belajar. Karena dengan teknologi, ilmu pengetahuan dapat diserap atau disajikan tanpa batas. Kemajuan ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan pesantren. Setidaknya ada tiga hal positif: pertama, sebagai alat pembelajaran. Bahan belajar dalam format digital memudahkan untuk dibaca dimanapun dan kapanpun tanpa batas, The network is the school.

Kedua, sebagai sumber belajar. Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung sangat cepat, mengharuskan proses yang cepat pula dalam belajar. Tanpa teknologi pemebelajaran yang up to date membutuhkan waktu yang lama. Ketiga, fasilitas pembantu pembelajaran. Dengan teknologi, seorang pengajar dapat memberikan ilustrasi berkaitan dengan materi yang disampaikan agar mudah diserap oleh peserta didik. Pelajar yang cerdas adalah hasil dari metode belajar yang tepat dan efektif.

TIK dan Pesantren

Model pembelajaran efektif diperlukan oleh setiap lembaga pendidikan termasuk pesantren. Mau tidak mau teknologi perlu menjadi penunjang untuk memaksimalkan pembelajaran. Ambil contoh, jika tanpa teknologi santri membutuhkan paling tidak setengah jam untuk mencari satu tema dalam tiga jenis kitab, dengan bantuan teknologi seperti maktabah syamilah santri hanya membutuhkan sekitar lima menit. Peran teknologi dalam proses pembelajaran berkaitan pula dengan efesiansi waktu. Hal ini mendorong santri untuk tahu banyak hal tanpa membutuhkan waktu yang lama.

Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam pesantren akan memberikan banyak kemudahan. Seperti flesibelitas program pendidikan, dakwah syiar Islam dan bahan kajian keilmuan yang dapat dibuat lebih menarik dan berkesan.  Integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan di pesantren sebagaimana diungkapakan oleh pemerhati Information Communication Tekhnolgy (ICT) Budi Murtiyasa (2008) dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan kemudahan dakwah di pesantren. Lain dari itu akan mendorong percepatan computer literacy pada masyarakat Indonesia.

Pesantren adalah komunitas yang tidak sekadar tempat berkumpulnya santri. Interaksi antara kyai dan santri atau santri dan ustad merupakan satu transaksi pertukaran ide dan gagasan. Hal ini dapat dilihat dari tradisi pembelajaran pesantren yang disebut dengan mudzakaroh. Di sinilah perlunya TIK untuk memperluas cakupan pesantren sebagai media dakwah, bertukar ide dan gagasan dengan dunia luar yang ingin menjadikan pesantren sebagai tempat belajar. Penyajian keilmuan dalam versi digital adalah kulalitas lintas masa tanpa lapuk. Teknologi membantu menjaga keilmuan agar tetap utuh. Pesantren perlu memanfaatkan teknologi untuk memperluas cakrawala dakwah dan keilmuan Islam. Desain pesantren yang ramah teknologi adalah keniscayaan, mengingat diantara hal yang positif akan selalu hadir sisi negatif.

Kini kesadaran berteknologi di pesantren masih minim. Beberapa pesantren seperti pondok Sidogiri Jawa Timur, Pondok Modern Gontor dan lain-lain memang telah mulai melakukan terobosan dengan memanfaatkan teknologi sebagai media belajar santri. Ini adalah teobosan positif.  Bukan tidak mungkin nuansa keislaman ala pesantren di indoensia akan tanpak semarak jika gerakan serentak pesantren berteknologi sudah mulai digagas saat ini. Tentu kita tidak akan pernah lupa peran pesantren dalam memepertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka tidak berlebihan, meminjam istilah Amin Haedari dalam Masa Depan Pesantren Dalam tantangan Modernitas dan  Tantangan Komplesitas Global, (IRD Press, 2004), jika waktu itu pesantren disebut sebagai “alat revolusi”, maka alat revolusi ala pesantren itulah yang kini dinanti oleh masyarakat untuk menyelesaikan setumpuk persoalan di negeri ini. Majulah pesantren!

Miftahul Arifin, Santri Ma’had “Spesial Program For Ushuluddin Faculty (FUPK)” UIN Walisongo Semarang, Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Sumenep Madura.


Dimuat di nu-online pada tanggal 11 Januari 2015
http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,46-id,56941-lang,id-c,pesantren-t,Pemanfaatan+Teknologi+untuk+Pembelajaran+Pesantren-.phpx

Minggu, 11 Januari 2015

Batang In Memorian

[Catatan ke-2]


_Tentang kerinduan yang mungkin terlalu berlebihan dan tak pernah engkau tahu. Tentang engkau dan aku, ketika telah usai cerita ini kita Lakonkan.


Ya, kenapa aku jadi kurang bersemangat untuk melakukan apapun di tempat ini. Aku bertanya pada diri, dan rupanya dapat terjawab ketika engkau telah kembali setelah beberapa waktu pergi. Semangatku kembali bangkit untuk kesekian kali. Hari itu adalah hari kesadaran, karena engkau, sebagian besar aku melakukannya. Melihatmu tersenyum tanpa gundah, mendengar suara lebut, dan dari kejauhan aku melihat dalam dekatmu.


Kerinduan ini tidak pernah engkau tahu. Bahkan ketika cerita kita selama beberapa hari di ‘pengasingan’ untuk satu tugas mulia telah usai kita lakonkan. Seperti hanya sebuah drama, engkau dan aku akan kembali ke kehidupan yang nyata. Kehidupan yang lebih lama engkau dan aku jalani, meninggalkan skenario yang sengaja dibuat secara singkat, melupakan kenangan saat kita tertawa, bercanda dan berkerja bersama-sama. 

Ini akan menjadi kenyataan yang sangat menyakitkan sekalipun aku dan mungkin engkau sadar bahwa pertemuan kita hanya di atas panggung. Ketika penonton tak lagi bersorak, ketika perlahan mereka meninggalkan arena pentas, ketika nyala neon mulai meredup satu-per satu, saat itu kita akan sedikit sadar bahwa cerita kita akan segera usai.

Bagaimana jika sebuah cerita telah selesai dimainkan. Ia akan hangat hanya dalam bincang dari satu bibir ke bibir lain. Engkau akan berkisah kepada teman, sahabat, saudara famili bahwa engkau pernah bermain peran bersamaku. Engkau akan bercerita tentang kebaikan dan keburukan yang terjadi di atas pentas yang kita mainkan bersama. Dan semua itu tak kurang dari tenggang waktu dalam kedipan mata. 

Kenyataan memang selalu demikian. Meninggalkan luka dalam satu sisi. Tidak akankah tawa yang kita lakukan bersama akan berakhir dengan tetesan tangis. Tidak mungkin. Pada saatnya, kita akan saling rangkul berkali-kali. Saling pandang satu sama lain. Dalam hati tanpa sadar kita akan menghujat takdir. Kenapa kita harus bertemu kalau berpisah dalam waktu yang sangat singkat tidak dapat kita elak?


Batang, 06 Oktober 2014


Senin, 05 Januari 2015

Awal Kata Dari Beberapa Lampiran Huruf, Kata dan Kalimat Yang (telah tak) Berharga

google.com
Teruntuk yang istimewa. Yang mengajarkanku ketenangan. Inilah aku dengan jiwa yang terpotong. Mengajimu dalam huruf tanpa harokat, dalam lafal tanpa sakal, dan dalam kalimat ambiguitas dari sebuah pesan. Ini sebuah catatan. Coretan perjalanan hati dalam sebuah ‘pementasan’. Atau mungkin lebih tepat dengan sebuatan sebuah mimpi dari tidur yang hanya sebentar.


Ini catatan pendek menuju satu perjalanan panjang. Tentangmu, apa yang kurasa, kulihat, kudengar, dan yang aku pikirkan. Langkah dimulai dari rasa yang terlintas, diramu dalam kata menjadi catatan hati yang umum. Ketika mata tak mampu menahan pandang, telinga tak ingin berhenti mendengar, maka pikiran akan mulai belajar menata apa yang diserap oleh kedua indra itu. Engkapun harus berlanjut dalam catatan kedua, ketiga sampai akhirnya menjadi cerita di sebuah senja.

Ah, rupanya aku telah dalam candu. Satu sikap dan tutur lembut juga sempat terekam di sebuah malam. Dan dalam satu perjalanan kamera pengintai mencatatnya sebagai bentuk perhatian. Sejak itu, muncul satu kesadaran akan sikap yang mungkin agak lancang, tak tahu diri, hingga malu sempat dalam rasa yang kurang nyaman.

Engkau yang sempat kumimpikan dalam selintas waktu di masa silam. Aku melihatmu dalam diam, dalam banyak waktu kita bersama. Ternyata benar, engkau seperti yang pernah seseorang katakan. Engkau sering dalam sedih. Akupun demikian karena engkau masih dalam misteri kehidupan. Sisi lain, ruang dan waktu telah menjadikan kita kerap dalam temu. Terutama ketika seolah ada pencegalan rasa. Kataku yang kau sukasepertinya hanya akan menjadi sampah dalam peran di akhir pentas kita.

Aku ingin menulis banyak kata. Namun, rasa yang semakin menyalaitu menjadikannya tak sempurna. Akupun mengakirinya sebelum kata terakhir yang harus engkau baca, aku temukan engkau lewat nada. Bahwa engkau sepertinya dalam duka. “You are not alone. I am here with you,” kataku.


Sejak itu ingingku selalu tidur hanya dengan mimpi indah. Yaitu ketika engkau dan aku dalam nyata, bahwa kita tak sekadar dalam sapa atau senda.

Wajah Polos Anak-Anak Itu

Hari ke-3, catatan ke-5 (Catatan KKN 2014) Warungasem, 03 Oktober 2014


Nampak jelas kepolosan pada wajah-wajah mereka. Sesekali kepalanya menoleh kanan kiri. Di sampingnya ada teman yang terkadang kadang menimpali sesekali ia bicara. Ketika itu tawa tulus mereka lepas, tergambar dari dua bibir yang melebar kesamping. Bersamaan dengan itu, tak henti-hentinya mulut mereka menirukan bacaan-bacan yang dilantunkan oleh kakak-kakak seneornya.
 
Malam itu mereka membaca burdah di sebuah masjid yang tak jauh dari yayasan yang mereka tempati. Lagu yang dilantunkan ala pesantren. Peristiwa itu mengingatkan saya ketika masih ikut nyantri di Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Sumenep atas asuhan K. Mustandji Yusuf (Alm.). Bagaimana keadaan pondok pesantren tidak jauh berbeda satu sama lain.

Hanya saja malam itu saya bersama dengan anak-anak tak berdosa yang telah ditinggal pergi orang tuanya. Aku senang. Kali pertama aku bisa berkumpul bersama anak-anak yatim. Menatap wajah-wajah mereka yang polos. Menyaksikan kebersamaan mereka saat ngaji, walau tidak secara utuh. Dan mendengarkan lagu-lagu mereka ketika membaca Rotib, Barzandjih dan Burdah.

Tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi alasan mengapa aku harus terdampar di desa ini. Desa Warungasem Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Selama kurang lebih 40 hari aku akan berada di desa ini. Terhitung mulai 30 September-07 November 2014 mendatang.

Mereka tinggal di Yayasan Al Mabrur atas asuhan K. Marzuki. Tidak banyak anak yatim yang diasuh beliau. Tidak lebih dari 30 anak. Malam itu ada 9 orang yang terlihat masih polos. Sisanya sudah agak besar. Kisaran umur 10-19 tahun.

Mereka berdiri berjejer. Aku melihatnya satu persatu. Satu anak berdiri di sampingku. Sesekali aku menatapnya. “Kalian semua adalah generasi penerus bangsa. Satu atau dua diantara kalian pasti ada yang menjadi orang hebat,” pikirku.

Usai kegiatan, aku dan beberapa temanku satu tim berkumpul di serambi Masjid. Ada Kyai Marzuki di tengah-tengah kami. Saat itu bertepatan dengan malam jumat. Semua santri makan bersama di Masjid. Kamipun ikut makan atas permintaan Kyai.

Di sela-sela kami makan, obrolan-obrolan santai terjadi. “Kalau soto Madura bedanya apa dengan soto di sini?” tanyanya padaku.

“Kalau di Madura biasanya pakai ketupat, mbah” jawabku.

“Kalau sini ya pakai ketupat bisa pake nasi juga bisa,” timpalnya kyai dengan nada agak guyon.
Setelah itu obrolan pun berlanjut kemana-mana termasuk mengenai anak yatim. Bahwa anak yatim selalu memiliki keajaiban-keajaiban. Ada yang terlihat tidak terlalu baik dalam menangkap pelajaran namun ia punya, dalam bahasa yang sudah masyhur, mata batin. Mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Aneh-aneh kalau dalam bahasa kasarnya.