Senin, 21 April 2014

Berdamai dengan Sejuta Kehidupan

[di kutip dari Fauz Noor dalam Tapak Sabda[210-220]]

Catatan Minggu,  20 April 2014

Pikiran adalah makluk tuhan yang sangat bebas. Ia tak bisa dipenjara oleh siapapun. Oleh penguasa, orang pintar, kaum kaya, bahkan mungkin tidak bisa dipenjara oleh dirinya sendiri. Kebebasan berpikir apabila tidak ditempatkan kemestiannya, pastilah akan melahirkan petaka dan bencana yang paling nyata. Bencana paling murka itu adalah keinginan untuk melangkah maju tak henti-henti, baik dalam persoalan material maupun non material.


Segala permasalahan yang hadir di dunia ketika manusia tidak bisa berdamai dengan sejuta keinginan sendiri. Kehendak menggunung terus di setiap detik kehidupan. Manusia kehendak berharap, ternyata kenyataan tidak seindah yang diinginkan, maka rasa sakitpun tak terelakkan sehingga hidup menjadi satu kejahatan karena yang menstimulus hidup tidak lain adalah rasa sakit. Hidup adalah kejahatan sebab rasa senang hanyalah merupakan tempat pemberhentian negatif rasa sakit. Hidup adalah kejahatan karena segera setelah keinginan dari penderitaan hilang kebosanan menggantikan tempat kehendak dan penderitaan, dan akhirnya hidup menjadi lebih menderita. Hidup adalah ayunan pendulum yang bergoyang di antara rasa sakit dan rasa bosan. Rasa itu kemudian dikonsepsi sebagai sebuah siksaan. Dengan begitu, tidak ada yang tersisa selain hidup enggan dan matipun segan. Hidup menjadi alunan musik yang tak pernah terdengar indah.

Maka, yang harus dimengerti bahwa hidup bukanlah terpenuhinya keinginan, melainkan tercukupnya kebutuhan dalam melihat, menyikapi dan mengolah apa yang dimiliki

Memahami Hidup Secara Sederhana

Catatan Senin, 21 April 2014

Yang aku pikirkan saat ini hanya ingin menjadi orang yang terbaik bagi hidup ini. Aku tidak dapat mengajari banyak hal: tentang ilmu pengetahuan, tentang ilmu membuat kapal atau bahkan membawa orang terbang ke negeri seberang. Yang aku dapat hanya mengajari arti kehidupan.

Aku tidak pernah bermimpi menjadi pembicara ulung di hadapan ribuan orang. Karena pekerjaan itu membutuhkan persiapan matang,  mulai dari mental, materi dan kebiasaan. Sedang aku telah tidak terbiasa melihat hidup kecuali dengan perasaan.

Aku tidak ingin begitu tenar sekalipun kehidupan telah mengajak orang mencari ketenaran. Walaupun di satu sisi ia menjadi pendulang untuk meraih segala hal  yang bersifat material, namun disi lain ia akan menjadi beban berpotensi menebar kemunafikan. Aku hanya ingin menjadi penebar kearifan di semua lokal, di sana langkahku menginjakkan.

Hidup itu pada dasarnya sederhana: makan, minum dan mengeluarkan kotoran. Setelah itu akan datang kematian. Benar kata salah seorang sastrawan Indoensia Pramodya Ananta Toer, ‘Hidup itu sungguh sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya’. Kita hanya butuh penghayatan tentang makan dan minum dan kotoran yang kita keluarkan  setiap saat. Dari mana, untuk apa dan bagaimana selanjutnya. Istilah yang hampir serupa dengan kajian filosofis; ontologis, aksiologis dan epistimologis. Memahami tentang hakikat untuk kemudian menjadi laku yang metodis.

Sayang, kehidupan ini telah menjadi teoritis. Banyak diukur secara matematis, dan mendapatkannya pun tak boleh keluar dari lingkaran bentukan ‘komunis’. Hidup manusia menjadi semacam mesin dengan tombol-tombol penggerak. Manusia terpenjarakan dari oleh kebebasaan yang dibangunnya sendiri.

Kerumitan telah menjadi tafsir dari kemudahan itu sendiri, yang justru manusia harus mengernyitkan dahi untuk sampai pada pemahaman, mengeluarkan banyak biaya untuk mengetahui, lebih-lebih mengorbankan nyawa yang tak berdosa. Kesadaran dilacurkan hingga kita akan menilainya sebagai sebuah perkembangan. Sementara kekuatan intuitif telah dijual dengan sangat murah untuk kehidupan yang kita sebut kemajuan.

Inilah perlunya disini kita kaum menoritas berkumpul, mersiapkan langkah untuk melawan walau sejatinya kekuatan itu telah begitu besar untuk orang-orang sekecil kita. Atau setidaknya kita mengenalkan bahwa kita pernah menjadi bagian dari dunia ini. Atau paling tidak kita menangisi dan mengubur nasip kita bersama-sama. 


Kematian akan segera datang menjemput jika kita benar-benar telah menginginkannya. Tinggal kita pilih: hidup atau mati !