Sabtu, 14 Desember 2013

Rambut Sepanjang Masa

Ngomong soal rambut, mungkin rambutku paling pantas untuk dijadikan obrolan. Itu karena rambutku beda sama yang lain. Kalau sehabis mandi yang lain dengan repotnya menyisir untuk dirapikan, rambutku tidak demikian. tanpa disisirpun pun rambutku sudah tampak seperti adanya. kalau yang lain selalu repot mencari model sesuai dengan perkembangan, tidak pula pada rambutku. Rambutku masih eksis seperti sedia kala.

Kalau orang sudah meresa bosan dengan model yang satu maka ia akan mencar model yang lain. Kalau tidak kemungkinan besar mereka dianggap jadul karena tidak mengukuti perkembangan model rambut. Tapi, rambutku tidak. Meskipun tak ada perubahan sepanjang masa, ia akan tetap di akui adanya, dan tidak akan dianggap jadul. Ia akan selalu eksis sepanjang masa dengan eksistensi yang ia miliki. Seharusnya orang yang memiliki rambu kayak rambutku ini mereka berbangga hati karena masanya lebih panjang dari masa aktif kartu xl yang hanya sampai 2 minggu.

Hanya ada dua model barangkali rambut seperti ini. Pertama model pendek dengan gaya rapi. Kedua model krebo. Semuanya sama-sama oke. Rapi menunjukkan bahwa orang rapi. Kalau krebo, menunjukkan bahwa orang itu gokil sekali. Salam Rambut Gokil !

Mengabadikan Masa Silam yang Kelam untuk Masa Depan Yang Panjang

Google Photo

Mengabadikan masa silam yang kelam untuk masa depan yang panjang. Agar dibaca orang untuk menjadi pegangan, bahwa ada kekuatan di balik keadaan yang akan mewujudkan harapan.

Ini bagian dari kisah hidup yang sampai kapan pun tidak akan pernah terlupakan.

Aku adalah salah seorang yang dinyatakan lulus tes seleksi masuk perguruan tinggi dengan gratis di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang. Aku senang mendengar kabar yang disampaikan salah seorang ustad dari seberang sana. Saat itu aku berada di sebuah pesantren di Sumenep setelah beberapa hari aku dibawa beliau dan didaftarkan untuk mengikuti tes itu.

Namun, dibalik itu, kabar gembira kelulusanku di Fakultas Ushuluddin Program Khusus (FUPK) IAIN Walisongo Semarang itu tidak lantas membuat aku gembira sepenuhnya. Ada beberapa hambatan yang harus aku lalui.

Masih ku ingat ketika itu. Tak ada cara lain, kecuali aku harus rela berpanas-panasan, keliling kerumah-rumah di luar desa tempat aku tinggal. Bahkan sampai keluar kecamatan. Dengan membawa satu bendel proposal pribadi, aku mendatangi rumah-rumah untuk mencari rupiah. Sebab, menurut informasi yang aku dengar, beasiswa akan cair setelah aku menjalani proses perkuliahan. Sehingga untuk pembayaran awal aku harus memakai uang sendiri terlebih dahulu.

Uang yang kubutuhkan saat itu “satu juta dua ratus ribu rupiah”. Separuh untuk pembayaran SPP dan separuhnya lagi untuk persyaratan lain-lain.  

Bagi orang sekaliber aku, seorang siswa yang baru dinyatakan lulus sekolah menengah atas, tentu mencari uang sebesar itu bukan suatu pekerjaan yang mudah. Hingga apapun harus kulakukan termasuk “mengemis” kepada orang-orang. Cara tersebut adalah satu-satunya cara terakhir yang bisa kulakukan saat itu setelah aku mencoba menghubungi teman-temanku untuk dicarikan kerja dan hasilnya nihil.

Rumah demi rumah ku datangi satu persatu tanpa mengenal lelah. Mulai dari desa tetangga hingga ke sebuah pulau di daerah Sumenep. Tak sedikit orang yang menolak proposal pribadi yang ku ajukan. Entah karena usahaku mereka anggap akal-akalan semata maupun karena orang yang aku datangi memang tidak begitu suka memberi bantuan kepada orang lain, alias pelit.

Sebagian memberi dengan ala kadarnya dengan menampakkan wajah yang kurang enak dipandang. Dan sebagian yang lain nampak iba dan memberi dengan ala kadarnya pula. Sebagian lagi ada yang menyambut baik dengan memberi bantuan yang lumayan besar, saat itu 50 ribu rupiah, nilai paling tinggi yang aku dapatkan. Hingga aku berjanji pada diriku sendiri, kelak ketika aku sudah suskes aku akan mengunjunginya kembali dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Betapa aku terharu, betapa mereka adalah keluarga yang berbahagia dan dipenuhi oleh kebaikan-kebaikan. Salah seorang teman mengatakan, setiap ada orang yang meminta bantuan ke keluarga itu pasti disambut dengan tangan terbuka. Subhanallah.

Pernah pula aku disambut dengan ceramah yang sok memberi solusi. Ia adalah petugas polsek di kecamatan Bluto. Aku lupa nama beliau. Agak lama aku berbincang dengannya hingga akhirnya berujung pada sebuah janji, ia akan memberiku bantuan. Namun setelah beberapa hari kemudian, setelah ku datangi kembali ke tempat ia bekerja, janji yang ia sampaikan tempo hari tidak ia tepati. Alasannya, ia tidak punya uang. Beliau hanya menitip doa sebelum keberangkatanku.

Beberapa hari aku berjalan, menyusuri jalan terjal demi keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi, akhirnya terwujud. Entah berapa rupiah aku mendapat bantuan dari orang-orang yang sama sekali tak ku kenal kecuali kebaikannya, aku sudah tidak mengingatnya. Yang jelas semua kebutuhan saat itu sudah terpenuhi. Dan ketika aku tulis catatan ini, aku sudah berada di semester 7 jurusan akidah dan Akhlak Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

Betapa tuhan tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap usaha yang dilakukan oleh hambanya. Puji syukur kepada tuhan yang telah memberiku kehidupan dengan warna-warninya. Puji syukur kepada dzat yang maha kasih yang telah mengajariku hidup lebih dewasa.

Di kota semarang aku hidup. Di kota semarang aku belajar tentang arti kehidupan. Satu hal yang masih aku imani dan terus kupegangi, bahwa tuhan hadir dalam hidupku, membimbimbingku, dan ia tak akan meninggalkanku sendirian.

Terkadang kita memang harus melakukan apapun untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Mulai dari “menghinakan” diri sampai pada “mengangkuhkan” diri dengan tindakan anarkis yang sejatinya merugikan orang lain. Semua dilakukan bukan tanpa alasan. Ketika keinginan sudah membelenggu diri, seseorang tidak akan sempat melihat kanan-kiri dan yang dibenaknya hanya satu: “Apa yang ku inginkan harus terwujud!”

Semoga catatan kecil ini menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membaca. Cerita tetang perjalananku, bahwa keinginan yang kuat tidak akan pernah sia-sia asal dibarengi dengan usaha keras untuk mewujudkannya.

Jangan berfikir tidak bisa untuk keluar dan mengatasi masalah. Percayalah bahwa tuhan selalu bersamaku, bersamamu dan bersama kita semua. Itulah imanku!  

Semarang, 09 Desember 2013

Rabu, 11 Desember 2013

Catatan: Ini Ujian atau Apa?

Perjalanan amat panjang walau jarak tempuh hanya dalam hitungan meter. Kontrakan-Polsek-Kampus-Polsek-Bank-Kontrakan-Bank-Foto Copy-Kampus. Pagi hingga siang itu hanya dalam satu urusan: Beasiswa. Hasilnya masih dalam ketidakjelasan. Bahkan, nampak pada kegagalan. Siapa yang harus disalahkan?  Aku, Tuhan atau Alam? Atau, inikah  yang disebut ujian kehidupan? 


Siang itu aku mendapat kabar; Aku masuk dalam daftar penerima beasiswa asrama. Termasuk beberapa temanku yang lain saat itu juga masuk dalam daftar itu. Padahal, beberapa bulan lalu kontrakku di asrama sudah selesai dan aku sudah pindah ke sebuah kontrakan di sebuah perumahan.

Mengapa aku masuk dalam daftar? Tak ada yang tau pasti jawabannya. Aku dan teman-yang lain hanya menduga, asrama ada lebihan jatah dan aku adalah orang pilihan, mungkin karena aku dan beberapa teman yang lain adalah ketua lembaga. Namun ada pula sebagian bukan ketua lembaga tetapi ia juga tertera dalam daftar. Apa sebenarnya kategori penerima jatah lebihan itu? Tak ada yang tau kecuali Wakil Dekan Bagian Kemahasiswaan dan Kerjasama.

Sebagai ketua lembaga Pers mahasiswa, ada sebagian orang yang sedikit menyalahkanku lantaran aku tidak mengusutnya. Ia sedikit tidak terima lantaran tidak ada ketentuan yang jelas, yang transparan, mengenai kriteria penerima jatah itu. Ia agak sedikit mengoceh, bahkan hampir menuduhku yang bukan-bukan. Karena aku juga dapat jatah lah, dan lainnya.

Padahal sama sekali aku tidak berfikir kesana. Tidak ada ketentuan yang terbuka mengenai hal itu. Tapi bagiku ini hanya masalah sepele dan tak baik jika dibesar-besarkan. Dan lagi pula ini hanya sisa jatah beasiswa untuk mahasiswa yang pernah menetap di asrama. Dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi kepentingan mahasiswa secara umum.

Secara prinsip memang perlu dipertanyakan mengenai kategori tersebut. Dan sekali lagi ini masalah yang terlalu sepele yang bisa saja nanti akan berdampak tidak baik. Dan dalam hal ini aku lebih memilih danpak yang laing sedikit dari pada mempertaruhkan idealisme untuk hal-hal yang sepele seperti itu.

***

Karena namaku terdaftar sebagai calon penerima, aku pun mengajukan berkas-berkas persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah foto copy buku tabungan bank BTN. Berkas itu aku setorkan ke bagian yang bertugas di kantor fakultas.

Beberapa hari setelah itu, aku kembali mendapat kabar dari salah seorang teman untuk mengumpulkan foto copi rekening lagi,  3 lembar dan sudah di legalisir oleh pihak bank. Waktu terakhir pengumpulan hari itu. Aku bergegas, menuju kontrakan yang letaknya tak jauh dari kampus. Ku ambil buku tabungan di tumpukan berkas-berkas kuliah yang lain. Aku menuju tempat foto copi. Setelah itu aku langsung menuju Bank BTN untuk dilegalisir.

“Selamat siang mas, ada yang bisa saya bantu,” sambut teller bank atas kedatangku

“Legalisir, mbak,”

Kusodorkan tiga lembar foto kopi tabungan BTN. Teller bank menerimanya dengan seulas senyum buatan di bibirnya yang kemerah-merahan.

“Ini tabungan apa, mas? Ini tabungan Bank Jateng,” katanya kemudian.

“Waduh!” gumamku. “Maaf, mbak, salah !”

Jiambreeet. Ternyata aku salah mengambil tabungan. Aku kembali menuju kontrakan, mencari tabungan BTN. Nahas. Setelah beberapa lama aku obrak-abrik seluruh kumpulan berkas-berkas kuliah, buku tabungan tidak ketemu. Aku bingung lantaran waktu sudah mepet.

“Ah, sudahlah. Mungkin ini bukan rizekiku,” gumamku. Aku kembali ke kampus. di kampus aku ketemu salah seorang teman yang tadinya juga bertmu di Bank BTN dalam urusan yang sama. Ia lantas menyuruhku untuk melaporakannya ke BTN.

“Eman-eman, masih ada waktu,” katanya.

Saat itu waktu hanya tersisa sekitar setengah jam. Atas usulan itu aku kembali bergegas menuju Bank BTN yang letaknya sekir 200 meter dari kampus. Kata pihak bank, untuk mengganti buku tabungan harus meminta surat keterangan kehilangan dari pihak kepolisian.
“Nasiib, Nasib!”

Saat itu aku sudah menyerah. Waktu sudah mepet. Pikiran tidak karuan. Dan saat itu aku juga harus pergi ke kantor LPM untuk satu keperluan. “Mungkin memang bukan rizekiku”

***

Malam itu, aku dan temanku menapaki malam. Berjalan menuju sebuah moshalla, tempat salah seorang temanku. Aku baru mendapat pinjaman motor darinya setelah puluhan temanku yang lain kuhungi untuk kupinjami. Malam itu aku ingin pergi kesuatu tempat, menengkan diri. Jalan-jalan lah!

Dari belakang tiba-tiba terdengan suara motor. Motor itu semakin mendekat. Mendekat, hingga sampai di sampingku. Berhenti.

“La sampyan mas, mau kemana,”

“Mau ke asrama. Oya tadi aku ketemu sama pak taufik. Katanya kamu juga belum mengumpulkan rekening?”

“Ya mas, tapi rekeningku hilang”

Aku juga belum mengumpulkan. Besok senin terakhir disuruh mengumpulkan ke kantor. Di tunggu jam 8,”

“Owh, gtu ya mas. Ya dah kalo gitu, besok aku mau minta surat keterangan kehilangan ke polsek ngaliyan. Aku mau buat rekening yang baru,”

"Ya sudah, kalo gitu, senin kita bareng-bareng ke kantor,”

“Ok, siap!”

***

“Permisi pak, mau tanya. Kalau ingin membuat surat keterangan sebelah mana ya?”

“Surat keterangan apa ya mas?”

“Surat keterangan kehilangan,pak! Tabungan saya hilang,”

“oh, sebelah sana, mas !” tunjuk lelaki dengan seragam itu ke sebuah ruangan yang ada di belakangnya.

“owh, ya. Terima kasih, pak!”

“Sudah bawa foto copi-annya?”

“Foto copian apa, pak!”

“Foto copi-an tabungan”

“Memang, harus bawa itu ya pak?”

“Ya biasanya memang begitu. Untuk lebih jelas, mas langsung tanya ke dalam saja”

“Oh, ya. Terima kasih, pak!”

Pagi itu, adalah hari pertama aktifitas yang aku lakukan setelah bangun tidur. Aku bergegas menuju Polsek Ngaliyan. Kabar dari teman pada malam minggu itu memberikanku sedikit harapan bahwa jatah beasiswa masih bisa aku dapatkan.

Aku memasuki sebuah ruangan ketika itu. Ada banyak orang di sana. Sedikitnya ada tiga orang petugas dan beberapa orang yang tidak ku kenal. Sebagian aku melihat ia mempunyai maksud yang sama denganku.

“Apa iya, harus membawa foto copi buku tabugan?” gumamku megingat-ingat petugas yang kutanyai ketika di halaman.

Tanpa berfikir panjang, karena kebetulan antre-an masih agak panjang, aku bergegas keluar. Menuju sebuah motor yang aku parkir di bagian depan polsek.

Aku berjalan menuju kampus.  sesampainya di sana, aku meminta foto copi-an tabungan yang sebelumnya telah aku setorkan ke bagian petugas pengumpul berkas beasiswa. Aku juga memfoto copi KTP.

“Barangkali juga diperlukan!” pikirku.

Beberapa menit aku telah kembali ke polsek. Masih terlihat beberapa orang di sana. Aku mengantri, duduk di sebuah kursi panjang. Di sampingku duduk seorang lelaki.

“Mau apa, mas?” sapaan pertama lelaki berpenampilan rapi itu.

“Mau buat surat keterangan kehilangan, pak!”

“Apa yang hilang, mas?”

“Buku tabungan”

“Owh, sama. Punya saya juga hilang,” katanya sembari menunjukkan nomer rekening yang ditulis dalam kertas kecil. Tanpa foto copi KTP atau buku Tabungan. “Ah, sia-sia aku rupanya,” gumamku

Aku mematung beberapa saat. Kulihat polisi itu tengah melayani seorang wanita. Sepertinya juga dengan keperluan yang sama: Surat Keterangan Kehilangan. Sepertinya, orang-orang yang datang ketempat itu punya satu maksud yang sama. Entahlah, kalau demikian adanya,  sudah berapa barang yang hilang dalam beberapa hari ini.

Aku hanya berfikir, betapa banyak data kehilangan di polsek itu. Kepolisian hanya mendata dan merekomendasikan surat keterangan sesuai permintaanya. Tidak lebih dari itu. Barangkali.

Tak lama setelah surat itu selesai, wanita agak muda itu kemudian menjulurkan uang 10 ribu-an ke petugas. Entah itu uang untuk apa, aku tidak tahu.  “Masak iya, buat suratketerangan harus ada uang administrasi?” kata hatiku.

“Oh ya pak,  apa iya, kalau buat surat ketengan harus ngasih uang?” bisikku kepada bapak di sampingku.

“Saya tidak tahu, la kamu mau ngasih nggak, nanti?”

“Gak usah, pak!”

“Ya sudah, saya ngikut saja nanti,”

Aku mengangguk. Pandangannku kembali tertuju ke petugas. Sesaat telah sampai pada giliranku. Petugas menanyakan keperluanku. Kuberi tahu maksud kedatanganku. Kusodorkan KTP dan foto copi buku tabungan. Petugas itu kemudian mendatanya. Bertanya seputar kehilangan itu. aku menjawab. Beberapa menit surat keterangan itu di stempel. Di tandatangani. Dan disodorkan kepadaku. Selesai.

Aku mengambilnya dan pergi tanpa memberi sepeser uang pun ke petugas. Petugas juga tidak memintanya. “Alhamdulillah, ternya tidak ada uang administratif,”

***

Foto copi rekening Bank BTN dan surat keterangan kehilangan dari kepolisian telah kusodorkan ke teller bank.

“Mbak, mau legalisir buku tanbungan. Tapi buku tanbungan saya hilang. Yang ini adalah surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Sekalian saya mau ganti buku tabungan.”

“Satu satu dulu mas, mau legalisir apa mau ganti buku tabungan?”

Sesaat terjadi dialog yang sedikit membuat aku marah kepada teller setelah aku memilih mengganti buku tabungan. Entahlah dia tidak mengeti maksud ku atau ia yang kurang jelas memberikan informasi. Kata wanita berbadan kurus itu, kalau mengganti buku tabungan maka seperti membuka rekening baru. Begitupun harus menabung terlebih dahulu sepeti  biasnya. Setahuku ku. Membuka rekening di BTN minimal harus nabung 50 ribu.
Saat itu aku tidak membawa uang kecuali 3 lembar 5 ribu-an di dompet.

Teller itu juga mengatakan, kalau mengganti buku tabungan maka nomer rekening akan berubah. Jelas bahwa rekening yang lama tidak akan dibutuhkan. Jadi kalau seandainya aku memilih legalisir, maka foto copi tabungan ku yang lama jelas tidak bisa digunakan karena sudah ganti yang baru.

Ia menegaskan, kalau aku memilih melegalisir foto copi buku tabungan, aku akan kesulitan mengambilnya karena buku tabungannya hilang. Sang teller seperti membuat teka-teki yang saat itu sulit aku pecahkan. Pikirku, masuk ia, kalau buku tabungan hilang lantas saldo di dalamnya juga hangus. Lantas apa gunanya ada surat keterangan dari kepolisian. Apa tidak mending langsung buat tabungan yang baru saja?

Karena aku memilih urusan cepat selesai, pertanyaan-pertanyaan itu tidak aku utarakan. Saat itu yang kuinginkan adalah membuat buku tabungan baru.

Aku keluar dari bank menuju kontrakan. Kepada temanku, aku meminjam uang 50 ribu untuk membuka tabungan baru. Setelah bercerita sedikit tentang peristiwa di bank tadi, aku kembali ke bank. Aku menemui tellernya, lagi.

Sebelum kusampaikan bahwa aku ingin membuat tabungan baru, aku bertanya:

“Mbk, kalau misalnya buku tabungan hilang, saldo yang ada di dalamnya juga ikut hangus?”

“Tidak mas, kan nanti kita pindahkan ke buku tabungan yang baru”

“Jiancuuuuuuuuuuk, maksud saya tadi ya begitu? Kenapa tadi dia hanya bilang sulit untuk mengambil saldo. oasyem eg.. ” kataku dalam hati.

Beberapa menit teller bank telah membuatkanku tabungan baru. Beberapa kali ia memintaku menandatangani beberapa slip. Ada slip penarikan. Ada slip setoran. Dan slip-slip lain yang aku tidak mengenalnya.

“Mas, buku tabungannya yang baru, silahkan bisa di ambil di teller sebelah sana” pintanya sembari menunjuk ke tempat pelayanan yang lain di sebelah kananku. Aku duduk dikursi, di depan teller, menunggu antre-an. Sesaat.

“Atas nama Miftahul Arifin!” panggil teller bank.

Aku menuju kehadapannya. Ia meminta KTP untuk membuktikan kebenaran. Setelah aku memberinya uang 10 ribu setelah ia memintanya. Aku menunggu sebentar. Setelah itu, ia memberikan tabunganku yang baru dan slip bukti setoran yang menunjukkan bahwa uang 10 ribu yang saya berikan hanya biaya ganti buku tanbungan.

“Jiancuuuk,” sumpah serapahku dalam hati pada teller yang sebelumnya melayaniku. Ia memberikan informasi yang salah. Tidak setoran awal untuk ganti buku tabungan seperti yang dikatakan sebelumnya. Hanya biaya ganti buku tabungan. Itu saja.

Rasanya aku ingin meremas-remas teller itu. “Jiaaambret” sumpahku lagi.

Aku keluar menuju foto copi. Sesuai permintaan fakultas, 3 lembar foto copi buku tabungan yang sudah dilegalisir. Aku memfoto copi 3 lembar dan kembali ke bank untuk meminta legalitas. 

Setelah aku keluar menuju kampus. Urusan buku rekening sudah selesai walau masih menyisakan sedikit kecewa dalam hati. Gara-gari teller koplak.

***

Di kantor aku menemui petugas mengumpul berkas beasiswa. Ku sodorkan kepada beliau 3 lembar buku rekening yang sudah di legalisir.

“Oya, gimana tadi dengan pihak bank?”

“Saya ganti buku tabungan baru, pak! ”

“Tapi nomer rekeningnya masih sama kan?”

“Nggak, pak! Sudah ganti rekeining baru. Kata pihak bank, kalau ganti buku tabungan rekeningnya juga ganti yang baru, dan rekening yang lama ditutup” jelasku.

Petugas itu sedikit terkejut. Sesaat setelah aku minta penjelasan. Ternyata nomer rekening yang (mau) disetorkan ke jakarta dan sudah mendapat tanda tangan rektor, adalah nomer rekening lama.

Untuk mengajukan ke lagi ke rektor membutuhkan waktu lama. Dan bisa saja kalau tidak segera disetorkan beasiswa untuk penerima yang lain juga ikut hangus. Petugas tidak menjamin untuk memberikan solusi untuk hal tersebut.

Sampai ketika catatan ini aku tulis, solusi belum aku temukan. Entahlah, aku akan mendapatkan beasiswa itu atau tidak. Hanya tuhan yang mentukan setelah usaha cukup aku lakukan. Kuserahkan semua ini padamu tuhan !

Semarang, 09-10 Desember 2013

Minggu, 01 Desember 2013

Cintaku Padanya Melebihi Cintaku Pada Tuhan dan Muhammad

Google Photo
Cinta itu tentang rasa. Rasa yang tumbuh dari batin. Nikmat jika terjalani. Dan menyiksa jika tidak terpenuhi.

Kalau judul di atas saya tulis empat tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di sekolah menengah atas dan ketika itu saya masih tinggal di pesantren, mungkin saya telah dikecam banyak orang. Saya mungkin akan dianggap murtad, syirik dan kafir. Bahkan, pak kyai mungkin tidak segan-akan mengeluarkan saya dari pesantren.
Secara kultur, masyarakat di daerah saya menganut Nahdatul Ulama (NU). NU tulen kalau boleh saya katakan. Tidak usah sampai kepada pernyataan di atas, dulu ketika teman saya mau mengadakan diskusi keislaman dilarang habis-habisan karena diskusi tersebut di pelopori oleh Harakah Sunnyah Untuk Masyarak Islam (HASMI), salah satu gerakan islam indoenesia yang tergolong fundamental.

Dalam kultur masyarakat yang demikian, tata tidak boleh memiliki pkamungan yang (agak) berbeda jika ingin diterima di masyarakat. Maka dalam hal ini menjadi menjadi penting menjaga pembicaraan. Dalam arti harus tahu kontek sosial dimana kita harus mengemukakan pendapat.

Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan daerah yang saya tempati sekarang, Semarang, dimana terdapat beragam paham tentang islam. Khususnya di perguruan tinggi IAIN tempat saya belajar, terlebih Fakultas Ushuluddin. Fakultas yang oleh sebagian masyarakat tak jarang dianggap menyesatkan karena materi perkuliahan yang diajarkan identik dengan kebebasan berfikir.

Pemikiran liberal, menggugat otoritas tuhan, membongkar keimanan (walaupun sebagian yang saya sebutkan tidak disajikan secara secara langsung) adalah salah satu materi yang di ajarkan di fakultas ushuluddin. Teman saya pernah berujar, bahwa kuliah di ushuluddin tidak “berhasil” jika tidak pernah mengalami liberalisasi pemikiran.

Alhasil, mahasiswa IAIN khususnya ushuluddin sangat menghargai (walau tidak secara keseluruhan) pluralitas. Pebedaan adalah sebagai rakmat. Yang terpenting bagaimana kedamaian itu berjalan dengan baik walau berbeda iman.

Tulisan ini adalah bagian dari kegelisahan saya sebagai orang awam yang ditakdirkan untuk mengenyam pendidikan di Fakultas Ushuluddin. Saya menduga, sedikitnya ini adalah bagian dari leberalisasi  pemikiran. Sebab, kalau saya menoleh mundur ke empat tahun yang lalu misalnya,  rasanya,  saya tidak akan mengatakan hal demikian. Orang-orang di daerah saya mungkin akan menyebutnya murtad. Begitupan saya ketika itu.

Saya melihat dan bahkan merasakan sendiri bahwa cinta (saya) kepada tuhan tidak melebihi cinta kepada yang lain. Begitupun cinta saya kepada nabi Muhammad.

Seseorang yang mencintai, cinta pada apapun itu, akan menjadikan orang itu selalu ingat kepada yang dicintainya. Cinta kepada seorang wanita akan dibuktikan dengan selalu mengingat, berkorban, bahkan akan melakukan apapun untuk si wanita. Cinta kepada harta akan menjadikan harta segala-galanya. Dimanapun dan kapanpun yang ada dipikirannya hanya bagaimana mendapatkan harta yang melimpah. Begitupun cinta kepada jabatan. Orintasi dalam hidupnya tidak lain kecuali ia mendapat jabatan dan kedudukan tinggi dibandingkan yang lain.

Bagaimana dengan cinta kepada tuhan, bagaimana cinta kepada muhammad dan bagaimana cinta kepada agama?

Rabiah Al Adawiyah, sebagaimana yang saya baca dari beberapa literatur, dan entah benar atau tidak, Ia adalah seorang pecinta sejati . Ia rela tidak berkeluarga karena takut menduakan cintanya dengan tuhan. Ia takut, mencintai makluk tuhan akan mengurangi cintanya kepada tuhan. Hingga, kabarnya, sampai Rabiah Al Adawiyah meninggal, ia lebih memilih hidup sendiri, tanpa seorang pendamping.

Itulah hakikat cinta. Mengingat, mendekat, setia dan berkorban untuk orang yang ia cintai.

Sebenarnya banyak hal untuk mengeksresikan rasa cinta. Begitupun kecintaan terhadap tuhan. Kita tidak harus melakukan apa yang telah di lakukan oleh Rabiah.  Cinta kepada tuhan bisa diekspresikan dengan yang lain. Seperti menjadi pemimpin yang baik, seorang pengusaha yang baik, seorang pedagang yang baik, seorang dosen yang baik, seorang da’I yang baik, seorang pejuang yang baik dalam lain sebagainya.

Tak jarang orang berdalih dengan alasan demikian. Tapi benarkah bahwa apa yang mereka lakukan hanya dan demi tuhan dan agama. Jika diprosentasekan, berapa persen karena tuhan dan berapa persen karena dunia dan nafsu. Hanya mereka yang bisa menilainya.

Saya hanya ingin mengatakan apa yang telah saya rasakan. Bahwa selama ini cinta saya kepada tuhan tidak lebih dari cinta saya kepada yang lain. Cinta saya kepada Nabi Muhammad tidak lebih dari ketika saya mencinta wanita yang menarik perhatian saya. Saya selalu mengingat dia, berusaha berkorban untunknya, merelakan waktu untuk menemani dan menemuinya, menunggu kabarnya walau sekadar melalui pesan singkat dari telpon seluler. Kebahagiaan yang lebih ketika bercakap dengan saya dibandingkan ketika saya mendengar suara azan atau shalawat kepada nabi.

Bahkan tak jarang ketika saya dalam keadaan menghadap kepada tuhan, dia datang dalam bayangan. Betapa marahnya tuhan karena saya telah menduakanya, menyisakan cinta yang sedikit untuknya. Bahkan tidak sama sekali. Beribadah hanya karena kewajiban dan karena sering ditakut-takuti oleh siksanya kelak setelah mati.

Saya berani mengatakan demikian karena ini benar adanya. Betapa tuhan telah banyak membuat janji untuk “kencan” melalui puluhan shalat sunnah yang Ia anjurkan, melalui ayat-ayatnya untuk dibaca dan melaui berbuat kebaikan kepada orang lain. Kalau saya memang benar cinta mengapa saya tidak selalu rindu untuk menjumpainya? Dalam cinta yang berlaku bukan lagi kewajiban, tapi kerinduan dan kenikmatan saat berjumpa.

Jika saya cinta saya akan selalu tergesa-gesa untuk bertemu dengannya. Dan ini tidak terjadi kecuali sebuah janji dengan seseorang yang saya cintai. Cinta saya kepada tuhan tidak melebihi cinta saya kepada seorang wanita.

Mungkin kamu juga mengalami hal yang sama. Dan ketika salah seseorang bertanya, kamu akan berdalih dengan alasan-alasan logis, bahwa apa yang kamu lakukan adalah bagian dari ekspresi cintamu pada tuhan. Kamu akan mengemukakan dalil-dalil yang mendukung pendapatmu, kamu akan bermain kata dan lain sebagainya.

Mencintai atau mengimani tuhan lebih dari sekadar kata. Saya menyebutnya ungkapan perasaan yang disertai tindakan. Perasaan cinta yang tak tertahan seperti ketika saya merindukan wanita yang saya cintai, itulah cara mencintai tuhan dan Muhammad. Tindakan yang dilakukan oleh seorang pecinta, memperlakukannya dengan baik, tidak ingin menyakitinya.

Takut seperti ketakutan melakukan kesalahan, yang mungkin akan membuat saya terpisah jika itu saya lakukan, terhadap kekasih (wanita). Hal ini dibuktikan dengan tindakan yang baik kepada setiap orang tanpa melihat siapa dia. Kecuali tuhan sebagai satu-satunya alasan.

Keimanan saya kepada tuhan yang telah saya lakukan mungkin hanya satu hal. Hal ini sebagaimana telah saya sampaikan dalam tulisan saya yang berjudul “Mengapa Aku Moderat, Antara Takdir Tuhan dan Usaha Manusia”. Aku berangkat ke daerah orang dengan satu keyakinan bahwa tuhan akan meberi saya jalan dalam hidup saya. Akhirnya, selama 3 tahun lebih saya di luar daerah, sampai saat ini saya masih diberi kehiudpan oleh tuhan. Selalu ada jalan untuk memenuhi kebutuhan. Inilah kenikmatan saya, merasakan dengan sepenuh hati bahwa tuhan selalu bersama saya.

Seperti juga yang telah di alami teman saya. Entah benar atau tidak, saya hanya mendengar cerita darinya. Ia merasakan kenimatan ketika membaca  Al Qur’an. Karena kenikmatan itu, ia selalu berhasrat untuk membacanya. Ia tidak bisa meninggalkannya walau hanya satu hari. Apa lagi dua hari, seminggu, sebulan atau bahkan satu tahun. Tentu menjadi hal yang sulit. Inilah cinta. Inilah iman dan sejatinya iman. Yang bermain adalah perasaan yang menyebabkan gelisah jika tidak dilakukan.

Selebihnya, apa yang saya lakukan hanya ritual dan mengikuti kebiasaan orang banyak. Karena ada siksa dan ganjaran atas apa yang saya lakukan. Bukan benar-benar atas dasar cinta dan kenikmatan dalam melakukannya.

Perbuatan yang dilakukan secara terpaksa hanya menjadi beban. Yang ada bukan cinta, tetapi kebencian karena dianggap menggangu aktifitas yang ia cintai.

Secara konsep pengetahuan, saya menyakini apa perintah tuhan dan apa larangan tuhan terhadap saya dan orang islam secara umum. Namun tindakan saya jauh dari itu semua. Saya belum menemukan kenikmatan dalam beribadah yang berujung pada keinginan untuk melakukannya secara terus menerus.

Apa anda juga demikian, saya tidak tahu. Hanya anda yang bisa menilainya sendiri. Semoga tulisan ini semakin memperbaiki iman kita semua. Iman Yang sejatinya iman. Berbuat karena cinta dan kenikmatan saat berjumpa.

Semarang, 01 Desember 2013

Note : Terima kasih saya buat tuhan yang telah memberikan kehidupan buat saya hingga tulisan ini ada dan dibaca oleh orang.