Selasa, 13 Juni 2017

Saya Pernah Jadi Copet, Tapi Saya Tidak Terdidik Untuk Mencopet



JAMAN kanak-kanak, saya masih ikut terlibat dalam sebuah permain yang mungkin langka karena barangkali hanya ada di kampung saya. Karena permainan itu saya pun pernah harus rela menelan ludah ketika makanan ringan yang baru saya beli dari toko tiba-tiba raib dirampas teman. Begitu pula nasib teman yang kadang sama nasibnya dengan saya. Kami menyebut permaian itu COPETAN.

COPETAN dari kata copet mendapat tambahan an. Tambahan an menegaskan bahwa ia hanya permainan. Meski, boleh dibilang, ini permaian serius karena kami benar-benar jadi copet. Kami benar-benar jadi maling atas barang milik teman sendiri. Tapi kami tak saling marah setelah ada satu diantara kami kemalingan. Sebab kami sudah sepakat melalui sebuah perjanjian awal, sejak mendeklarasikan diri jadi anggota copet.
Cara kerja COPETAN ya tidak ada lain keculai saling mencopet. Tapi berani bertaruh bahwa kami copet-copet bermartabat, beradab dan beretika. Sebab kami tak sembarang mencopet. Barang yang musti kami ambil kepunyaan anggota COPETAN. Jika bukan tak boleh. Dilarang. Haram. Karena bisa memicu konflik dan perpecahan. Kami sama-sama mentaati itu.
COPETAN tak mengambil semua barang milik anggota copet. Hanya barang tertentu. Misalnya, makanan ringan atau mainan. Harganya pun kami batasi. Dalam waktu tertentu bisa jadi makanan atau barang di bawah harga seribu atau di bawah harga lima ratus. Batasan-batasan itu kami tentukan diawal permainan yang serius dan kadang menegangkan itu.
Kami memainkannya waktu di sekolah. Saya masih ingat, waktu itu masih di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sehingga tak ada copet yang tidak sekolah. Kami copet tapi terdidik, kami terdidik tapi menjadi copet. Itulah mengapa kami, boleh dibilang, copet-copet yang masih bermoral.
Yang paling seru dan tentu menjengkelkan ketika seorang anggota kecopetan, tepat ketika makanan itu baru dibeli dan baru mendekati bibir sendiri. Tiba-tiba harus berpindah ke bibir lain. Si copet senang, seru, kegirangan, tanpa modal ia bisa makan. Sedangkan korbannya, kadang saya dang teman saya, harus dibuat jengkel namun tak berdaya sebab kita sudah saling sepakat.
Mujurnya, anggota copet yang tak pernah punya uang saku banyak namun ia lihat dalam mencopet, lihat menyelundup, tanpa diketahui sasaran pencopetan. Ia bisa kenyang hanya dengan modal mencopet milik kawaannya sendiri. Sebaliknya yang sering tak waspada, ia kerap kecopetan di waktu lapar meski uang sakunya cukup banyak saban harinya.
Tradisi copet mencopet yang disepakati itu memaksan anggota copet untuk selalu waspada. Harus sembunyi-sembunyi ketika membeli makanan. Harus sembunyi-sembungi ketika hendak kaman. Atau paling tidak, tangannya harus selalu erat memegang makanan saat dimakan.
Sebagian yang punya uang saku banyak mensisatinya dengan membeli makanan lebih mahal, melebihi batas kesepakatan barang yang boleh dicopet. Aman. Copet-copet yang bergentayangan tak bisa berbuat apa-apa. Karena kalau masih dicopet ia telah melanggar etika dalam percopetan.
Aku sendiri tak tahu siapa si pengarang mainan ini pertama kalinya. Setahu saya, generasi bapak dan kakek saya tak ada yang pernah bercerita tentang permainan ini. Saya hanya tahu bahwa kami saat itu melakukannya dalam tenggang waktu terntentu. COPETAN juga tak terwariskan kepada generasi setelah saya di sekolah. Entah, apa pasal.
Kami juga tak menjadikan permaian itu pembelajaran serus untuk kehidupan kelak. Buktinya, tak ada dari anggota COPETAN yang kini benar-benar jadi copet sampai sekarang. Kami copet terdidik tapi tak pernah dididik untuk jadi copet.
Seandainya permainan ini dulu pernah dilakukan anak-anak jaman saya secara nasional, boleh jadi, akan muncul sebuah penelitian dari para peneliti yang kompeten. Peneliti mungkin akan resah karena jaman ini banyak copet sungguhan yang tidak bermartabat dan tidak beretika: copet kas negara, copet kantong orang miskin, dan copet-copen lain yang kurang terdidik etika dan moralitas.
Situasi ini akan menjadi landasan penelitian. Peneliti akan bertanya asal muasal pencopetan dan mungkinkah permainan COPETAN ikut andil dalam pembentukan karakter copet saat ini? Adakah hubungan permaian  COPETAN dengan kebiasaan mencopet jaman ini? Orang-orang kampung seperti saya ini mungkin juga jadi sumber penelitian untuk mengetahui cara kerja copet-copet macam kami dulu.
Jika peneliti menemukan hubungan, maka COPETAN kemungkinan besar menjadi permainan terlarang. Para ahli pendidikan akan mengintruksikan memasang spanduk di tempat-tempat strategis mengenai larangan bermain COPETAN. Di kelas-kelas, di taman bermain anak, dan mungkin di ruang-ruang belajar. Sebab, sudah terlanjur banyak generasi jaman ini yang jadi copet tak bermartabat, tak beretika, dan serampangan karena pemahaman kemanusiaan yang dangkal.
Copet-copet yang mungkin masih dianggap baik dalam cacatan sejarah kita seperti Sunan Kalijaga. Meskipun kanjeng sunan pernah terlibat kasus pencopetan, generasi kita masih menganggapnya seorang wali kesohor. Sebab, dia mencopet bukan untuk dirinya. Melainkan untuk orang-orang melarat disekitarnya.
Sunan Kalijaga tak perlu membuat kesepakatan nilai barang yang akan dicopet. Dia hanya memakai standar bahwa korban haruslah orang kaya yang tak mau beramal dan tak mau menafkahkan hartanya untuk orang miskin yang membutuhkan. Sunan Kalijaga tak mencopot harta orang miskin untuk dilalihkan kepada orang-orang miskin lain.
Sunan Kalijaga adalah copet terdidik meski tak pernah bermain COPETAN seperti pada jaman saya dulu. Makanya ia tetap kesohor sebagai wali yang ikut berjasa dalam penyebaran islam.

Jepara, 13 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar