JAMAN kanak-kanak, saya masih ikut
terlibat dalam sebuah permain yang mungkin langka karena barangkali hanya
ada di kampung saya. Karena permainan itu saya pun pernah harus rela menelan
ludah ketika makanan ringan yang baru saya beli dari toko tiba-tiba raib dirampas
teman. Begitu pula nasib teman yang kadang sama nasibnya dengan saya. Kami
menyebut permaian itu COPETAN.
COPETAN dari kata copet mendapat
tambahan an. Tambahan an menegaskan bahwa ia hanya permainan. Meski, boleh
dibilang, ini permaian serius karena kami benar-benar jadi copet. Kami
benar-benar jadi maling atas barang milik teman sendiri. Tapi kami tak saling
marah setelah ada satu diantara kami kemalingan. Sebab kami sudah sepakat
melalui sebuah perjanjian awal, sejak mendeklarasikan diri jadi anggota copet.
Cara kerja COPETAN ya tidak ada lain
keculai saling mencopet. Tapi berani bertaruh bahwa kami copet-copet bermartabat,
beradab dan beretika. Sebab kami tak sembarang mencopet. Barang yang musti kami
ambil kepunyaan anggota COPETAN. Jika bukan tak boleh. Dilarang. Haram. Karena
bisa memicu konflik dan perpecahan. Kami sama-sama mentaati itu.
COPETAN tak mengambil semua barang
milik anggota copet. Hanya barang tertentu. Misalnya, makanan ringan atau
mainan. Harganya pun kami batasi. Dalam waktu tertentu bisa jadi makanan atau
barang di bawah harga seribu atau di bawah harga lima ratus. Batasan-batasan
itu kami tentukan diawal permainan yang serius dan kadang menegangkan itu.
Kami memainkannya waktu di sekolah.
Saya masih ingat, waktu itu masih di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sehingga
tak ada copet yang tidak sekolah. Kami copet tapi terdidik, kami terdidik tapi
menjadi copet. Itulah mengapa kami, boleh dibilang, copet-copet yang masih
bermoral.
Yang paling seru dan tentu menjengkelkan
ketika seorang anggota kecopetan, tepat ketika makanan itu baru dibeli dan baru
mendekati bibir sendiri. Tiba-tiba harus berpindah ke bibir lain. Si copet
senang, seru, kegirangan, tanpa modal ia bisa makan. Sedangkan korbannya,
kadang saya dang teman saya, harus dibuat jengkel namun tak berdaya sebab kita
sudah saling sepakat.
Mujurnya, anggota copet yang tak
pernah punya uang saku banyak namun ia lihat dalam mencopet, lihat menyelundup,
tanpa diketahui sasaran pencopetan. Ia bisa kenyang hanya dengan modal mencopet
milik kawaannya sendiri. Sebaliknya yang sering tak waspada, ia kerap kecopetan
di waktu lapar meski uang sakunya cukup banyak saban harinya.
Tradisi copet mencopet yang disepakati
itu memaksan anggota copet untuk selalu waspada. Harus sembunyi-sembunyi ketika
membeli makanan. Harus sembunyi-sembungi ketika hendak kaman. Atau paling
tidak, tangannya harus selalu erat memegang makanan saat dimakan.
Sebagian yang punya uang saku banyak
mensisatinya dengan membeli makanan lebih mahal, melebihi batas kesepakatan
barang yang boleh dicopet. Aman. Copet-copet yang bergentayangan tak bisa
berbuat apa-apa. Karena kalau masih dicopet ia telah melanggar etika dalam
percopetan.
Aku sendiri tak tahu siapa si
pengarang mainan ini pertama kalinya. Setahu saya, generasi bapak dan kakek
saya tak ada yang pernah bercerita tentang permainan ini. Saya hanya tahu bahwa
kami saat itu melakukannya dalam tenggang waktu terntentu. COPETAN juga tak terwariskan
kepada generasi setelah saya di sekolah. Entah, apa pasal.
Kami juga tak menjadikan permaian itu
pembelajaran serus untuk kehidupan kelak. Buktinya, tak ada dari anggota
COPETAN yang kini benar-benar jadi copet sampai sekarang. Kami copet terdidik
tapi tak pernah dididik untuk jadi copet.
Seandainya permainan ini dulu pernah
dilakukan anak-anak jaman saya secara nasional, boleh jadi, akan muncul sebuah
penelitian dari para peneliti yang kompeten. Peneliti mungkin akan resah karena
jaman ini banyak copet sungguhan yang tidak bermartabat dan tidak beretika:
copet kas negara, copet kantong orang miskin, dan copet-copen lain yang kurang
terdidik etika dan moralitas.
Situasi ini akan menjadi landasan
penelitian. Peneliti akan bertanya asal muasal pencopetan dan mungkinkah
permainan COPETAN ikut andil dalam pembentukan karakter copet saat ini? Adakah
hubungan permaian COPETAN dengan kebiasaan
mencopet jaman ini? Orang-orang kampung seperti saya ini mungkin juga jadi sumber
penelitian untuk mengetahui cara kerja copet-copet macam kami dulu.
Jika peneliti menemukan hubungan, maka
COPETAN kemungkinan besar menjadi permainan terlarang. Para ahli pendidikan
akan mengintruksikan memasang spanduk di tempat-tempat strategis mengenai larangan
bermain COPETAN. Di kelas-kelas, di taman bermain anak, dan mungkin di
ruang-ruang belajar. Sebab, sudah terlanjur banyak generasi jaman ini yang jadi
copet tak bermartabat, tak beretika, dan serampangan karena pemahaman
kemanusiaan yang dangkal.
Copet-copet yang mungkin masih
dianggap baik dalam cacatan sejarah kita seperti Sunan Kalijaga. Meskipun
kanjeng sunan pernah terlibat kasus pencopetan, generasi kita masih
menganggapnya seorang wali kesohor. Sebab, dia mencopet bukan untuk dirinya.
Melainkan untuk orang-orang melarat disekitarnya.
Sunan Kalijaga tak perlu membuat
kesepakatan nilai barang yang akan dicopet. Dia hanya memakai standar bahwa
korban haruslah orang kaya yang tak mau beramal dan tak mau menafkahkan
hartanya untuk orang miskin yang membutuhkan. Sunan Kalijaga tak mencopot harta
orang miskin untuk dilalihkan kepada orang-orang miskin lain.
Sunan
Kalijaga adalah copet terdidik meski tak pernah bermain COPETAN seperti pada
jaman saya dulu. Makanya ia tetap kesohor sebagai wali yang ikut berjasa dalam
penyebaran islam.Jepara, 13 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar