Senin, 19 Oktober 2015

Sandal



Saya tidak tau pasti siapa penemu sandal pertama kali. Kucari-cari, tak kutemukan siapa dia dan seperti apa wajahnya. Barangkali memang ia dianggap tak begitu penting dan tak menarik, sampai-sampai penemu sandal tidak sepopuler Alexander Graham Bell sang penemu telpon atau Thomas Alfa Edison sebagai penemu bola lampu. Sandal, makhluk rendahan itu, seperti yatim piatu tak punya bapak tak punya ibu. Ia bagai anak haram yang sengaja dibuang di terowongan untuk menutupi sebuah peristiwa kebiadaban.

Senin, 12 Oktober 2015

Lisan

Sesungguhnya tak boleh ada yang keluar dari mulut seseorang kecuali perkataan yang baik. Selain itu, diam menjadi bahasa yang lebih baik. Tuhan dan Rasulnya Muhammad sepakat dengan penegasan ini. Ia berjanji, jaminan keselamatan akan diberikan kepada orang-orang yang mampu melakukan ini: diam karena tak ada hal penting yang perlu disampaikan atau memilih bicara karena akan memberi manfaat bagi yang mendengar.

Kamis, 08 Oktober 2015

PEDIH

Atau sedih. Kalau yang saya bicarakan adalah bahagia- kebahagiaan, lawan kata dari pedih atau sedih, maka selesai sampai di sini. Untuk apa kebahagian dibicarakan?kebahagiaan yang sering dibicarakan akan lebih banyak menyinggung- mengundang kepedihan bagi- orang yang mendengar. Ia terkadang lebih menyakitkan dari kepedihan itu sendiri.

Rabu, 07 Oktober 2015

Haryono dan Situasi Darurat Dana Desa

Kalau mayoritas kepala desa bermental sama dengan Haryono, maka bisa dipastikan upaya pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran akan sia-sia. Sepertinya memang demikian, walaupun saya tak cukup punya nyali untuk mengatakan seluruhnya. Saya hanya menduga dan, selebihnya sebuah dugaan, ia tak bisa dianggap sebuah kebenaran. Dugaan tak didasarkan pada data yang valid, kecuali hanya buah pikiran dari kegelisahan yang bisa benar sekaligus bisa salah. Namun, kita- pemerintah juga, menurut saya- perlu waspada karena sebuah dugaan tidak pernah datang secara tiba-tiba, tanpa alasan, dan asal-asalan.

Secara makro, potret pemerintahan selama beberapa tahun terakhir telah menampilkan wajah bengis, sadis dan- dibuktikan dengan banyaknya kasus pelanggaran terhadap undang-undang negara dan banyaknya kecaman dari akar rumput- tidak pro terhadap kepentingan masyarakat. Roda pemerintahan yang diwakili oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif seringkali tertambat oleh ambisi pribadi dengan melalaikan kepentingan bersama.

Situasi ini telah menjalar ke seluruh lapisan sistem pemerintahan, dari tingkat atas sampai ke tingkat paling bawah tak terkecuali Desa. Sistem otonomi daerah (desentralisasi), sebagai wajah baru bagi Indonesia pasca era reformasi, telah memberi ruang kreasi seluas-luasnya untuk kemajuan daerah, di samping juga memberi celah selebar-lebarnya bagi pejabat negara untuk berpesta dan memperkaya diri.

Desa menjadi lembaga pemerintahan terkecil yang, kemungkinan besar, juga menjadi ajang memperkaya diri orang tertentu (baca: kepala desa dan perangkat). Pertama, dari dua alasan, bisa kita runut sejak awal pemilihan kepala desa (Pilkades). Kontestasi politik desa tak kalah gaung dengan kontestasi politik nasional: pemilu eksekutif dan legislatif. Ada kesamaan karakter antara keduanya, paling tidak dan ini yang paling nyata: politik nasional dan Desa tak dapat terhindar dari money politik, saling cegal, dan sangat rentan dengan kekerasan. Hanya, karena sempitnya ruang, kontetasi politik di desa ‘tidak menjadi menarik’ untuk diangkat secara nasional. Iapun tenggelam di ‘panggung’ politik nasional, walau tanpak garang di tingkat lokal.  Inilah potret Pilkadesa yang, secara mikro, kini menjadi potret buruk pemerintahan.

Masalah Serius
Masyarakat sedang berhadapan dengan situasi, dimana, panggung politik- yang mewujud sebuah pemerintahan- jamak dikelola orang sakit secara mental; ambisius, arogan, individualis-hidonis. Ragam peristiwa memalukan telah menyeret sederet oknum pemerintah ke meja hijau: menjadi tersangka kasus suap dan korupsi, adalah bukti rendahnya kualitas pemimpin yang murni ingin mengabdi kepada masyarakat dan negara. Alhasil, jika demikian yang terjadi, cita-cita pemerintahan Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran akan menjadi tanda tanya besar kalau watak pemimpin di tingkat akar rumput itu tak berbeda dengan watak pemimpin di tingkat atas.

Beberapa waktu lalu, Haryono tampil ke panggung publik, mewakili kepala Desa Selok-Awar Lumajang, dengan watak demikian. Kematian aktivis lingkungan Salim Kancil di satu sisi memang adalah duka bagi kemanusiaan. Namun kita perlu ‘berterima kasih’ kepada Haryono, di sisi lain, sebagai aktor intelektual kematiannya. Kematian Salim membuka ruang berpikir kita-pemerintah, membaca dan menelaah kembali kualitas pemimpin khususnya di tingkat Desa.

Kesadaran pemerintah pusat yang bersusah payah memperbaiki sistem perlu mendapat respon positif sekalipun di satu sisi perlu kita beri masukan. Sistem yang baik sangat penting, namun pelaku sistem yang baik tak kalah penting. Ia adalah seorang pemimpin, wakil rakyat, yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan menempatkan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Bukan pemimpin macam Haryono.

Haryono hanya sabuah nama. Namun, watak Haryono bisa dimiliki oleh Hartanto, Maryono, Sukarjo atau sederet nama lain yang kini tengah menjadi orang nomor satu di tingkat desa. Kita perlu merasa cemas, dan dalam situasi demikian, musti bertanya-tanya: bagaimana nasib dana desa di tangan  orang macam haryono?

Watak macam Haryono menjadi masalah serius yang akan menghambat realisasi fungsi dana desa. Kita tak dapat menolak kalau Haryono hanya satu diantara sekian banyak kepala desa yang berwatak ambisius dan rakus itu.

Sikap ambisi ini mewujud dalam laku pengorbanan besar-besaran waktu Pilkades, dimana, money politik, saling cegal, kekerasan dan yang lainnya  tak hanya ngetren dalam kontestasi politik nasional. Desa ikut ambil bagian dari sistem politik tanpa moral itu. Maka kita tak perlu heran kalau akhirnya banyak orang-orang nomor satu di desa terlibat dengan kasus hukum.

Kita tak akan pernah menemukan pengesahan bahwa ambisi untuk memimpin menjadi cerminan bagi pemimpin yang baik. Sebaliknya, ambisi adalah buah dari kerakusan untuk menguasai, mengeksploitasi, dan memuaskan nafsu.

Beberapa waktu lalu tiga desa di kabupaten Mojokerto dipastikan tidak dapat mencairkan anggaran Alokasi Dana Desa (ADD) karena kepala desa tersangkut kasus hukum (suryaonline, 14/08/2015). Dan setidaknya 30 kepala desa di Jawa Tengah pada tahun 2014 terjerat kasus korupsi (tribunnews.com, 01/01/2015).

Dari Desa untuk Indonesia
Desa memiliki potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia. Desa adalah kekuatan dalam posisi Indonesia sebagai negara agraris. Seniman dan musisi Indonesia Iwan Fals pernah mengabadikannya dalam sebuah lagu, desa: desa adalah kekuatan sejati dan, oleh karena itu, negara harus berpihak kepada para petani.

Masyarakat berharap sebagaimana Iwan berharap, desa harus diutamakan dalam pembangunan. Presiden Jokowi menyadari itu. Alokasi dana untuk desa adalah bentuk kesadaran pak presiden bahwa desa, sebagaimana kata Iwan, harus menjadi kekuatan ekonomi agar: pertama, sebagai implementasi negara agraris yang, secara nalar, Indonesia tak patut mengimpor beras sebagaimana terjadi selama ini. Kedua, pembangunan desa akan memutus rantai kemiskinan karena penduduk miskin mayoritas orang desa. Ketiga, mengurangi arus urbanisasi sekaligus menjadi langkah solutif mengatasi kemacetan di kota-kota besar.

Anggaran dana untuk pembangunan desa adalah wujud implemetasi undang-undang No 6 tahun 2014 tentang desa yang bertujuan untuk memberikan pengakuan mengenai kejelasan, status, dan kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan.
Secara idiologis, pemberlakukan UU desa sebagai buah kesadaran pemerintah bahwa desa memiliki potensi sangat besar untuk membangun Indonesia. Kesadaran ini menjadi babak baru bagi desa sekaligus kabar gembira bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Sebaliknya, UU desa akan menjadi ‘duka’ nasional: masyarakat dan negara, seandainya tak dikelola dengan baik. Beberapa kebijakan termasuk besarnya anggran, pengelolaan dan sasaran perlu dikontrol bersama untuk perbaikan desa.

Pembangunan dari desa akan berhasil kalau keresahan Iwan Fals, masih dalam lagu desa, para tengkulak dan lintah darat tak lagi bergentayangan. Dalam kontek dana desa, mereka adalah kepala desa macam Haryono pejabat negara yang mahir dalam potong-memotong anggaran negara untuk memperkaya diri. Ini serius.

Miftahul Arifin
Semarang, Oktober 2015