Selasa, 30 April 2013

Konsumerisme Dan Rusaknya Relasi Sosial


Oleh: Miftahul Arifin*
(Dimuat di Rima News, Desember 2012)

Perubahan zaman dari tradisional ke-modern yang ditandai dengan berkembangnya imu pengetahuan dan teknologi telah mengubah gaya hidup masyarakat di seluruh lini kehidupan: budaya, ekonomi, politik, idiologi dan lainnya.
Gaya hidup konsumtif yang cenderung menihilkan nilai-nilai sosial, tak pelak,  turut andil sebagai akibat dari globalisasi itu. Konsumerisme semakin lekat dengan kehidupan masyarakat, tak hanya pada masyarakat kota. Tradisionalistik sebagai ciri masyarakt desa, makin hari, makin tak terlihat.
Barangkali ini ada kesamaan dengan apa yang pernah disinggung oleh Hassan Hanafi. Bahwa pengaruh westernisasi tengah mengancam peradaban umat manusia, tak hanya pada kebudayaan manusia dan konsepsi tentang alam. Melainkan, telah merambah pada kehidupan sehari hari (Hassan Hanafi, 2000). Masyarakat bukan lagi masyarakattradisonal yang memelihara tradisionalistik dan bukan pula masyarakat modern yang memiliki  ciri modernitas. Masyarakat telah kehilangan identitas dirinya.
Handphone
Handphoneadalah salah satu produk modern yang bisa dianggap paling laris di seluruh seantoro dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Ia telah menjadi kebutuhan pokok setiap orang. Dengan handphone, orang mudah berkomunikasi, sekalipun jarak tempuh puluhan bahkan ribuan kilometer. Orang pun beramai-ramai membeli handphone.
Bagi masyarakat indonesia, handphone tak hanya sekadar sebagai alat komunikasi. Tetapi, ia menjadi semacam gaya hidup dan penentu identitas sosial. Orang akan dianggap “gaya” dan “gaul” jika yang digunakan adalah handphone “bermerek” dengan harga mahal. “jangan sampai orang-orang indonesia diberi tahu handphone keluaran terbaru kecuali akan dilahap habis dalam waktu sekejap” ungkap seorang teman kepada penulis. Inilah gaya hidup masyarakat Indonesia yang lebih mementingkan gaya hidup dari pada kualitas diri.
Lebih parah, handphone tidak dapat berfungsi dengan benar. Jamak pengguna handphone tidak menggunakannya secara proporsional, tidak sesuai dengan etika sosial. Handphone kerap menjadi alat bantu melancarkan modus penipuan dan kejahatan. Apa lagi setelah muncul model-model baru (tentu, dengan modal yang baru juga) dengan beragam fitur semisal Blackberry.
Komunikasi dengan menggunakan Black berry sukar dilacak oleh orang lain sebab servernya bukan di dalam negeri. Hal ini juga lah yang menyebabkan para koruptor tak mudah teridentifikasi oleh penegak hukum di Indonesia. Chat dengan Black Berry terbatas hanya dengan orang tertentu yang sulit di lacak pihak lain.
Bahaya Hidup Konsumtif
Konsumsi, menurut Yasraf Amir Pilang, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya(Yasraf Amir Pilang, 2004). Ada yang berpendapat, pengertian konsumsi tersebut menjadi bingkai seorang untuk memahami alasan mengapa orang terus menerus melakukan konsumsi. Objek konsumsi yang telah menjadi bagian internal pada diri seseorang akanberpengaruh terhadap pembentukan pribadi seseorang.
Dari sini, pola hidup  konsumtif bisa dipandang amat berbahaya. Ia akan cenderung menihilkan nilai-nilai sosial untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.
Dalam masyarakat konsumtif, identitas sosial bukan diukur melaui sejauh mana seseorang dapat menerapkan nilai dan norma yang berlaku. Melainkan sejauh mana ia dapat mengimbangi pola kehidupnya yang tengah berkembang dalam masyarakat tersebut. Asal penampilan oke, banyak duit, walaupun secara etis amburadul, ia akan dinilai lebih karena mengikuti tren yang tengah berlaku. Pun relasi yang dibangun biasanya hanya berdasarkan kedudukan semata.
Sukar ditemukan, masyarakat yang di atas rata-rata secara ekonomis, bergaul dengan orang miskin. Pergaulan dengan orang yang lebih rendah dinilai akan menurunkan derajat: gengsi.
Mereka lupa akan lingkungan karena asik dengan mempersiapkan atribut diri. Anggapan masyarakat internasional bahwa Indonesia adalah pasar yang menjanjikan profit besar tak lain merupakan satu interpretasi sebagai akibat dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang bersifat konsumtif. Gaya hidup seperti ini menjadi sebab semakin terpuruknya masyarakat indonesia, di satu sisi.
Padahal, salah satu prinsip hidup bermasyarakat adalah semakin meningkatnya integritas sosial sehingga timbul kesetaran dan kenyaman satu sama lain.
Ketika masyarakat cenderung hidonis dengan gaya hidup yang “lahap” dengan barang produksi, maka ia akan berusaha sekuat hati dan tenaga untuk memenuhi hasratnya. Ditambah dengan tuntutan sosial, cara negatif tidak menjadi alasan asal identitas diri tetap terjaga. Pola hidup yang “rakus”, sehingga, apapun akan ia lakukan untuk mewujudkan hasrat diri.
Masyarakat seperti ini adalah kelompok masyarakat, dimana, ia tak lagi melakukan relasi secara universal. Komunikasi hanya berdasarkan kedudukan yang setara. Tak ada kesempatan komunikatif untuk orang di luar golongannya. Akhirnya, kekayaan dan kehidupan yang layak hanya berpihak pada orang-orang tertentu.
Kecendrungan semacam inilah yang menjadikan masyarakat kita seperti yang dikatakan oleh Rhoma Irama dalam salah satu lagunya; yang kaya makin kaya,  yang miskin makin miskin.
Sebagai orang terdidik, tentu kita tidak menginkan hal itu. Kesetaraan masyarakat atau minimal keyaman hidup satiap orang menjadi salah satu cita-cita mulia bangsa ini yang harus kita junjung bersama-sama.
________________________________________________
*Peneliti Idea Studies dan Aktifis SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang.

Sabtu, 20 April 2013

Laku Warisan

Cerpen Arifin
Di depan cermin, Nazar membolak balikkan badannya. Sesekali tangannya mengibas ke bahu, ke paha, hingga ke betis, memastikan tak ada debu atau kotoran lain yang menempel di seragam putih dan celana abu-abunya. Rambutnya nampak mengkilap dengan model mohak. Ia terlihat sangar dengan sabuk hitam berkepala tengkorak. Ditambah lagi dengan tubuhnya yang menjuntai kekar. Ia lebih mirip dengan artis India Salman Khan. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Sementara di pikirannya tersusun banyak rencana.
Diambilnya tas yang terdampar diatas meja di sebelahnya. Ia bergegas menuju halaman, ke sebuah motor yang sedari tadi telah mengaung dan sempat membuat bising. Mina, ibunya, hanya melihat anaknya dari depan pintu pawon, menggeleng-geleng ketika motor yang ditumpangi anak sulungnya itu semakin kecil, mengecil hingga akhirnya tertelan oleh jarak.
Ia menghela nafas panjang dengan perasaan bimbang dan pikiran yang tidak tenang. “Kapan anakku bisa lebih baik, minimal bisa menghormati orang tua”gumamnya.
Ketika begitu ia ingat kepada si Hendri. Kekalutan hati perempuan itu selalu lenyap seketika tatkala ia ingat kepada si bungsu itu. Kabarnya, Hendri anak berprestasi di sekolah. Semenjak duduk di madrasah Aliyah ia memilih tinggal bersama pamannya di kalimantan dan sekolah di sana. Waktu akan menjemputnya pulang menjelang kelulusannya dari Madrasah Aliyah, dua tahun mendatang.
Barangkali karena ikatan batin antara ibu dan anak, sehingga apa yang Hendri lakukan akan selalu menyentuh sanubari seorang ibu. Kalau ia berbuat baik maka seorang ibu juga akan merasakannya. Sebaliknya, jika anak bertingkah tidak wajar, seorang ibu juga akan merasakan hal yang sama. Inilah yang mungkin tidak pernah terjadi pada Hendri hingga ketika ibunya mengingatnya, kegembiraan selalu menghampirinya.
Mina kemudian masuk pawon, melanjutkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
***
Masih lekat di ingatan Mina ketika Rusli kekasihnya mengambil keperawanannya tujuh belas tahun silam. Disebuah gubuk, di atas bukit yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya. Dengan tubuh tanpa sehelai kain, Rusli kemudian menelantarkan Mina dalam gulita. Rusli mengingkari janji untuk menjadikannya sebagai istri.
Belum genap sebulan hubungan sepasang kekasih itu. Rusli kemudian seperti di telan bukit entah kemana setelah mencicipi lubang vaginanya. Dari perbincangan tetangga, diketahui kalau ternyata Mina bukanlah orang pertama yang menjadi korban. Seseorang bercerita, dua malam sebelum kejadian yang menimpa mina, hal yang sama juga di alami wanita desa sebelah.
Kejadian itu membuat Mina trauma. Ia hampir mengalami depresi. Perlahan tubuhnya mulai kurus, bola matanya menarik kebelakang, bibir dan kulitnya mengering lantaran kurang makan. Bukan karena ia sakit gigi atau radang tenggorokan. Melainkan, sembilu seperti telah mengiris kalbunya. Pedih. Amat pedih. Siang dan malam air mukanya mengucur deras, sederas aliran air sungai di belakang rumahnya.
Mina juga sempat melakukan usaha bunuh diri. Kala subuh tiba, ketika orang-orang mulai bersiap menuju masjid. Mina berjalan menuju sungai di belakang rumah. Dengan pikiran kalut, ditatapnya aliran arus sungai. Ia mencebur, berusaha menghabiskan darinya dari kehidupan. Bunuh diri akan menghilangkan segala kesedihan. Atau paling tidak akan menghapus kucuran air mata, menghilangkannya dengan cepat, secepat aliran sungai itu. Gagal.
Seorang menyelamatkannya. Ia adalah pak Tejo, duda paruh baya yang dikenal penjaga masjid. Takmir. Rumah mereka berdekatan. Hanya dibatasi oleh sungai dengan lebar sekitar lima meter. Pak tejo telat ke Masjid karena mendadak harus buang tinja di dasar sungai.
Keadaan sempat riuh ketika teriakan pak Tejo bak kilat di pagi hari. Warga langsung bergegas menuju sumber suara yang tak lain dari dasar sungai. Kaget mendapati mereka terkejut ketika keduanya sempat diseret air sungai. Sontak, sebagian bergegas dengan alur pikiran yang tidak terencana. Ada yang mencari kayu untuk alat pegangan. Sebagian melompat berusaha menyelamatkan mereka dengan tangan kosong. Sebuah kayu besar ternyata menahan tubuh mereka. Selamat.
Dibawalah mereka pulang. Saat itu Marni, ibunya, hanya bisa meraung. Mukanya kuyub dengan air tangis. Andai bapaknya, Abdullah, masih hidup mungkin ia tidak tinggal diam, memburu rusli walau sampai keujung langit.
Sehari, seminggu, hingga sebulan berlalu. Mulai terpancar ketenagan diraut muka Mina yang bunder. Walau masih nampak kurus, kebugaran tubuhnya mulai terlihat. Sepertinya kesedihan itu sudah pergi. Mungkin telah di bawa arus sungai di subuh itu.
Seperti kebanyakan orang, Mina mulai pergi kemana-mana; kepasar, ke warung, kesawah, atau sekadar kesungai untuk mandi dan mencuci. Keceriaan pun terpancar di sosok Marni. Entah lah perasaan orang tua itu: akankah ia masih khawatir akan masalah yang menimpa anaknya beberapa waktu lalu.
Kekhawatiran Marni ternyata tak terbukti. Marni semakin yakin setelah seorang lelaki datang untuk malamar anaknya. Mina menerima lamaran lelaki paruh baya itu.  Tejo. Ya, Tejo, si takmir masjid, “utusan tuhan”, seorang duda yang hidup sebatangkara.
Sayangnya Marni tak bisa melihat kebahagiaan putrinya terlalu lama. Marni yang telah dimakan usia harus pergi utuk memenuhi panggilan tuhan.
Waktu berlalu. Mina akhirnya dikarunia dua orang anak.  Si sulung Nazar dan si bungsu hendri. Selisih umur mereka hanya dua tahun. Hendri dilahirkan setelah dua tahun tujuh bulan dari pernikahannya.
Mina merawat dan membesarkan mereka dengan kasih sayang. Tak pernah ia memarahi, apa lagi memukulnya. Beban Mina bertambah setelah suaminya Tejo mulai dimakan umur. Selain mengurus kedua anaknya, ia harus mengurus suaminya yang hanya bisa berbaring ditempat tidur.
Apa lagi setelah nazar tumbuh tak sesuai harapan. Tak hanya tenaga, pikirannya pun terkuras oleh tingkah laku anaknya. Berbeda dengan Hendri, Nazar menjadi anak nakal. Tak taat kepada orang tua. Bahkan sering membuat onar di mana-mana.
Banyak orang curiga. Desas-desus menjadi satu bumbu penyedap ketika orang-orang makan di warung, mandi di sungai dan perbincangan kecil di pos kamling desa. Mereka menduga-duga kalau Nazar bukan dilahirkan dari pernikahan Marni dan Tejo. Melainkan anak haram, hasil kelakuan si biadab Rusli. Kelahiran Nazar yang hanya bertenggang waktu tujuh bulan setelah pernikannya dengan Tejo semakin memperkuat dugaan mereka. “walaupun itu dapat terjadi, jarang-jarang orang mengandung hanya tujuh bulan” katanya
Sebenarnya mina juga faham itu. Namun, dilumatnya perasaan itu dari kehidupannya, menutupnya rapat-rapat kepada suaminya. Rusli adalah masa lalu yang telah terkubur. Ia tak mau mengingat lagi wajah biadab itu.
Biar bagaimanapun Nazar adalah anaknya, entah hasil dari si biadab Rusli atau si alim Tejo. Anak tetap anak yang harus di sayang tanpa kurang dan di nasehati kalau menyimpang.
***
Gerombolan pemuda sering berkumpul di sebuah buk, di pinggir jalan dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya.
Kebiasaan mereka tak ada ada lain kecuali membuat masalah; menutup jalan, melempar kendaraan. Mereka juga merampok. Tak segan pula mencabuli wanita yang lewat jika dirasa sesuai selera atau hanya demi meluapkan nafsu. Pernah pula mereka mencabuli siswi di sekolahnya. Namun kecerdikan telah membuatnya selalu aman dan nyaman sehingga perbuatan asusila itu terbungkam dengan rapatnya.
Mereka adalah Nazar dan kawannya. Usia mereka memang masih muda, tapi kenakalannya boleh dibilang melebihi dua kali lipat melebihi kenakalan orang dewasa. Taktinya menyimpan rahasia bak pesulap dalam menyembunyikan triknya.
Hari-hari mereka habiskan dengan berfoya-foya: dangdutan, mabuk-mabukan dan banyak hal. Menghabiskan banyak rupiah untuk kegiatan tak berguna. Pun uang yang mereka pakai tak sedikit diperoleh dari cara yang tidak halal.
“nu, kamu jaga disini untuk mengawasi. Kalau ada orang, beri isyarat” perintah Nazar kepada Wisnu disebuah gulita, di halaman belakang rumah salah seorang warga di desa sebelah.
“dan kamu sik, ikut saya masuk” ia menunjuk wasik untuk memudahkan aksinya.
Wasik hanya mengangguk sembari membuntutinya dari belakang. Di tangannya ada senjata tajam jenis pisau.
Mereka mengintai sebuah ternak. Terlihat sebuah lampu kecil yang masih menyala di depan pintu kandang. Mata mereka melirap sana-sini, memastikan tidak ada yang melihat aksinya. “Aman!”pikirnya
Suasana hening. Seperti tak ada kehidupan di sana. Hanya suara kaki samar-samar. Sesekali terdengar desisan ternak karena gangguan nyamuk dan jenis binatang kecil kandang lainnya. Nazar terus melangkah mendekati muka kandang. Sementara wasik terus membuntutinya dari belakang.
Huh! terkejut. Nazar menoleh. Belum sempat ia meletakkan telunjuk kanannya di kedua bibir, sebuah isyarat untuk tidak berisik.
 “Gubrak,,gubrak,,”
Jebakan !
***
Mina menangis tak kepalang tanggung. Seperti kesedihan dan kesusahan memang selalu ditakdirkan untuknya. Menderita karena Rusli, menanggung beban keluarga dan kini ia harus mendengar kabar Nazar diringkus polisi semalam karena kasus pencurian. Wasik, meninggal terkena sengatan listrik. Hendri?entahlah. Mungkin ia ditelan gulita malam. Polisi hingga kini memburunya.
Seluruh warga mendengar kabar mengerikan ini. seperti tak ada topik lain untuk dibahas, kabar nazar menjadi semakin menjadi perbincangan hangat. Ada yang merasa kasihan karena Mina. Ada juga yang tak segan-segan menyukurinya. Diringkusnya Nazar merupakan pertanda baik, akan dimulainya sebuah ketentraman. Tak ada lagi pemabok, pemotong jalan, dan pencuri. Itu artinya, warga tak perlu lagi berpatroli menjaga keamanan.
Sebagian hanya heran dengan tingkah buruk Nazar lantaran seratus delapan puluh derajat berbeda dengan hendri, adiknya.
Seminggu berlalu. Mina berkeinginan menjenguk si sulung itu. Dinaikilah angkot warna merah jurusan kabupaten, sebuah tempat dimana anaknya dikurung di jeruji besi. Mina sedikit tegang dengan pikiran yang tidak karuan ketika sampai di halaman bui. Mungkin karena baru pertama ia ke sana. Disana-sini ada polisi dengan seragam. Tak sedikit pula orang dengan wajah tak jelas. Namun dari seragamnya mudah dijelaskan kalau mereka adalah tahanan.
Sontak wajah Nazar tergambar di bayangnya. Dipercepat langkahnya. Sesegera mungkin ia ingin bertemu Nazar. Ia merindukan bocah “ingusan” itu.
“Mau ketemu siapa bu” tanya seorang petugas
“Nazar”
“Nazar sulasno”ia memperjelas nama anaknya.
“Mari ikut kami”
Polisi kemudian mempersilahkannya masuk kesebuah ruangan. Terlihat kesedihan yang sangat diwajah Mina setelah melihat Nazar dengan seragam biru tua di balik pagar besi. Bukan seragam putih abu-abu seperti yang ia kenakan  setiap pagi. Nazar diam. Lemas. Namun ketenangan masih sedikit terpancar di matanya. Mina melihat itu di mata tajamnya.
Tak lama, tiba-tiba Mina terkejut. Ia melihat laki laki di samping nazar. Wajah jangkung dengan rambut mohak seperti nazar. Ada luka gores di lengan dan wajahnya, sedikit memar. Seperti baru di hantam batu dan kemudian cambuk. Mina merasa tak asing dengan wajah itu. Ya, lelaki itu adalah Rusli.
 Semarang/Maret/2013  

Minggu, 14 April 2013

Alun Alun Sepi


Pagi yang berbeda. Matahari menyambut wajah Didit lebih pagi dari biasanya. Ada kesenangan yang mungkin tiada mendua, bercampur gelisah, rindu dan rasa penasaran hingga kantuk tak lagi melesat di matanya. Padahal, jam menunjuk angka tiga lebih lima belas ketika Didit meninggalkan laptopnya menganga sendirian di atas meja, di samping ranjang tadi malam.
“sampai ketemu besok, sayang”
“Ia, sayang. Aku sudah tidak sabar ingin menemuimu”
Percakapan terakhir didit melalui aku facebook seolah membuat tuhan berbaik hati hingga kesenangan seolah hanya ia yang merasakannya. Kelopak Didit nampak mengecil karena terlambat tidur malam. Tetapi bisa dirasakan ada kebinaran di kedalaman hatinya. Sebisa mungkin ia akan menyingkat waktu sehingga rencana pertemuan dengan Ninis bisa dilakukan saat itu juga.
Namun, semua itu tak lain hanya sekadar khayal yang tak bisa diwujud. Sebaliknya, perputaran waktu makin melamban. Didit tak sabar ingin bertemu dengan sosok wanita cantik itu dalam dunia yang sebenarnya. Tubuh Didit seratus enam puluh derajat lebih lamban dari pikirannya. Taman, mall, pantai dan alun-alun telah disambanginya lebih dulu ketika kakinya baru melangkah menuju kamar mandi.  Beragam rencana lain bercampur bersama kesenangan di pagi itu.
Usai dari kamar mandi, layar handphone didit menyala. Diraihnya cepat-cepat handphone yang tergeletak di ranjang. Satu pesan diterima dari ruhut.
“dit, aku, Rifki, Sisa, dan Tanti mau kepantai nanti sore. Kamu ikut nggak. Sekalian kita mau ngomong sesuatu sama kamu”
“sory bray, nanti sre aku ada janji. Memangnya mau ngomong apa?”
“penting! Pokoknya kamu harus ikut”
“tapi aku beneran gk bisa hari ini”
“Memang, acaramu seberapa penting dari dari kita2”
Didit bimbang. Ada pertempuran dahsyat di benaknya, antara memilih sahabat yang terkadang hanya bikin jengkel dan menemui Ninis, kekasihnya. Setelah beberapa saat didit menemukan keputusan.
“Maaf bray, tapi nanti sre aku gak bisa ikut. kalau perginya bsok sre ja gmn?”balas didit kemudian setelah sesaat melepas pikir
Nanti sore adalah rencana pertemuan awal didit dengan Ninis. Kekasih yang didapat dari dunia maya beberapa bulan yang lalu. Didit tidak ingin melewatkan kesempatan berharga itu. bagi didit, jalan-jalan di pantai akan lebih romantis jika didampingi seorang kekasih. Jalan dengan teman-teman tak lebih menarik selain hanya mengisi waktu luang ketika mumet dengan tugas-tugas kuliah.
Tak lama kemudian handphone didit bergetar. Pesan dari ninis.
“sayang, sory ya, kayaknya kita nggk bisa ketemuan nanti sore. Aku ada keperluan mendadak”
Didit seketika lemas. Rencana batal. Rasa kecewa dan kerinduan bercampur jadi satu setelah pesan singkat dari ninis selasai dibacanya. Dipandanginya pesan di handphonenya berkali-kali, berharap ia salah membaca, atau pesan itu bukan dari Ninis tetapi dari teman yang lain.
“ada acara apa say? Trus, kita ketemunya kapan,,”balas didit
Didit terdiam. Wajahnya menyudut  ke tembok di depannya. Entah, apa yang telah bergelantungan difikirannya. Dalam waktu singkat handphonenya kembali bergetar. Cepat-cepat matanya tertuju ke arah layar.
“Pesan terkirim”
Didit merungut menyaksikan kalimat itu nampang di handphonenya, mengganggu alur pikiran dan perasaannya. Ia lupa kalau dua hari yang lalu ia mengaktifkan laporan pengiriman setelah beberapa kali ia sempat sedikit kesal kepada Ninis. Ninis tak membalas pesan dari didit yang sebenarnya belum sampai. Didit tidak ingin kesalahfahaman yang telah berlalu itu terulang kembali.
“Besok ya,,”
“ya”
Hari khusus yang dipersiapkan untuk Ninis tertunda. Ada perasaan kecewa, namun tidak sampai membuat ia kesal. Hanya gangguan teknis. Persoalan kecil seperti ini hal biasa. Didit paham itu.
Didit berdiri. Ia berjalan menuju lemari pakaian. Air yang menempel punggungnya sudah nampak mengering. Tak terasa kamar mandi telah berlalu begitu lama. Di depan cermin yang menempel di daun pintu lemari, sekilas didit melihat tubuhnya yang belum mengenakan baju. Ia kemudian berlalu dari kamar setelah beberapa saat mengenakan jeans hitam dan kaos warna hijau.
Sambil berjalan keluar rumah, didit mengirim pesan kepada ruhut.
“Ke pantai mana bray, aku jadi ikut”
Tak ada jawaban. Dari sebrang, dengan sedikit acuh, ruhut membaca pesan dari didit. Ada perasaan kecewa. Seorang teman yang lebih mementingkan seorang wanita dari pada temannya sendiri.
***
Sejak kematian Menda, kekasihnya, Didit lebih akrab dengan sapaan si jombo. Begitu sulit ia mendapatkan kekasih. Padahal teman wanita di kampusnya tidak cukup untuk hitungan jari. Semuanya akrab dengan Didit.
Masalahnya, Didit tidak bisa berkutik bila dihadapkan dengan perasaan. Ia seolah kehilangan bahasa untuk sekadar bercakap bila bertemu dengan wanita yang disukainya. Hanya getaran dahsyat dari kedalaman hati yang sesekali membuat wajah memerah dan salah tingkah. Usaha memikat hati wanita selalu gagal karena alur komunikasi terganggu.
Menda adalah masa lalu yang hanya tinggal kenang. Ia meninggal karena kecelakaan. padahal, hubungan mereka baru berjalan lima bulan sebelum truk menghantam motornya ketika perjalanan menuju kampus. Didit mendapatkan Menda karena bantuan salah seorang temannya.  Kebetulan saja si wanita itu juga punya perasaan yang sama kepada Didit.
Setelah itu, tidak jarang teman-temannya melempar ejek dan gurauan lantaran didit tak punya pacar. Menganggapnya bencong, homo, dan kata jelek lainnya. Namun, dihadapinya ucapan itu dengan rasa bangga walau sebenarnya menyimpan sengatan yang dahsyat di kalbunya. Kalau tidak bisa mengkondisikan diri, bisa saja Ia mengantarkan genggaman tangan ke muka kawannya itu.
“wanita hanya bikin repot. Mending jomblo, bisa bebas tanpa harus terikat”belanya di suatu hari.
Sementara di kedalaman perasaan, Didit memikirkan masalahnya sendirian. Buku panduan “cara cerdas memikat hati wanita” tak cukup tangguh mengubah perasaan rikuhnya di hadapan wanita pujaan hati. Mungkin baginya, wanita itu adalah bidari yang tak bisa diterjemahkan dalam bahasa apapun.
Waktu berlalu, didit mulai mengerutkan jidad. Merasa tak tahan dengan kejombloan dan terpaan temannya itu, Ia memutar otaknya dua ratus enam puluh derajat; mencari solosi untuk masalah psikis yang ia hadapi.
Facebook. Didit punya ide melalui facebook. Ya, media sosial modern yang bernama facebook ternyata menjadi alat pembelajaran didit. Dengan facebook, Didit ingin belajar mencuri hati wanita. Karena kata orang, tak butuh bertemu hingga wanita bisa terpikat. Ia hanya butuh kelenturan lidah dalam mengolah kata. wanita bisa didapat melalui rayuan gombal. Seorang wanita bisa luluh karena kata manis para lelaki. Ahay! Didit optimis.
 “Hai cewek,,,”
Didit mulai beraksi. Hari tanpa facebook bagai pagi hari tanpa sarapan. seperti kopi tanpak kretek. Sudah tanpak barisan nama-nama wanita di daftar chatnya. Ada yang sedang aktif ditandai warna hijau. Ada pula yang hanya putih polos. Didit ingin menjajakinya satu persatu.
L..” balas akun facebook yang bernama Nana kemudian. Didit kaget, sedikit kesal. Ditutupnya langsung kotak komunikasi dengan cewek itu.
Kepada akun facebook yang bernama Tantri didit mengirim pesan. “Lagi sibuk apa neng?”
Didit diam menunggu jawaban. Tak lama, ada tanda-tanda tantri merespon. Nampak jelas dibagian kanan kotak chat, “tantri sedang mengetik”. Mangsa masuk perangkap. Pikirnya.
“Ol ajjha”balas tantri singkat.
“Ol dimana?”
“di kamar, masak di WC”
Jidad Didit mengkerut, ia kembali memutar otak, mencoba memahami karakter si cewek sembari mencari-cari balasan yang tepat.
“kok galak  banget si neng?”balasnya kemudian.
“masalah buat lho? LLL
Ah, dua cewek raib, gagal masuk perangkap. Didit memilih menutup obrolannya. Ada perasaan tak nyaman berbincang dengan cewek yang menurutnya galak.
Tetapi Didit tidak khawatir. Masih banyak cewek yang belum dicoba di kotak obrolan. Kalau pun semuanya gagal, masih ada lebih dari seratus, seribu bahkan berjuta-juta. Ia bisa menambahkan sebagai teman sebanyak kouta yang diinginkan.
Dilakukannya hal itu terus menerus. Betulah kegitan Didit setiap hari, di samping mendapat terpaan kawannya yang sesekali membikin jengkel.
Pada suatu ketika didit telah akrab dengan cewek yang yang bernama Ninis. akun facebooknya bernama “Ninis caem”. Informasi di dinding, cewek itu sekampus dengan Didit.
Hari berganti hari, obrolan dengan Ninis berlangsung begitu lama. Mulai dari perkenalan, gurauan, ejek-ejekan hingga akhirnya merambah perasaan. Mulai dari tukaran nomer, sms an hingga terfon-telfonan. Ada rencana untuk saling bertemu di dunia nyata.
“benar kata buku, cewek itu mudah didapat asal punya lidah yang lentur”gumamnya
Dengan Ninis didit merasa dekat. Yang semula berniat untuk latihan, Didit terbawa kesungguhan. Ditambah lagi ayunya cewek itu. Tak ada kebohongan kamera pada foto profilnya. Sekalipun ada, paling hanya sedikit. Itu pun tidak akan mengurangi kecantikannya. Ehem.
***
Celana jeans hitam dengan kaos hijau. Didit tampak bersemangat. Akhirnya sampai juga waktu yang dinantikan. Pertemuannya yang sempat tertunda itu akan segera terlaksana. Keceriaan tampak diwajahnya yang manis. “Jomblo akan benar-benar berakhir”katanya sambil memoles-moles rambutnya dengan minyak. Mohak.
diperhatikannya dengan teliti wajah dan penampilannya, memastikan tidak ada yang kurang sedikitpun. Di depan cermin ia berdiri. Jurus ketampanan ia kerahkan semuanya. Ia berlalu meninggalkan kamar menuju halaman rumah.
Tak lama, ia menaiki angkot jurusan kota. Pertemuan mereka tidak jadi di pantai. Tetapi, di alun-alun. Alun-alun lebih indah diwaktu sore. Remang-remang lampu ketika sampai malam hari akan menambah kehangan sepasang kekasih yang baru ingin mencurahkan asmara. Mereka akan bertemu, melepas kerinduan, menghilangkan penasaran, menelan kegelisahan dan sebagainya. Pokoknya mereka merencanakan sebuah kepuasan satu sama lain.
Setibanya alun-alun, didit menuju ke sebuah kursi di bawah pohon cemara. Didit meratakan pandangannya ke seluruh penjuru alun-alun. Ada banyak orang di setiap sudutnya. Mereka berpasangan, menambah perjalanan waktu semakin melambat. didit mulai tak sabar. Ada perasaan cemas dan degdegan.
Belum ada tanda-tanda kedatangan ninis setelah beberapa menit berlalu. Mungkin ninis telat. Didit masih menunggu. Ia terus menunggu.
Hingga senja diganti malam, ninis tetap tidak kelihatan. Didit cemas. Ia kemudian menghubunginya melalui seluler. Berkali tidak ada jawaban. Koneksi terakhir, Ninis me-reject-nya.
Ah sial! Didit kecewa. Badannya lemas tanpa semangat, hatinya remuk, perasaannya hancur. Ia kemudian pulang menyusuri alun-alun yang mulai menyepi. Sesepi hatinya malam itu.
***
Sebelumnya.
Di pantai, di sebuah meja, di bawah pohon, Ruhut, Rifki, sisa  dan tanti menikmati pemandangan pantai bersama. Mereka tengah menikmati liburan pekan ini. Dari kejauhan mereka tanpak bercakap satu sama lain.
Salah satu perbincangan mereka tak lain tentang Didit. Mereka sebenarnya merasa kasihan sama didit. Ajakan ruhut ke pantai dua hari yang lalu tak lain untuk mengatakan yang sebenarnya bahwa Ninis tak lain adalah  Sisa, temannya sendiri.
Namun kecewa mereka rasakan setelah Didit lebih mementingkan wanita dari pada sahabatnya. Mereka kemudian sepakat mengibuli didit sampai pada titik klimaks.