Senin, 12 Oktober 2015

Lisan

Sesungguhnya tak boleh ada yang keluar dari mulut seseorang kecuali perkataan yang baik. Selain itu, diam menjadi bahasa yang lebih baik. Tuhan dan Rasulnya Muhammad sepakat dengan penegasan ini. Ia berjanji, jaminan keselamatan akan diberikan kepada orang-orang yang mampu melakukan ini: diam karena tak ada hal penting yang perlu disampaikan atau memilih bicara karena akan memberi manfaat bagi yang mendengar.

Bagitu tajamnya lidah sampai kita disuruh berhati-hati dalam berbicara. Pepatah klasik pernah menyampaikan bahwa kata lebih tajam dari pedang; kata-kata akan melukai hati, sedang pedang hanya akan melukai diri. Setiap orang tentu akan lebih senang mendengarkan motivasi dari pada mendengarkan caci-maki.


Kegiatan berbicara bertalian erat dengan kegiatan berpikir. Kecuali pembicaraan orang gila yang tak mengerti maksud dan tujuan berbicara. Orang waras selalu menempatkan kegiatan berbicara setelah kegiatan berpikir. Karena itu, tak akan ada orang yang tak paham dengan apa yang dibicarakan kecuali si gila. Kegiatan berpikir adalah kegiatan komunikasi abstrak dengan objek yang hanya dengan lisan atau tubuh ia menjadi kongkrit. 

Karena pembicaraan adalah buah–hasil dari pikiran, maka menata pikiran menjadi kegiatan paling penting untuk dipelajari lebih awal. Dari pikiran yang baik akan dihasilkan perkataan yang baik. Dari pikiran yang cerdas akan dihasilkan perkataan yang cerdas. Dari pikiran yang ‘porno’ akan dihasilkan pula perkataan yang ‘porno’. Demikian, pikiran rakus akan mengantarkan pada perbuatan yang rakus; korupsi, mencuri, merampok, dan sejenisnya. Pikiran adalah sumber semua laku yang dapat mewujud dalam laku tubuh atau laku bicara: lisan.

Jika demikian, maka kita musti menganggap apa yang disampaikan oleh Rasul Muhammad: keselamatan manusia bergantung pada bagaimana ia menjaga lisan, bisa dimaknai dengan sebuah kiasan tentang bahasa. Lisan adalah sikap. Lisan adalah laku. Termasuk lisan juga adalah perkataan sebagai hasil dari kegiatan berpikir. Dalam hal ini kita memang musti mendurhakai kamus mengenai makna lisan: lidah atau kata-kata yang diucapkan.

Lisan adalah bahasa; entah tubuh atau ucapan, yang bisa saja menyelamatkan atau sebaliknya, mencelakakan. Farhat Abbas tak selamat dari Ahmad Dani setelah dilaporkan ke polisi karena kasus pencemaran nama baik. Perkataan Farhat telah ‘mencelakakan’ dirinya, ia menjadi tahanan polisi sekaligus telah membuat orang lain sakit hati.

Kalau kita membatasi pengertian lisan pada ucapan lidah, perkataan Rasul Muhammad tidak akan menemukan tempat dalam kasus ini karena Farhat Abbas mengoceh tidak dengan lisan, tetapi dengan tulisan melalui media sosial. Hasil berpikir Farhat mewujud ke dalam kerja tangan: tulisan, karena ia berada dalam situasi, dimana, lisan (dalam pengetian lidah) tak cukup efektif untuk menyampaikan buah pikiran.

Pembicaraan dengan lidah memerlukan ruang dan terbatas. Untuk menjadi orang yang selamat atau celaka karena perkataan pun telah mendapati ruang sempit dan terbatas. Kecuali kita memilih yang kedua: diam, walau tak cukup baik saat pembicaraan itu diperlukan, namun kita tetap memilih diam. Karena merasa perlu, Farhat Abbas tak memilih diam. Ia pun tak perlu ke Masjid atau Musholla, mengambil pengeras suara untuk mengusik ketenangan Ahmad Dhani. Farhat Sadar, kita pun demikian, media sosial telah menemukan zamannya untuk melepaskan isi kepala. 

Dalam situasi ini, maka boleh-boleh saja secara substansi jika seandainya kita ingin ‘mendaur ulang’ untuk memperluas makna perkataan Rasul, dari  Salamatul al-insan fii hifdzil al-lisan kepada Salamatul al-Insan fii hifdzi al-kitaabah (keselamatan manusia bergantung pada bagaimana ia menjaga tulisan), atau Salamatu al-Insan fii hifdzi al-maukuf au al-suluk (keselamatan manusia bergantung bagaimana ia menjaga sikap atau perilaku).

Dalam kalimat senderhana: keselamatan manusia bergantung bagaimana ia menjaga bahasa dalam pagelaran hidup sehari-hari.

Miftahul Arifin
Semarang, 12 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar