Jumat, 20 Juli 2012

Menengok Pemerintahan SBY-Budiono


Oleh Miftahul Arifin
Dimuat di Malang Pos, sabtu 26 Mei 2012

Judul Buku  : Pilpres Abal-Abal, Republik  Amburadul
Penulis         : Adhie M. Massardi, dkk
Penerbit       : Republika Penerbit
Cetakan        : Oktober, 2011
Tebal            : Cover + 432 halaman
ISBN            : 978-602-8997-38-6
Harga           : 75.000

Pengingkaran seorang pemimpin terhadap realitas kehidupan masyarakat dan ambivalensi dalam penegakan hukum menjadi sumbu masalah yang mengakumulasi kekecewaan dan kemarahan rakyat. Dari sini, pemerintah mengalami krisis kepercayaan dan terus-menerus mendapat kecaman dari masyarakat.
Inilah potret pemerintahan SBY-Budiono yang digambarkan dalam buku ini. Ternyata, disamping sikap dan posisi presiden yang amat menyakinkan untuk menegakkan hukum dan menyatakan perang terhadap
korupsi, sistem pemerintahan amburadul pada tingkat implementasi. Skandal bank Century dan beberapa kasus mafia pajak dan proyek menjadi salah satu bukti kongkrit ketidaktegasan pemerintah.
Penantian masyarakat akan janji pemerintah untuk menciptakan “harmonisasi”, menumpas ketidaknyamanan hidup keluarga kelas menengah kebawah mungkin saja telah menjadi bayang-bayang semu dan hampir terlupakan. Menurut bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI, telah terjadi percepatan dan proses eskalasi ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Dalam hal ini presiden dan wakilnya. Sehingga, amat sulit bagi pemerintah untuk membangun kembali citra dan kepercayaan masyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah  pun terus masih berusaha mengelak dengan mencoba menutupi kesalahannya melalu sistem politik yang disebut dengan “politik pencitraan”. Dapat diltilik betapa sikap presiden SBY yang secara tegas menolak pembangunan gedung mewah telah menimbulakan pertanyaan besar. Jika presiden memang menolak pembangunan gedung tersebut, mengapa ia tidak memerintahkan partai demokrat 100% menolak rencana gedung itu. kalau memang presiden menolak proyek gedung baru karena dalih menghamburkan uang rakyat, kenapa pula ia tidak menyetop pembayaran utang luar negeri Indonesia kepada negeri-negeri imperialis. Mengapa pula ia tidak menyetop kebijakan neoliberalnya. Bukankah sumber kemiskinan dan kesengsaraan rakyat berasal dari sistem neoliberalisme atau imperialisme (hal. 323)
Sesungguhnya masalah ini, sesuai dengan judul buku: Pilpres Abal-abal, Republik Amburadul, merupakan efek dari ketidakjujuran pemerintah ketika ingin menduduki kursi pemerintahan. Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2009 lalu hanya sebagai kedok bahwa negeri ini telah menganut sistem demokrasi. Berdasarkan beberapa temuan, banyak sekali spekulasi yang sengaja dibungkus rapi oleh sistem politik pemerintah yang dijalankan ketika itu.
Hasil wawancara dengan Myjen (purn) Saurip Kadi menyebutkan bahwa pemilu yang lalu, pemerintah telah banyak melakukan pelanggaran terhadap UUD.  Pemerintah telah mengabaikan kedaulatan rakyat sebagai salah satu elemen negara demokrasi. Menurut Myjen, terdapat masalah dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yaitu adanya ketidaksesuaian dengan realitas penduduk di mana DPT itu diterbitkan. Banyak pemilih walau tercantum dalam DPT namun tidak mendapat undangan. Banyak TPS fiktif yang dicontreng oleh penguasa. Disisi lain, disamping Jual beli suara yang amat mudah dilakukan, ternyata sedikitnya empat puluh juta jiwa telah kehilangan hak memilih. Dengan kata lain, transparansi sebagai syarat mutlak negara demokrasi tidak lagi diindahkan oleh pemerintah.
Sistem politik yang “amburadul” itu disinyalir  telah berimplikasi pada rapuhnya kosistensi pemerintah dalam menjalankan tugas sebagai kepala negara. Terbukti dengan menggurintanya beberapa kasus yang hingga kini belum terselesaikan dengan baik.
Buku Pilpres Abal-abal, Republik Amburadul ini merupakan sebuah refleksi atas pemerintahan SBY-Budiono. Didalam buku ini dijelaskan banyak hal mengenai fakta-fakta penyimpangan yang telah dilakukan SBY ketika ia mulai memimpin negeri ini khususnya pada periode kedua, yakni pasca pemilu 2009. Mulai dari konstitusi dan sistem pemerintahan yang semrawut, kebijakan Sumber Daya Alam (SDA) yang bermasalah, Skandal Bank Century dan berbagai Politik pencitraan sebagai salah satu langkah menutupi kesalahan kesalahan yang telah dilakukan. Bahkan pemerintahan ini dianggap sebagai rezim terparah abaikan Pancasila.
Dahulu zaman bungkarno masih mengerti pancasila. Zaman soeharto, tidak bisa tidak, jelas pancasilais. Rezim sekarang tidak tahu indonesia mau dibawa kemana, TNI dikandangi dan tidak boleh omong opo-opo, padahal kalau tidaka ada TNI siapa yang mempersatukan karena sekarang liberal. Dengan kenyataan ini menunjukkan indonesia nyaris negara gagal dalam segala hal(hal. 354).
Maka benar apa yang disampaikan syafii Maarif dalam pengantar buku ini, “Jika dulu yang dilawan adalah kekuatan asing yang menindas, sekarang ujung tombak perlawanan ditujukan kepada siapa saja yang menindas, tak terkecuali elit bangsa sendiri”. Ini menunjukkan bahwa, kini, bangsa indonesia tidak hanya dihadapkan dengan masalah yang sifatnya eksternal. Melainkan lebih pada problem internal ke-indonesia-an itu sendiri. Dan ini, lebih sulit dibanding melawan penjajahan asing yang secara terang-terangan ingin mengeruk kekayaan indonesia.
Dengan kata lain, kini, pemerintahlah merupakan musuh besar bangsa Indonesia yang harus segera dilawan. Bagaimanakah betuk perlwanan yang harus kita lakukan? Inilah tugas kita bersama. Semoga sukses.

Miftahul Arifin, Pegiat Diros Pustaka (Depus) institute dan Peneliti Idea studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.








Kamis, 19 Juli 2012

Islam dan Utopia Negara Ideal



Islam dan Utopia Negara Ideal

Judul Buku                    : Ideologi Islam dan Utopia
Penulis                 : Luthfi Assyaukani
Penerbit               : Freedoom Institute
Cetakan                : Agustus 2011
Tebal                    : Cover + 330 halaman
Harga                  : 75.000

Modernisasi sebagai akibat dari globalisi telah memengaruhi seluruh lini kehidupan. Tak terkecuali pola pikir seseorang. Alih-alih pengetahuan mendalam mampu membendung “doktrin” yang tanpa sadar ditawarkan. Sebaliknya, ia justru menjadi pondasi dalam menguatkan argumen logis yang tampil dipermukaan.
Banyak muslim Indonesia pada tahun 1930-an menolak gagasan nasionalis, tapi 10 tahun kemudian menerimanya. Sementara pada tahun 1950-an dari mereka banyak menuntut pendirian negara islam, namun 20 tahun kemudian mereka menolaknya. Selanjutnya, pada tahun 1970-an dengan keras mereka menolak skularisme, namun 30 tahun kemudian mulai menerimanya. Dapat ditemui pula pada masa ini semakin banyak kelompok muslim yang terbuka dengan berbagai konsep seperti demokrasi, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia.
Fakta lain sikap religius-politik muslim di indonesia dari masa ke masa pasca kemerdekaan dapat ditilik dari hasil pemilihan umum yang telah berlangsung pada tahun 1955, 1999, 2004, 2009. Dalam perspektif historis, muslim indonesia secara politik menjadi lebih pragmatis dan rasional. Jelas, tiga pemilu terakhir politik islam gagal memperbaiki rapor yang mencapai 43% pada pemilu pertama. Dalam pemulit selanjutnya, partai-partai islam hanya meraih suara kurang dari 20% dari total suara yang diperebutkan.
Secara politis, kekalahan politik tersebut memang tidak lepas dari pengaruh politik yang dimainkan oleh rezim Soeharto yang cukup represif dalam memimpin. Luthfi Assyaukanie menyebutkan adanya pengaruh besar intelektual muslim Indonesia yang secara perlahan mulai menyerap dan menerima modernitas sebagai bagian dari runutan hidup yang tidak dapat dihindari. Argumen-argumen Islam yang dikembangkan oleh forum-forum intelektual, publikasi-publikasi,dan lingkungan akademis memainkan peran cukup besar. Argumen mengenai isu politik akan tersingkir bila argumen baru muncul dan dianggap lebih cocok dan logis. Benar apa yang dikatakan Neta Crawford bahwa argumen adalah komponen nyata dalam perubahan sosial dan politik yang perannya sama penting dengan kekuatan meliter.
Buku Ideologi Islam dan Utopiaini dengan rinci memaparkan tiga bentuk negara demokrasi yang dinilai cukup representatif untuk mewakili corak pemikiran intelektual muslim Indonesia pasca kemerdekaan hingga sekarang dalam mengkonstruk ideologi Indonesia ke dalam tiga perkara, yakni: Negara Demokrasi Islam, Negara Demokrasi Agama, dan Negara Demokrasi liberal.
Pertama, Negara Demokrasi Islam. Upaya pendirian Negara Demokrasi Islam berawal dari keputusan kontoversial PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Idonesia) yang menghapus formula-formula Islam. Keputusan tersebut memicu muslim Indonesia untuk mewujudkan model politik islam yang dianggap mulia. Mereka meyakini demokrasi tidak berbeda dengan rumusan islam tentang negara. Mekipun demokrasi dalam makna modern tidak akan pernah ditemui dalam tradisi islam klasik, pada hakikatnya, merupakan salah satu pilar dari empat dasar negara islam disamping kewajiban (amanah), keadilan dan ketuhanan. Inilah sekilas tawaran yang dinilai cukup layak menjadi daya jual konsep-konsep yang diusung model pertama.
Kedua, Negara Demokrasi Agama. Dalam Negara Demokrasi Agama, model pemikiran terlihat semakin terbuka dan mulai menerima prodak yang ditawarkan era modern. Mereka mulai menghilangkan sifat curiga terhadap agama lain dan lebih bertekat menjalani hidup yang baru dengan menerima pemikiran liberal agama dalam masyarakat yang multireligius. Banyaknya kalangan santri yang melanjutkan pendidikan di universitas barat mungkin menjadi faktor utama ihwal tersebut. Di dalam keadaan seperti ini, banyak pula generasi baru muslim yang kurang menaruh perhatian terhadap isu-isu lama, tentang perpecahan antara Ortodoksi dan Modernisme atau tentang kesulitan hidup dalam sebuah masyarakat yang beragam (hal. 127).
Model yang banyak disokong pemimpin muslim yang bekerja sama dengan Soeharto ini mempunyai dasar pijak: penerimaan terhadap Pancasila. Keprihatinan Soeharto mengkonsolidasikan unsur-unsur kebangsaan yang terfragmen secara ideologis menjadi alasan utama penerimaan pancasila. Dengan pancasila, mereka meyakini bahwa masyarakat akan menjadi “religius” sebab dalam pancasila mengandung seluruh aspirasi rakyat. Namun, walaupun diakui tidak lepas dari kepentingan pragmatis Soeharto. Model ini adalah bagian konstruksi teoritis oleh Muslim berdasarkan relitas yang mereka hadapi.
Ketiga, Negara Demokrasi Liberal. Model ini berangkat dari fondasi sosiologis bahwa Indosesia adalah negeri pluralis, sehingga upaya untuk menciptakan integeritas sosial haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip pluralisme(hal. 181). Robet Nozick, pemikir gagasan negara minimal dalam filsafat politik barat percaya bahwa semakin sedikit campur negara dalam urusan masyarakat, semakin baik pula fungsi negara itu. Barangkali karena alasan inilah, pendukung model ini mengkritik posisi hegemonik negara terhadap aktivitas religius masyarakat dan secara radikal mencoba menghadirkan format hubungan agama dan negara.
Lahirnya model ini merupakan respon terhadap berbagai problematika ihwal hubungan agama dan negara yang mengkritik posisi hegemonik negara atas aktivitas religius masyarakat yang yang ada pada model perma dan kedua. Liberalisme ini dipelopori oleh beberapa pemikir islam seperti Nurcholis Madjid (1939-2005) dan Johan Efendi.
Menurut Luthfi Assyaukani, sejarah pemikian politik Islam di Indonesia adalah sejarah modernisasi dan kemajuan. Terbukti, lahirnya pemikiran liberal seperti pada model terakhir. Perubahan pemikiran tersebut mencerminkan kegelisahan muslim indonesia akan tergencatnya doktrin agama dalam masyarakat multireligius, sehingga mau tidak mau harus membentuk sistem politik islam yang selaras dengan perkembangan masa kini. Dengan kata lain, muslim di Indonesia mulai merindukan pemerintahaan ideal yang anti kekerasan.
Hanya saja dalam bab terakhir buku ini Lutfi menyayangkan, banyak studi tentang pemikiran Islam di Indoseia sangat menekankan ideologi politik tanpa pertimbangan cukup terhadap peran utopia. Berbagai argumen dan gagasan besar seperti demokrasi, pluralisme, dan liberalisme tidak bisa dipahami dengan tepat tanpa pengkajian konseptualisasi muslim akan pemerintahan. Inilah kritik dosen Filsafat politik Universitas Paramadina ini tehadap pemikiran muslim Indonsia dalam upaya membangun Ideologi negara. Akhirnya, negara ideal tak lebih sekedar bayang-bayang semu yang tidak mungkin terwujud, alias utopia belaka.

Miftahul Arifin, Peneliti Idea Studuies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang (Februari 2012)


Guru “Profesional” dalam Pendidikan Anti Korupsi


Oleh Miftahu Arifin
Google Photo
Lembaga pendidikan dipandang sebagai “lahan” strategis untuk mencegah lakon-lakon korupsi di masa mendatang. Apalagi setelah melihat Lembaga Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) belum mampu menghentikan prilaku korup elit pemerintah yang semakin lahap memakan uang rakyat. Dengan adanya pendidikan anti korupsi disekolah, siswa akan paham ihwal keburukan korupsi, dampaknya bagi masyarakat dan bagaimana cara menghindarinya. Disinilah, melalui pendidikan moral, prilaku siswa juga akan ditata dengan baik.
          Kebijakan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menambah kurikulum pendidikan anti korupsi di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia merupakan langkah preventif agar korupsi tidak terus “Menggenerasi”. Meskipun pada dasarnya belum ada jaminan yang pasti bahwa korupsi akan berhenti setelah adanya Pendidikan Anti Korupsi tersebut. Ditambah dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang, hingga kini, belum tertata dengan baik.
Disatu sisi perlu kita ingat cara-cara yang telah ditempuh pemerintah dalam memberantas korupsi. Misal, melaui pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seiring berjalannya lembaga tersebut banyak sekali menorehkan dinamika-dinamika didalamya. Disamping prestasi telah diraih semisal pengungkapan kasus dirjen pajak, Gayus Tambunan dan Nazaruddin, kasus korupsi pembangunan wisma Atlet Sea Games, lembaga yang berdiri sejak tahun 2006 tersebut juga menorehkan “Benang Kusut” bagi masyarakat. Masih melekat dibenak publik kasus Antasari azhar, mantan ketua KPK yang tersandung praktik  pembunuhan atas Nasiruddin Dzulkarnain, direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Belum lagi kasus-kasus internal KPK yang, kini, belum terselesaikan.
Yang ingin penulis tegaskan di sini, bahwa beragam upaya yang digadang pemerintah untuk menumpas praktik korupsi, tak bisa dimungkiri akan menghadapi harang lintang. Jika kurang waspada, bisa saja dana yang akan dikucurkan untuk Pendidikan Anti Korupsi, menjadi lahan empuk para koruptor yang justru menambah kerugian Negara.
          Oleh karena itu, butuh persiapan matang agar kebijakan tersebut terealisasi dengan baik. Mulai sistem kerja, cara kelola, pengajaran hingga sarana yang diperlukan. Secara praktis, Kesiapan tenaga pengajar yang “profesional” menjadi indikator keberhasilan dalam proses pembelajaran ini.
Jika dicermati, kegagalan pendidikan selama ini, di satu sisi, memang disebabkan oleh kesalahan sistem. Banyak kreatifitas siswa tak dapat berkembang sebab tersandung kurikulum yang mengekang di sekolah. Tak pelak, sebagian mereka yang memiliki intelektualitas tinggi namun memilih mengembangkannya di luar negeri, merupakan salah satu bukti kongkrit ihwal tersebut.
 Diperparah dengan munculnya guru abal-abal, karbitan yang tak memiliki karakter pendidik. Harus diakui, sebagian mereka, mereka hanya mengejar materi (baca: uang) dalam mengajar. Sebaliknya, bukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDA) generasi muda.

Profesionalitas Guru
Sejatinya tugas guru tak cukup hanya transfer pengetahuan dan rekomendasi tugas bagi siswa. Profesionalitas dalam mengajar menjadi hal utama. Inilah tugas pemerintah selanjutnya.
Guru professional, menurut penulis, setidaknya harus memenuhi beberapa hal: pertama, guru harus membuat siswa bisa nyaman. Mereka memiliki cara khusus agar siswa tidak bosan dan dapat menikmati materi di kelas dengan baik.
Kedua, dapat menyampaikan materi dengan baik, yakni dapat memuaskan siswa. Disini, mau tidak mau, seorang guru harus menguasai materi yang disampaikan.
Ketiga, faham perkembangan ilmu pengetahuan. Wawasan siswa akan berkembang bila tidak hanya disuguhi teori dan pengetahuan klasik yang telah diulang berkali-kali.
Keempat, guru harus disiplin. Kelima, bisa menjadi teladan. Dalam kerata basa, guru berarti “digugu” dan “ditiru”.  Seorang guru harus bisa menjadi contoh yang baik bagi siswa. Ironis, jika guru mengajarkan mapel (mata pelajaran) anti korupsi, namun ia sendiri tersandung lakon korupsi. Contoh sederhana adalah korupsi waktu, alias tidak disiplin.
Training of Trainer (TOT) oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (dikti) merupakan salah satu progres untuk menigkatkan kualitas guru, khususnya dalam pendidikan anti korupsi. Program ini bertujuan mensosilisasikan program pendidikan anti korupsi kepada seluruh dosen di seluruh Indonesia. Dengan pemebekalan yang cukup kepada tenaga pengajar di indonesia diharapkan dapat memaksimalkan tugasnya dengan baik. Sehingga, apa yang kita harapkan dari pendidikan anti korupsi, yang sudah di ambang mata ini, menuai hasil yang diharapkan.
Tentu kita semua berharap, upaya untuk mencegah dan menciptakan budaya “anti” terhadap korupsi tidak hanya sebuah utopia, alias bayang-bayang semu. Semoga tidak. Wallahu a’lam.

Miftahul Arifin, Peneliti Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Rabu, 11 Juli 2012

KAMPUS PENCETAK MENTAL "TIKUS" ?



Oleh Miftahul Arifin
Dimuat Di Koran Wawasan (30/05/2012)

“Koruptor adalah orang-orang pintar. Mereka juga bisa dari anggota ICMI, anggota HMI, lulusan UI, UGM, dan lainnya. Tidak ada orang bodoh” demikian kontroversial marzuki Alie sontak mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Salah satu kecaman itu datang dari Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan (Liputan6.com /09/05/12). Menurutnya, dalam sejarah keberadaan perguruan tinggi di indonesia, tidak ada satupun yang mengajarkan korupsi. Praktik korupsi yang terjadi di lingkungan pemerintahan justru disebabkan oleh sisitem Negara yang amburadul dan lemahnya penegakan hukum. Ia menilai, Marzuki Alie terlalu menyederhanakan masalah karena jauh dari hakikat persoalan. Dalam bahasa Donny Gahral (Beritasatu.com), Marzuki Alie sedang mengalami kemacetan berpikir.

Sindiran

Jika alasan Syahganda benar, kita harus mencari tahu penyebab kemacetan berfikir yang tengah dialami oleh Marzuki Alie. Tidak menutup kemungkinan kemacetan berfikir yang disematkan Donny Gahral itu disebabkan oleh satu hal yang sangat prinsipil yang menganggu psikologis Ketua DPR itu. Sebab, tidak mungkin, orang berpendidikan tinggi seperti Marzuki Alie dapat melontarkan sebuah peryataan kontroversial jika tanpa alasan tertentu.
Bahkan, boleh jadi, Marzuki Alie tau pasti bahwa orang yang selama ini sering terlibat lakon korupsi memang berasal dari perguruan tinggi yang pernah ia disebut. Namun, karena bukti yang kurang kuat, sehingga ia tidak punya nyali berhadapan dengan hukum. Apa lagi jika melihat realitas hukum di Indonesia jauh dari kesalehan sosial; jauh dari keadilan yang sebenarnya. Akhirnya, sindiran lah yang dianggap ikhtiar paling aman oleh Marzuki Alie untuk mengungkap kegelisahannya itu.
Kalau kita cermati pernyataan Marzuki Alie di atas, sesungguhnya ia tidak memberikan spesialisasi bahwa lulusan perguruan tinggi tertentu telah mencetak koruptor. Ia hanya memberikan sampel bahwa tidak menutup kemungkinan para koruptor berasal perguruan tinggi tertentu. Hal ini juga disampaikan oleh Marzuki Alie sendiri ketika dimintai kejelasan atas ucapannya (Beritasatu.com/07/05/12). Bertitik tolak dari hal tesebut, semakin memberi kesan bahwa marzuki Ali hendak menyindir aparat pemerintah yang tak pernah jera mengkorup uang Negara.
Diakui atau tidak, memang korupsi sudah mengakar dan mewarnai seluruh lapisan masyarakat dan menjadi masalah kronis yang amat sulit untuk diatasi. Sepintas, seandainya masyarakat boleh memilih masa, dimana, ia dapat hidup di satu sistem pemerintahan, mungkin ia akan lebih senang jika hidup pada masa orde baru. Sistem pemerintahan sentralistik yang dianut oleh presiden Soeharto telah menutup celah berkembangnya korupsi secara “berlapis”. Tidak heran ketika dilakukan jajak pendapat mengenai pemerintahan SBY dan Soeharto, masyarakat lebih memihak pada pemerintahan Soeharto.
Namun, meskipun masalah korupsi ketika pemerintahan “Orde Baru” tidak se-kronis era reformasi saat ini, tidak berarti kita harus kembali merindukan pemerintahan “Orde Baru”. Biar bagaimanapun, korupsi tetaplah korupsi, kejahatan yang mesti di berantas secara radikal (Radix, bahasa yunani, seakar-akarnya).
Dalam hal ini, sangat tepat bila memangkas akar korupsi tersebut melalui jalur pendidikan sebagai medium pembentuk karakter bangsa. Karena hanya bangsa yang berkarakter lah yang tidak akan bertindak “sakarepe dhewe”.
Pendidikan merupakan satu-satunya media yang cukup strategis untuk mengubah laku masyarakat dari satu sistem nilai ke sistem nilai yang lain. Dengan pendidikan masyarakat paham akan yang benar dan salah: yang harus dilakuan dan ditinggalkan. Undang-Undag No. 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya. Dalam kontek ini pendidikan harus mencetak orang-orang yang memiliki akhlak yang mulia. Bukan generasi yang memiliki mental maling, alias korupsi.
Sayangnya, pendidikan yang seharusnya mampu membentuk masyarakat yang berakhlak mulia itu, justru telah menciptakan tikus-tikus berdasi yang setiap hari nongkrong di kantor pemerintahan. Karena alasan inilah, Marzuki Alie yang secara transparan mengkritik Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Ia curiga, ada yang bermasalah dengan sistem pendidikan itu sendiri.
Kenyataan ini juga diakui oleh wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Busyro Moqaddas. Busyro mengatakan, perguruan tinggi di Indonesia telah banyak melahirkan ilmuwan pragmatis (Republika/10/05/12). "Kampus lebih banyak melahirkan ilmuwan tukang, yang akhirnya pragmatis," katanya.
Kampus yang sejatinya mengajarkan mahasiswa agar “anti” dan melawan terhadap korupsi, justru telah mencontohkan mahasiswa untuk berlaku korup. Sebagaimana kerap dilakukan oleh pihak kampus, misalnya pemotongan honor pegawai, honor dosen dan beasiswa mahasiswa. Atas dasar ini, penulis sepakat dengan Marzuki Alie bahwa korupsi juga tidak bisa lepas dari peran kampus sebagai medium pembentuk mentalitas mahasiswa.

Reformasi Sistem

Maju dan mundurnya negara ditentukan oleh peran besar mahasiswa sebagai penerus bangsa. Banyak hal yang dapat dilakukan mahasiswa untuk meningkatkan kualitas bangsa dan Negara Indonesia. Namun masalahnya, mahasiswa seringkali dikungkung dan dibingungkan oleh salah satu sistem. Terlebih, jika sistem tersebut justru menjadikan mahasiswa semakin terjebak dalam kebohongan. Fakta ini dapat kita lihat dalam sistem pengajuan proposal dana kegiatan, dimana, dana tidak akan mencairkan kecuali setelah Surat Pertanggung Jawaban (SPJ). Dari hal tersebut mahasiswa sering kali (walaupun dengan terpaksa) melakukan tindakan yang tidak semestinya, alias memanipulasi data. Inilah yang kemudian memunculkan benih-benih korupsi. Padahal, sistem yang telah mengakar dan mengurat itu telah diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Apa jadinya generasi bangsa jika hal ini dilakukan secara terus menerus hingga generasi mendatang?
Saat ini, agenda terpenting untuk menghanguskan dan mengubah benih mentalitas koruptor di civitas perguruan tinggi adalah melakukan reformasi sistem. Terutama sistem yang memberikan celah-celah untuk “berkorupsi”.
Reformasi sistem diperlukan untuk mensinergikan peran mahasiswa-pemerintah. Mahasiswa dan pemerintah adalah dua entitas yang berbeda namun memiliki tugas yang sama: menjadi agen yang mengusung cita-cita bangsa. Dari sini, pemerintah hendaknya memikirkan ulang kebijakan sistem pendidikan di Indonesia.
Dengan begitu, mahasiswa dapat berperan sesuai porsinya; dengan sepenuh hati memperjuangkan nasib rakyat melalui tindakan nyata.

Miftahul Arifin, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Penulis Adalah Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Sumenep Madura.

ANATOMI KEKERASAN PEREMPUAN


Oleh Miftahul Arifin


Dimuat di Koran wawasan, Rabu 13 Juni 2012



Ditengah banyaknya terobosan hukum yang berpotensi melindungi hak-hak perempuan, kekerasan masihkerap terjadi.  Perlakuan tak wajar sering kali menjadi kebiasaan buruk kaum lelaki. Dari sini, nasib perempuan tak ubahnya kucing, yang terkadang dielus dan terkadang pula dibuat mainan.Bahkan tak jarang kekerasan yang dialami kaum feminis berbuah pada kematian.
Sungguh ironis jika kaum lelaki yang menurut beberapa sumber, baik agama maupun penelitian, diberi kemampuan lebih di beberapa aspek semisal tenaga, belum tertransmisikan secara proporsional. Untuk melindungi perbuatannya itu, tak jarang doktrin agama dijadikan instrumen untuk membenarkan perbuatan mereka. Yang terakhir ini kerap dilakukan oleh mereka yang sudah mengarungi bahtera pernikahan. Padahal, Jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya perbuatan itu, disadari atau tidak, adalah bukti rendah dan piciknya kaum lelaki.

Penyebab Kekerasan
Dalam menganalisa penyebab kekerasan seksual, Abdul Wahid dalam buku Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuanmenyebut ada tujuh sebab kekerasan perempuan. Pertama, adanya pengaruh perkembangan budaya. Kondisi masyarakat yang kurang menghargai etika berpakaian rapi dan menutup aurat mendorong terciptanya kekerasan.
Kedua, berkembangnya gaya hidup dan pergaulan lawan jenis yang bebas. Sehingga hubungan tanpa batas yang tidak mengedepankan etika menyebabkan Seduktif rape. Ketiga, rendahnya pengamalan terhadap norma-norma keagamaan. Nilai agama semakin terkikis. Bersamaan dengan itu, pola-pola relasi horizontal semakin cendrung menafikan peran agama.
Keempat, rendahnya tingkat kontrol masyarakat. Berbagai prilaku yang dianggap menyimpang, melanggar hukum, norma kurang mendapat respon dan pengawasan ketat dari unsur-unsur masyarakat. Akhirnya, peluang untuk melakukan tindakan tak terpuji semakin mendapat ruang yang lebih luas.
 Kelima, adanya putusan Hakim yang kurang adil. Misal, putusan yang cukup ringan pada pelaku kekerasan. Putusan ini akan mendorong oknum-oknum lain untuk berbuat keji. Ketakutan akan sangsi hokum akan berkurang sebab ringannya sangsi yang diterima.
Keenam, ke-tidak-mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu. Nafsu dibiarkan mengembara dan menuntut untuk dicarikan kompensasi pemuasnya. Ketujuh,  tingginya keinginan untuk melampiaskan balas dendam terhadap sikap, ucapan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.
          Disisi lain, Stigma lemah bagi perempuan dibanding lelaki, tak pelak, juga mendorong timbulnya kekerasan. Seorang lelaki yang enggan mengindahkan tata nilai dan norma merasa memiliki kekuasaan untuk mewujudkan hasrat yang tengah membara. Akhirnya, pemaksaan menjadi terobosan utama ketika negosiasi gagal diwujudkan. Sehingga, kekerasan pun terjadi.
Sebenarnya ihwal kekerasan ini merupakan fenomena klasik. Kita tentu masih ingat, betapa kaum perempuan pada masa jahiliyah disiksa, bahkan ada yang dikubur hidup-hidup. Datangnya islam di muka bumi tak lain untuk membela persamaan derajat dan penghormatan yang tinggi bagi kaum wanita.
Kini, islam telah menyebar dan mengisi seluruh peradaban manusia. Maka satu konsekuensi yang seharusnya terjadi adalah enyahnya insiden-insiden dari kehidupan manusia. Apa lagi jika ditambah dengan semakin gencar  pembelaan terhadap perempuan yang digadang oleh berbagai pihak semisal Komnas Perempuan dan gerakan Feminisme. Kekerasan seharusnya telah menjadi sebuah history yang telah berlalu.
Namun, fakta dilapangan mempertontonkan, gencarnya pemebelaan itu berbanding lurus dengan kekerasan yang terjadi. Bahkan peran lembaga-lembaga itu nahas, tak membuahkan hasil yang maksimal. Kurva peningkatan kekerasan yang terjadi setiap tahun menjadi bukti kongkrit kurang maksimalnya fungsi lembaga anti kekerasan.
Data Legal Resourses Center Keadilan Jender dan HAM (LRC KJHM) menyebutkankekerasan terhadap kaum wanita khususnyajawa tengah, periode 2010-2011, meningkat. Pada tahun 2010 kekerasan berjumlah 1.118 kasus, dan meningkat menjadi 1.280 kasus pada tahun 2011, 40 diantaranya meninggal. Selama periode Januari-Februari 2012 tercatat 322 kasus kekerasan (SM 09/03/2012).
Sementara, Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2011 yang tersebar di 33 provinsi menyebut ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2011. Jika diurai kekerasan yang terjadi 95.62 % terjadi di ranah domestik, 4,35% terjadi diranah publik dan 0,03% di ranah negara. Dalam ranah usia, rata rata mereka berumur 25-40 tahun. Sebanyak 87 kasus dialami perempuan dengan orientasi seksual, 4.335 kasus adalah kekerasan seksual diantaranya kekerasan diruang publik seperti pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual prostitusi dan pornografi yang berjumlah 2.937 kasus.

Terobosan Baru
 Seluruh masyarakat tentu menyadari betapa kondisi kaum hawa laiknya hewan piaraan yang di perlakukan secara tidak bebas dan dimanfaatkan bila diperlukan. Ibarat kata pepatah, “habis manis, sepah dibuang”. Bahkan sebagian mereka terus di intimidasi agar tak mau mengungkit apa yang terjadi pada pihak yang berwajib.
Jelas bahwa kekerasan terhadap kaum wanita merupakan tindak kriminal dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Amanat Undang-undang juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kenyamanan dan perlindungan hukum. Implikasinya, upaya perlidungan terhadap kaum perempuan itu, secara institusional mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah.
Saatnya pihak pemerintah menemukan trobosan baru sebagai langkah antisipatif meminimalisir kekerasan yang makin mengemuka belakangan ini. Lembaga anti kekerasan yang dibuat pemerintah bukan sekedar menerima laporan kemudian mengkalkulasi angka kekerasan yang terjadi setiap tahun. Berbenah diri dengan melakukan evaluasi secara continue mutlak diperlukan. Bahkan mereka dituntut terjun langsung dalam menindak lanjuti insiden buruk yang menimpa kaum hawa.
Bersamaan dengan itu juga, kaum perempuan harus berani bangkit, menolak kekerasan itu. Dalam bahasa Imminarti Fuad, Asdep perlindungan korban perdangan orang, perempuan harus “zoro tolerance” terhadap perlakuan kekerasan. Peringatan hari karti beberapa waktu lalu seharusnya menjadi sebuah iklim bahwa perempuan juga punya daya yang lebih disbanding kaum lelaki. Bukan sekedar rutinitas tahunan yang tidak memiliki efek berarti.
Selain itu, kesadaran masyarakat, khususnya kaum lelaki juga menjadi poin penting ihwal ini. Perlindungan terhadap perempuan adalah keniscayaan yang harus ditegakkan. Perempuan adalah perhiasan dunia yang harus dihargai, dilindungi dan dijunjung tinggi harkat dan martabatnya. Bukankah kita semua keluar dari “lubang” perempuan!

Miftahul Arifin, Pegiat Diros Putaka dan Peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.