Kamis, 19 Juli 2012


Islam dan Utopia Negara Ideal

Judul Buku                    : Ideologi Islam dan Utopia
Penulis                 : Luthfi Assyaukani
Penerbit               : Freedoom Institute
Cetakan                : Agustus 2011
Tebal                    : Cover + 330 halaman
Harga                  : 75.000

Modernisasi sebagai akibat dari globalisi telah memengaruhi seluruh lini kehidupan. Tak terkecuali pola pikir seseorang. Alih-alih pengetahuan mendalam mampu membendung “doktrin” yang tanpa sadar ditawarkan. Sebaliknya, ia justru menjadi pondasi dalam menguatkan argumen logis yang tampil dipermukaan.
Banyak muslim Indonesia pada tahun 1930-an menolak gagasan nasionalis, tapi 10 tahun kemudian menerimanya. Sementara pada tahun 1950-an dari mereka banyak menuntut pendirian negara islam, namun 20 tahun kemudian mereka menolaknya. Selanjutnya, pada tahun 1970-an dengan keras mereka menolak skularisme, namun 30 tahun kemudian mulai menerimanya. Dapat ditemui pula pada masa ini semakin banyak kelompok muslim yang terbuka dengan berbagai konsep seperti demokrasi, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia.
Fakta lain sikap religius-politik muslim di indonesia dari masa ke masa pasca kemerdekaan dapat ditilik dari hasil pemilihan umum yang telah berlangsung pada tahun 1955, 1999, 2004, 2009. Dalam perspektif historis, muslim indonesia secara politik menjadi lebih pragmatis dan rasional. Jelas, tiga pemilu terakhir politik islam gagal memperbaiki rapor yang mencapai 43% pada pemilu pertama. Dalam pemulit selanjutnya, partai-partai islam hanya meraih suara kurang dari 20% dari total suara yang diperebutkan.
Secara politis, kekalahan politik tersebut memang tidak lepas dari pengaruh politik yang dimainkan oleh rezim Soeharto yang cukup represif dalam memimpin. Luthfi Assyaukanie menyebutkan adanya pengaruh besar intelektual muslim Indonesia yang secara perlahan mulai menyerap dan menerima modernitas sebagai bagian dari runutan hidup yang tidak dapat dihindari. Argumen-argumen Islam yang dikembangkan oleh forum-forum intelektual, publikasi-publikasi,dan lingkungan akademis memainkan peran cukup besar. Argumen mengenai isu politik akan tersingkir bila argumen baru muncul dan dianggap lebih cocok dan logis. Benar apa yang dikatakan Neta Crawford bahwa argumen adalah komponen nyata dalam perubahan sosial dan politik yang perannya sama penting dengan kekuatan meliter.
Buku Ideologi Islam dan Utopiaini dengan rinci memaparkan tiga bentuk negara demokrasi yang dinilai cukup representatif untuk mewakili corak pemikiran intelektual muslim Indonesia pasca kemerdekaan hingga sekarang dalam mengkonstruk ideologi Indonesia ke dalam tiga perkara, yakni: Negara Demokrasi Islam, Negara Demokrasi Agama, dan Negara Demokrasi liberal.
Pertama, Negara Demokrasi Islam. Upaya pendirian Negara Demokrasi Islam berawal dari keputusan kontoversial PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Idonesia) yang menghapus formula-formula Islam. Keputusan tersebut memicu muslim Indonesia untuk mewujudkan model politik islam yang dianggap mulia. Mereka meyakini demokrasi tidak berbeda dengan rumusan islam tentang negara. Mekipun demokrasi dalam makna modern tidak akan pernah ditemui dalam tradisi islam klasik, pada hakikatnya, merupakan salah satu pilar dari empat dasar negara islam disamping kewajiban (amanah), keadilan dan ketuhanan. Inilah sekilas tawaran yang dinilai cukup layak menjadi daya jual konsep-konsep yang diusung model pertama.
Kedua, Negara Demokrasi Agama. Dalam Negara Demokrasi Agama, model pemikiran terlihat semakin terbuka dan mulai menerima prodak yang ditawarkan era modern. Mereka mulai menghilangkan sifat curiga terhadap agama lain dan lebih bertekat menjalani hidup yang baru dengan menerima pemikiran liberal agama dalam masyarakat yang multireligius. Banyaknya kalangan santri yang melanjutkan pendidikan di universitas barat mungkin menjadi faktor utama ihwal tersebut. Di dalam keadaan seperti ini, banyak pula generasi baru muslim yang kurang menaruh perhatian terhadap isu-isu lama, tentang perpecahan antara Ortodoksi dan Modernisme atau tentang kesulitan hidup dalam sebuah masyarakat yang beragam (hal. 127).
Model yang banyak disokong pemimpin muslim yang bekerja sama dengan Soeharto ini mempunyai dasar pijak: penerimaan terhadap Pancasila. Keprihatinan Soeharto mengkonsolidasikan unsur-unsur kebangsaan yang terfragmen secara ideologis menjadi alasan utama penerimaan pancasila. Dengan pancasila, mereka meyakini bahwa masyarakat akan menjadi “religius” sebab dalam pancasila mengandung seluruh aspirasi rakyat. Namun, walaupun diakui tidak lepas dari kepentingan pragmatis Soeharto. Model ini adalah bagian konstruksi teoritis oleh Muslim berdasarkan relitas yang mereka hadapi.
Ketiga, Negara Demokrasi Liberal. Model ini berangkat dari fondasi sosiologis bahwa Indosesia adalah negeri pluralis, sehingga upaya untuk menciptakan integeritas sosial haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip pluralisme(hal. 181). Robet Nozick, pemikir gagasan negara minimal dalam filsafat politik barat percaya bahwa semakin sedikit campur negara dalam urusan masyarakat, semakin baik pula fungsi negara itu. Barangkali karena alasan inilah, pendukung model ini mengkritik posisi hegemonik negara terhadap aktivitas religius masyarakat dan secara radikal mencoba menghadirkan format hubungan agama dan negara.
Lahirnya model ini merupakan respon terhadap berbagai problematika ihwal hubungan agama dan negara yang mengkritik posisi hegemonik negara atas aktivitas religius masyarakat yang yang ada pada model perma dan kedua. Liberalisme ini dipelopori oleh beberapa pemikir islam seperti Nurcholis Madjid (1939-2005) dan Johan Efendi.
Menurut Luthfi Assyaukani, sejarah pemikian politik Islam di Indonesia adalah sejarah modernisasi dan kemajuan. Terbukti, lahirnya pemikiran liberal seperti pada model terakhir. Perubahan pemikiran tersebut mencerminkan kegelisahan muslim indonesia akan tergencatnya doktrin agama dalam masyarakat multireligius, sehingga mau tidak mau harus membentuk sistem politik islam yang selaras dengan perkembangan masa kini. Dengan kata lain, muslim di Indonesia mulai merindukan pemerintahaan ideal yang anti kekerasan.
Hanya saja dalam bab terakhir buku ini Lutfi menyayangkan, banyak studi tentang pemikiran Islam di Indoseia sangat menekankan ideologi politik tanpa pertimbangan cukup terhadap peran utopia. Berbagai argumen dan gagasan besar seperti demokrasi, pluralisme, dan liberalisme tidak bisa dipahami dengan tepat tanpa pengkajian konseptualisasi muslim akan pemerintahan. Inilah kritik dosen Filsafat politik Universitas Paramadina ini tehadap pemikiran muslim Indonsia dalam upaya membangun Ideologi negara. Akhirnya, negara ideal tak lebih sekedar bayang-bayang semu yang tidak mungkin terwujud, alias utopia belaka.

Miftahul Arifin, Peneliti Idea Studuies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang (Februari 2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar