Kamis, 19 Juli 2012

Guru “Profesional” dalam Pendidikan Anti Korupsi


Oleh Miftahu Arifin
Google Photo
Lembaga pendidikan dipandang sebagai “lahan” strategis untuk mencegah lakon-lakon korupsi di masa mendatang. Apalagi setelah melihat Lembaga Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) belum mampu menghentikan prilaku korup elit pemerintah yang semakin lahap memakan uang rakyat. Dengan adanya pendidikan anti korupsi disekolah, siswa akan paham ihwal keburukan korupsi, dampaknya bagi masyarakat dan bagaimana cara menghindarinya. Disinilah, melalui pendidikan moral, prilaku siswa juga akan ditata dengan baik.
          Kebijakan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menambah kurikulum pendidikan anti korupsi di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia merupakan langkah preventif agar korupsi tidak terus “Menggenerasi”. Meskipun pada dasarnya belum ada jaminan yang pasti bahwa korupsi akan berhenti setelah adanya Pendidikan Anti Korupsi tersebut. Ditambah dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang, hingga kini, belum tertata dengan baik.
Disatu sisi perlu kita ingat cara-cara yang telah ditempuh pemerintah dalam memberantas korupsi. Misal, melaui pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seiring berjalannya lembaga tersebut banyak sekali menorehkan dinamika-dinamika didalamya. Disamping prestasi telah diraih semisal pengungkapan kasus dirjen pajak, Gayus Tambunan dan Nazaruddin, kasus korupsi pembangunan wisma Atlet Sea Games, lembaga yang berdiri sejak tahun 2006 tersebut juga menorehkan “Benang Kusut” bagi masyarakat. Masih melekat dibenak publik kasus Antasari azhar, mantan ketua KPK yang tersandung praktik  pembunuhan atas Nasiruddin Dzulkarnain, direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Belum lagi kasus-kasus internal KPK yang, kini, belum terselesaikan.
Yang ingin penulis tegaskan di sini, bahwa beragam upaya yang digadang pemerintah untuk menumpas praktik korupsi, tak bisa dimungkiri akan menghadapi harang lintang. Jika kurang waspada, bisa saja dana yang akan dikucurkan untuk Pendidikan Anti Korupsi, menjadi lahan empuk para koruptor yang justru menambah kerugian Negara.
          Oleh karena itu, butuh persiapan matang agar kebijakan tersebut terealisasi dengan baik. Mulai sistem kerja, cara kelola, pengajaran hingga sarana yang diperlukan. Secara praktis, Kesiapan tenaga pengajar yang “profesional” menjadi indikator keberhasilan dalam proses pembelajaran ini.
Jika dicermati, kegagalan pendidikan selama ini, di satu sisi, memang disebabkan oleh kesalahan sistem. Banyak kreatifitas siswa tak dapat berkembang sebab tersandung kurikulum yang mengekang di sekolah. Tak pelak, sebagian mereka yang memiliki intelektualitas tinggi namun memilih mengembangkannya di luar negeri, merupakan salah satu bukti kongkrit ihwal tersebut.
 Diperparah dengan munculnya guru abal-abal, karbitan yang tak memiliki karakter pendidik. Harus diakui, sebagian mereka, mereka hanya mengejar materi (baca: uang) dalam mengajar. Sebaliknya, bukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDA) generasi muda.

Profesionalitas Guru
Sejatinya tugas guru tak cukup hanya transfer pengetahuan dan rekomendasi tugas bagi siswa. Profesionalitas dalam mengajar menjadi hal utama. Inilah tugas pemerintah selanjutnya.
Guru professional, menurut penulis, setidaknya harus memenuhi beberapa hal: pertama, guru harus membuat siswa bisa nyaman. Mereka memiliki cara khusus agar siswa tidak bosan dan dapat menikmati materi di kelas dengan baik.
Kedua, dapat menyampaikan materi dengan baik, yakni dapat memuaskan siswa. Disini, mau tidak mau, seorang guru harus menguasai materi yang disampaikan.
Ketiga, faham perkembangan ilmu pengetahuan. Wawasan siswa akan berkembang bila tidak hanya disuguhi teori dan pengetahuan klasik yang telah diulang berkali-kali.
Keempat, guru harus disiplin. Kelima, bisa menjadi teladan. Dalam kerata basa, guru berarti “digugu” dan “ditiru”.  Seorang guru harus bisa menjadi contoh yang baik bagi siswa. Ironis, jika guru mengajarkan mapel (mata pelajaran) anti korupsi, namun ia sendiri tersandung lakon korupsi. Contoh sederhana adalah korupsi waktu, alias tidak disiplin.
Training of Trainer (TOT) oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (dikti) merupakan salah satu progres untuk menigkatkan kualitas guru, khususnya dalam pendidikan anti korupsi. Program ini bertujuan mensosilisasikan program pendidikan anti korupsi kepada seluruh dosen di seluruh Indonesia. Dengan pemebekalan yang cukup kepada tenaga pengajar di indonesia diharapkan dapat memaksimalkan tugasnya dengan baik. Sehingga, apa yang kita harapkan dari pendidikan anti korupsi, yang sudah di ambang mata ini, menuai hasil yang diharapkan.
Tentu kita semua berharap, upaya untuk mencegah dan menciptakan budaya “anti” terhadap korupsi tidak hanya sebuah utopia, alias bayang-bayang semu. Semoga tidak. Wallahu a’lam.

Miftahul Arifin, Peneliti Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar