Rabu, 11 Juli 2012

KAMPUS PENCETAK MENTAL "TIKUS" ?



Oleh Miftahul Arifin
Dimuat Di Koran Wawasan (30/05/2012)

“Koruptor adalah orang-orang pintar. Mereka juga bisa dari anggota ICMI, anggota HMI, lulusan UI, UGM, dan lainnya. Tidak ada orang bodoh” demikian kontroversial marzuki Alie sontak mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Salah satu kecaman itu datang dari Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan (Liputan6.com /09/05/12). Menurutnya, dalam sejarah keberadaan perguruan tinggi di indonesia, tidak ada satupun yang mengajarkan korupsi. Praktik korupsi yang terjadi di lingkungan pemerintahan justru disebabkan oleh sisitem Negara yang amburadul dan lemahnya penegakan hukum. Ia menilai, Marzuki Alie terlalu menyederhanakan masalah karena jauh dari hakikat persoalan. Dalam bahasa Donny Gahral (Beritasatu.com), Marzuki Alie sedang mengalami kemacetan berpikir.

Sindiran

Jika alasan Syahganda benar, kita harus mencari tahu penyebab kemacetan berfikir yang tengah dialami oleh Marzuki Alie. Tidak menutup kemungkinan kemacetan berfikir yang disematkan Donny Gahral itu disebabkan oleh satu hal yang sangat prinsipil yang menganggu psikologis Ketua DPR itu. Sebab, tidak mungkin, orang berpendidikan tinggi seperti Marzuki Alie dapat melontarkan sebuah peryataan kontroversial jika tanpa alasan tertentu.
Bahkan, boleh jadi, Marzuki Alie tau pasti bahwa orang yang selama ini sering terlibat lakon korupsi memang berasal dari perguruan tinggi yang pernah ia disebut. Namun, karena bukti yang kurang kuat, sehingga ia tidak punya nyali berhadapan dengan hukum. Apa lagi jika melihat realitas hukum di Indonesia jauh dari kesalehan sosial; jauh dari keadilan yang sebenarnya. Akhirnya, sindiran lah yang dianggap ikhtiar paling aman oleh Marzuki Alie untuk mengungkap kegelisahannya itu.
Kalau kita cermati pernyataan Marzuki Alie di atas, sesungguhnya ia tidak memberikan spesialisasi bahwa lulusan perguruan tinggi tertentu telah mencetak koruptor. Ia hanya memberikan sampel bahwa tidak menutup kemungkinan para koruptor berasal perguruan tinggi tertentu. Hal ini juga disampaikan oleh Marzuki Alie sendiri ketika dimintai kejelasan atas ucapannya (Beritasatu.com/07/05/12). Bertitik tolak dari hal tesebut, semakin memberi kesan bahwa marzuki Ali hendak menyindir aparat pemerintah yang tak pernah jera mengkorup uang Negara.
Diakui atau tidak, memang korupsi sudah mengakar dan mewarnai seluruh lapisan masyarakat dan menjadi masalah kronis yang amat sulit untuk diatasi. Sepintas, seandainya masyarakat boleh memilih masa, dimana, ia dapat hidup di satu sistem pemerintahan, mungkin ia akan lebih senang jika hidup pada masa orde baru. Sistem pemerintahan sentralistik yang dianut oleh presiden Soeharto telah menutup celah berkembangnya korupsi secara “berlapis”. Tidak heran ketika dilakukan jajak pendapat mengenai pemerintahan SBY dan Soeharto, masyarakat lebih memihak pada pemerintahan Soeharto.
Namun, meskipun masalah korupsi ketika pemerintahan “Orde Baru” tidak se-kronis era reformasi saat ini, tidak berarti kita harus kembali merindukan pemerintahan “Orde Baru”. Biar bagaimanapun, korupsi tetaplah korupsi, kejahatan yang mesti di berantas secara radikal (Radix, bahasa yunani, seakar-akarnya).
Dalam hal ini, sangat tepat bila memangkas akar korupsi tersebut melalui jalur pendidikan sebagai medium pembentuk karakter bangsa. Karena hanya bangsa yang berkarakter lah yang tidak akan bertindak “sakarepe dhewe”.
Pendidikan merupakan satu-satunya media yang cukup strategis untuk mengubah laku masyarakat dari satu sistem nilai ke sistem nilai yang lain. Dengan pendidikan masyarakat paham akan yang benar dan salah: yang harus dilakuan dan ditinggalkan. Undang-Undag No. 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya. Dalam kontek ini pendidikan harus mencetak orang-orang yang memiliki akhlak yang mulia. Bukan generasi yang memiliki mental maling, alias korupsi.
Sayangnya, pendidikan yang seharusnya mampu membentuk masyarakat yang berakhlak mulia itu, justru telah menciptakan tikus-tikus berdasi yang setiap hari nongkrong di kantor pemerintahan. Karena alasan inilah, Marzuki Alie yang secara transparan mengkritik Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Ia curiga, ada yang bermasalah dengan sistem pendidikan itu sendiri.
Kenyataan ini juga diakui oleh wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Busyro Moqaddas. Busyro mengatakan, perguruan tinggi di Indonesia telah banyak melahirkan ilmuwan pragmatis (Republika/10/05/12). "Kampus lebih banyak melahirkan ilmuwan tukang, yang akhirnya pragmatis," katanya.
Kampus yang sejatinya mengajarkan mahasiswa agar “anti” dan melawan terhadap korupsi, justru telah mencontohkan mahasiswa untuk berlaku korup. Sebagaimana kerap dilakukan oleh pihak kampus, misalnya pemotongan honor pegawai, honor dosen dan beasiswa mahasiswa. Atas dasar ini, penulis sepakat dengan Marzuki Alie bahwa korupsi juga tidak bisa lepas dari peran kampus sebagai medium pembentuk mentalitas mahasiswa.

Reformasi Sistem

Maju dan mundurnya negara ditentukan oleh peran besar mahasiswa sebagai penerus bangsa. Banyak hal yang dapat dilakukan mahasiswa untuk meningkatkan kualitas bangsa dan Negara Indonesia. Namun masalahnya, mahasiswa seringkali dikungkung dan dibingungkan oleh salah satu sistem. Terlebih, jika sistem tersebut justru menjadikan mahasiswa semakin terjebak dalam kebohongan. Fakta ini dapat kita lihat dalam sistem pengajuan proposal dana kegiatan, dimana, dana tidak akan mencairkan kecuali setelah Surat Pertanggung Jawaban (SPJ). Dari hal tersebut mahasiswa sering kali (walaupun dengan terpaksa) melakukan tindakan yang tidak semestinya, alias memanipulasi data. Inilah yang kemudian memunculkan benih-benih korupsi. Padahal, sistem yang telah mengakar dan mengurat itu telah diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Apa jadinya generasi bangsa jika hal ini dilakukan secara terus menerus hingga generasi mendatang?
Saat ini, agenda terpenting untuk menghanguskan dan mengubah benih mentalitas koruptor di civitas perguruan tinggi adalah melakukan reformasi sistem. Terutama sistem yang memberikan celah-celah untuk “berkorupsi”.
Reformasi sistem diperlukan untuk mensinergikan peran mahasiswa-pemerintah. Mahasiswa dan pemerintah adalah dua entitas yang berbeda namun memiliki tugas yang sama: menjadi agen yang mengusung cita-cita bangsa. Dari sini, pemerintah hendaknya memikirkan ulang kebijakan sistem pendidikan di Indonesia.
Dengan begitu, mahasiswa dapat berperan sesuai porsinya; dengan sepenuh hati memperjuangkan nasib rakyat melalui tindakan nyata.

Miftahul Arifin, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Penulis Adalah Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Sumenep Madura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar