Kamis, 30 Januari 2014

Imamah

Suara Sumenep: Imamah: Bila kuingat sore itu, tak ingin lagi kumendengar walau secarik riwayat tentangmu. Apa lagi untuk melihat atau menemuimu. Hari suka dengan ...

Suara Sumenep: Sesalku Pernah Memujamu

Suara Sumenep: Sesalku Pernah Memujamu: Google Photo. Sekali lagi, catatan ini aku buat untuk mengabadikan kisah hidup, melengkapi catatan harian. Untuk siapa saja, semoga menj...

Sabtu, 25 Januari 2014

Imamah

Bila kuingat sore itu, tak ingin lagi kumendengar walau secarik riwayat tentangmu. Apa lagi untuk melihat atau menemuimu. Hari suka dengan sebungkus luka, semua karena kumantabkan putusan untuk memilihmu. Lukaku makin memar ketika engkau pergi dengan janji yang telah engkau ingkari.

Google Photo.
Masih kuingat ketika sore itu kusaksikan bi Darsi menangis. Hatinya berduka karena aku akan benar-benar pergi. Ya, kabar kelulusan dalam tes seleksi masuk perguruan tinggi dua pekan yang lalu akan mengantarku ke kota seberang. Kubiarkan air tangis itu meleleh di mukanya yang mulai mengkerut. Aku tetap dengan keputusanku meski penolakan keras paman menyambangiku ketika kusampaikan niat rantauku, beberapa minggu setelah aku dipuncak pitam kemarahannya. Sudah lama kurindukan sebongkah kisah perantauan yang kerap diceritakan mas Toim, mas Muni dan sederet pemuda lain yang telah sukses di daerah manca.


Tak hanya bi Darsi. Salma, anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar pun ikut tersedu. Mukanya mengucur, kuyup, sekuyup mukaku ketika suatu hari paman jengkel dengan sikapku yang tak mau mendengar imbaunya. Mungkin saja ia menganggap kalau Madin, sepupunya ini, di usir atau akan hilang entah kemana.

Sementara kusaksikan paman tetap asyik dengan kreteknya, semakin mempertegas putusannya.

“Din, aku telah memberimu sebuah pilihan dan kukira kamu sudah tentukan pilihanmu sendiri. Itu artinya, kamu harus menanggung segala kosekuensi, kamu harus tetap di rumah seperti yang telah aku katakan sebelumnya. Kalau kamu tetap pergi, aku tak tanggung jawab lagi denganmu. Kau urus sendiri hidupmu.”kata paman di sebuah malam.

Paman berlalu. Suasana hening, menambah semakin jelas detak jantungku di ruang tamu malam itu. Tak kudengar lagi bunyi mesin jahit yang sedari tadi mendengus nyaring, mencampuri cakapku. Di balik tembok aku dapat merasakan kalau bi Darsi juga terdiam setelah mendengar cakap kami yang berakhir dengan keputusan mutlak paman. Entah benci atau senang bibi mendengar putusan yang tegas itu. Barangkali juga, ia sedang menyusun kalimat untuk menambah kepedihanku, menerkampu dengan keputusan yang lebih menyakitkan untuk diucapkan kepada ponakan kesayangannya.

Keputusanku bulat walau dada sebenarnya sesak karena dirundung kesalahan. Tepat pukul 16.00 aku lepas dari keluarga dan kampung halaman. Hidup sendiri sembari mengadu nasib di daerah rantau.

***

Kabar bahagia kelulusan sepertinya enyah begitu saja. Mengingat wajah bi Darsi yang sayu, ditambah murka paman yang mungkin sekarang ia telah mengutukku lantaran aku tidak nurut dan bisanya hanya membantah.

Paman marah besar. Baru kali pertama kudengar ultimatum itu langsung dari lebam bibirnya. Bibi yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menangis karena aku tetap memilih untuk pergi ketika paman di puncak kemarahan. Lagi pula, kepergianku untuk mengkulak pengetahuan dan pengalaman. Bukan yang lain. “Apalah artinya lulus jika kubiarkan mengkarang”pikirku

Sepanjang perjalanan sebongkah demi sebongkah perjalanan hidup masih lekat dipikirku. Beragam peristiwa yang menyayat mencampuri hidup yang sebatangkara. Mulai dari kepergian emak hingga akhirnya bapak minggat dengan istri barunya dan menitipkanku kepada saudara perempuannya. Seorang paman yang semula menimangku sebagai ponakan kesayangan berubah sikap lantaran dosa yang kuperbuat.

Laju kencang bus “Indonesia” setelah 15 menit meninggalkan sebuah terminal, membuat desir angin begitu keras membentur kaca, menerobos, memasuki lubang-lubang kecil, meraba wajahku dan beberapa penumpang lain yang sudah mulai terlelap.  Lampu remang menambah suasana semakin mencekam, menambah luka semakin dalam. Aku yang duduk di kursi barisan ketiga dari depan sampai kini tak kuasa memejamkan kelopak. Kantukku hilang seperti telah terlelap berbulan-bulan.

Sesekali terdengar percakapan kecil sopir dan kondektur di bagian depan. Entah apa yang mereka cakapkan. sempat terlintas dipikiranku, berharap pembahasan mereka adalah tentang rasa kecewa dan kesedihan dengan harapan ketika sampai puncak klimak pak sopir kehilangan konsentrasi. Lalu, bis yang dikendalikan menabrak pohon atau jatuh ke jurang. Dengan begitu, kepedihanku akan pergi bersama azroil ketika mencabut nyawaku.

Imamah, tunanganku. Wanita itu masih lekat dibenakku. Wanita desa sebelah yang jangkung. Postur tinggi dengan rambut di atas bahu. Mukanya memanjang dengan alis tebal diatas kelopak matanya yang tajam. Ia lebih persis dengan laki-laki. Maka tak heran kalau orang-orang sering menyebutnya si tomboy. Pakaian Imamah pun tak seperti perempuan kebanyakan. Baru sebulan kami bertungan.

Aku suka Imamah sejak aku masih di sekolah menengah pertama. Namun, bukan karena ia tomboy. Aku melihat, dibalik ketomboyan Imamah ternyata ia lebih feminis dari sosok wanita yang pernah kukenal. Ia tak seperti wanita lain di kampungnya yang hanya mengobral janji. Tak sedikit orang memperebutkan Imamah, namun tak segan-segan ia menolaknya. Peristiwa serupa bukan kali pertama ia lakukan. Berkali-kali ia ingin dipinang, berkali-kali pula ia hadapi dengan tanpa kata kecuali penolakan.

Sebagian orang ada yang sampai heran dan tak segan-segan mengecapnya dengan perempuan tak baik. “memang siapa dia, anak bupati ya bukan. Kalau sudah jadi perawan tua baru tau rasa dia” celetuk yang lain.

Aku yang faham Imamah, hanya tersenyum mendengar deretan kalimat yang keluar dari bibir tetangganya itu. Aku tahu kalau penolakan Imamah bukan sebab ia tak mau disunting. Bukan ia tak mau dengan hidup bergelimang harta, karena konon salah seorang yang ingin melamarnya itu adalah saudagar kaya.

Semua karena aku. ya, Ia tak ingin mengingkari janji. Tepatnya, janji kami berdua. Aku pun demikian.

Suatu hari, rahasia kami terbongkar. Aku didesak keluarganya untuk meminangnya, lantaran orang tuanya sudah tak sanggup menahan malu. Malu karena pembicaraan tetangga. Itulah kebiasaan orang-orang di desa kami. Mereka lebih gampang mengurus orang lain dari pada urusan sendiri.

***

Jarum jam menunjuk angka satu lebih 10 menit. Bus masih dalam kencang. Aku tak ingat sudah berapa kali ia melewati tikungan, sampai di kota mana ia membawaku. Tapi yang jelas, aku akan sampai sebelum fajar meninggi. Aku tidak khawatir tersesat karena aku akan turun di pos terakhir dimana bus ini akan berhenti.

Kulihat beberapa penumpang di belakang telah terbangun.  Tapi sejauh ini, kantukku belum juga datang. Masalah tumpang tindih menerpa pikirku.

Terus terngiang di benakku mengapa paman marah dan tak memberiku ijin untuk pergi. Ini terkait erat dengan si tomboy Imamah. Penawaran dilematis, antara mempertaruhkan kisah rantau untuk memilih Imamah atau meninggalkannya.

“Kalau kamu ingin merantau, kau tinggalkan si Imamah. Kalau tidak maka kamu tak boleh pergi. Kamu tetap disini”kata paman ketika kuajukan permohonan setelah beberapa kali menerima desakan dari keluarga Imamah.

Sebuah pilihan yang aku sangat sulit untuk menentukannya. Tidak sebentar aku telah mengharapkan Imamah untuk menjadikannya sebagai kekasih. Sementara cerita-cerita tentang dunia rantau masih lekat dalam mimpi yang harus diwujudkan. Apa pun caranya aku harus mendapatkan keduanya. Pikirku.

Tak berselang lama, bantuan pemerintah melalui program beasiswa rupanya menjadi jawaban, mengantarkanku pada apa yang kuharapkan setelah sebelumnya kuputuskan memilih Imamah. Tak pernah terfikir kalau paman akan tetap bersikukuh melarang kepergianku.

Di daerah rantau banyak sekali wanita cantik dan seksi. Sifatnya pun beraneka ragam. Ada yang baik ada pula yang kurang baik. Banyak dari tetanggaku yang tak kembali ke desa lantaran sudah terpikat dengan gadis manca. Setelah mereka sukses dan punya penghasilan yang mapan, mereka menetap dan berkeluarga di sana. Mereka lupa sanak kerabatnya yang ada di desa.

Paman melarangku pergi lantaran aku takut mempermalukan keluarga.  Setelah aku sukses, dikira aku akan meninggalkan Imamah dan memilih hidup dengan gadis lain di perantauan.

***

“Kapan aku akan mendengar lagi suaramu, candamu, tawamu dan kebersamaan kita” kata mu, beberapa pekan menjelang kepergianku. Kulihat matamu merah masam. Mendung di atas ufuk menambah redup rupamu di senja itu.

“jangan khawatir”jawabku.

Aku mencoba menenangkanmu. Kuraih kedua jemarimu. Kulihat butiran air di pipimu yang ranum ketika kutatap wajahmu untuk kuyakinkan. Padamu kukatakan:

“Imamah, Aku pergi untuk sementara waktu. Untukmu. Untuk kita.  Pada saatnya nanti, aku akan kembali. Kita akan menyatu kembali. Kita akan bangun sebuah keluarga bersama. Aku akan pulang untuk menjemputmu, membawamu kesebuah kehidupan yang bahagia dengan apa yang telah kuraih di luar sana”

Lalu, kau rebahkan kepalamu tepat di atas bahuku. Kuraih punggungmu. Kaupun juga. Kita dalam peluk yang sendu disaksikan kursi kayu dan sorakan burung dadali yang berhamburan ingin menyambut datangnya hujan. Kau dalam tangis hingga membuat bajuku basah kuyup.

Kau melepas peluk, kutatap lagi wajahmu. Kupegangi pundakmu. Dalam-dalam kau juga melempar pandang tepat di mataku.

“aku janji, sayang,,,”kumantabkan kata itu berkali-kali. Kau mengangguk yakin walau tangis masih menetes dari matamu.

Sore itu adalah air mata terakhir yang kuingat dari matamu setelah dua tahun aku diperantauan ini. Air mata pengharapan sekaligus pesan kesetiaan. Tak pernah kubayangkan sebelumnya akan menjadi air mata kemunafikan. Keyakinan seperti aku yang ingin meyakinkanmu bersabar atas kepulanganku, seketika, menjelma penyesalan. Baru saja kudengar, secara sepihak kau telah memutus hubungan dan memilih hidup dengan lelaki pilihan orang tuamu”


Semarang, Maret 2013

Cerpen Imamah. Terbit di majalah IDEA edisi 34, Latah Musik Indonesia 2013

Sesalku Pernah Memujamu

Google Photo.
Sekali lagi, catatan ini aku buat untuk mengabadikan kisah hidup, melengkapi catatan harian. Untuk siapa saja, semoga menjadi hiburan, pengatar tidur, atau pelajaran bahkan mungkin kita punya kisah yang sama sehingga kita bisa merasakan duka ini bersama. Walaupun mungkin dengan masa yang berbeda, luka hati tetaplah akan selalu diingat sepanjang kita masih hidup walau sekadar menjadi bagian sejarah yang telah berlalu.

Menyesal, engkau pernah penjadi orang yang aku puja. Malam itu adalah malam kenangan walau tidak sarat dengan makna yang berarti. Pertama dan terakhir kali. Langkah pastiku terhenti dan terputus begitu saja tanpa selembar pesan walau sekadar ucapan terima kasih. Sebaliknya, justru kau tinggalkan kebencian yang aku lihat pada sebuah pesan dari hari ke hari ketika aku mengabarimu.

Menyesal pula malam itu bunga aku berikan walau sejatinya hanya kebetulan, karena aku ingin berbagi untuk orang di luar agama kita, jika itu menjadi petaka yang telah merusak hubungan kita sebagai parter kerja.

Dari hari ke hari setelah malam itu, engkau seperti orang asing yang menganggapku hanya sebagai manusia tak ‘berguna’. Beberapa kabar yang aku sampaikan menjadi belenggu bagimu, yang membuatku enggan mendapatimu dalam suasana apapun.

Aku selalu berfikir dan berusaha memperbaiki komunikasi dari awal seperti kita baru kenal dan tak ada kecurigaan dari setiap komunikasi yang kita lakukan. Kita adalah tim yang tak seharusnya menyimpan ‘dendam’.

Namun, aku melihatmu tak menyukainya. Dan kecurigaan masih engkau rasakan. Kulihat itu dalam komunikasi kita yang terakhir melaui pesan singkat.

Nisa, kamu sudah pulang?

Memang kenapa?

Tidak apa-apa,” jawabku. “Oh ya, bukumu masih ada di aku ya? kemaren-kemaren aku ingin mengembalikannya tapi kamu bilangnya santai saja. Akhirnya aku jadi lalai, maaf,” lanjutku.

Kamu taruh saja di Amanat!” Jawabmu.

Benar, engkau pulang kerumahmu di daerah Cirebon. Tapi, dalam waktu dekat engkau akan kembali. Mungkin ada hal penting yang perlu kamu lakukan.

Oh, begitu. Padahal dari kontrakanku lebih dekat dengan kontrakanmu dari pada ke Amanat. Kenapa kamu menyuruh menitipkannya di Amanat. Apa tidak saya kembalikan langsung ke kontrakanmu?” jawabku. “Sepertinya kamu takut ketemu aku lagi? santai bro, santai, hehe” tambahku.

Aku ingin membuka suasana. Bercakap seperti dan bercanda seperti biasa dari teman ke teman. Sudah beberapa minggu kita tak bertemu dan sepertinya bukan ketidaksengajaan. Kuharap pertanyaanku engkau jawab dengan terbuka dan penuh candaan pula.

Nanti aku tak bilang ke mbak kosku. Mau dikembalikan kapan?” jawabmu tanpa ekspresi sedikitpun. Nada kebencin semakin jelas aku merasakannya.

Sore,” jawabku singkat.

Ok!” jawabmu

Tibalah sore itu tanpa kabar lagi darimu. Kudatangi kontrakanmu di sebuah perumahan. Kuberikan buku itu kepada salah seorang temanmu yang aku tak mengenalnya.

Buku itu telah aku pinjam beberapa bulan yang lalu. Beberapa kali aku bermaksud mengembalikanya. Telah kutanya, engkau ada dimana saat itu, kapan kembali ke kos saat itu. “Aku ingin mengembalikan buku!” kataku.

Santai saja,” katamu.

***

Setelah malam itu, kita memang tidak pernah bertemu kecuali beberapa kali dalam acara kumpul bersama di di kantor Amanat, kantor Pers Mahasiswa di kampus kita kuliah. Di sana, aku hanya melihatmu. Kita tanpa cakap. Setelah itu engkau pergi.

Beberapa kali aku pernah mengajakmu ke suatu acara. Beberapa kali itu engkau tak mau dengan beragam alasan. Tiga kali kau menolak ajakan dan setelah itu aku tak lagi mengajakmu. Bahkan kuhentikan basa-basi melalui pesan singkat denganmu. Balasan tanpa ekspresi yang kugambarkan sebuah kebencian menyadarkanku untuk tak lagi menghubungimu.

Engkau yang ingin dekati lebih intim, ternyata engkau tak menyukainya. Aku telah pergi dari kehidupan ‘memuja’mu.  

Semarang, 20 Januari 2014

Kamis, 02 Januari 2014

Terima Kasih Tuhan, Engkau Masih Izinkan Aku Menyaksikan Siangmu Hari Ini

Kalau teringat peristiwa semalam, (lihat di sini )aku tidak bisa membayangkan akan melihat matahari hari ini. Dalam keadaan tidak siap, tanpa senjata, di kanan kiri tak ada benda untuk dijadikan alat perlwanan tiba dua orang itu mengeluarkan golok dan menyabetku.

Secara logika, mungkin aku, Hasan dan temanku si Badrun sudah tidak ada yang selamat, alias terluka. Atau paling tidak salah seorang diantara kami. Karena pada saat itu kami tidak melakukan perlawanan kecuali aku masih bersikeras mempertahankan handpond yang ada ditangan. Dua orang itu kemudian satu kali melempar sabetan ke tubuhku dan beberapa kali ke tubuh hasan. Setelah itu kami berlari sekencang-kencangnya bermaksud meminta pertolongan kepada orang-orang.
 "Dengan bercerita setidaknya orang lain tahu bahwa kami mengalami keadaan tragis yang telah mengancam hidup kami"

Puji syukur kepada tuhan yang telah mengatur segalanya sehingga sampai hari ini, aku masih diberi kesempatan untuk menghirup udara, melihat matahari, menulis catatan ini, berjalan dan ngobrol kesana kemari dan lain sebagainya. Terima kasih tuhan, terima kasih ya Allah. Hanya engkau penolong kami yang dapat menjadikan hidup kami lebih lama atau sebentar lagi.

Di balik cerita

Siapapun yang mengalami kejadian yang serupa mestilah ia memiliki ghiroh untuk menceritakan kejadian itu kepada orang lain. Kita akan bersemangat untuk bercerita karena baru saja kita mengalami hal-hal yang bersifat tragis, menakutkan, mengerikan, dan bisa juga disebut di luar nalar bahwa ternyata kita masih selamat. Tanpa cerita, maka sedikitnya hanya akan menambah beban. Kepanikan membuat otak kita penuh dan sulit untuk memikirkan yang lain. 

Dengan bercerita setidaknya orang lain tahu bahwa kami mengalami keadaan tragis yang telah mengancam hidup kami. Bagi kami, ada perasaan tersendiri yang membuat kami lebih nyaman dan lebih tenang setelah bercerita kepada orang. Bagi orang lain, mungkin saja, bisa jadi dan semoga saja menjadi perhatian untuk berhati-hati dalam segala hal, bahwa sejatinya maut setiap saat mengintai kita.

Namun, begitulah realita sosial. Tidak semua cerita kita mendapat respon positif walau tidak sampai pada respon negatif dari pendengar cerita kita. Ada yang mendengar dengan penuh perasaan, ada yang seolah peduli dengan melempar pertanyaan dan ada pula yang biasa biasa saja. Ada lagi yang menganggap remeh seolah tanpa sedikitpun kepedulian muncul dalam dirinya. Bahkan, ada yang menyambut cerita kami dengan melempar ejek bahwa apa yang kami alami kurang mengagetkan karena kami masih dalam keadaan selamat.

Tidak semua orang, memang, memiliki perasaan yang sama. Orang yang saya sebutkan terakhir biasanya baru merasa sendiri ketika kejadian itu menimpa dirinya.  Secara teoritis saya kurang tahu ini, apa teori ini dalam bahasan psikologi. Yang jelas-tipe kepribadian manusia mungkin juga ada kaitannya dengan pembahsan ini.

Akhirnya, saya hanya bisa mengatakan bahwa hidup ini complicated. Di balik kesedihan ada kesedihan, dibalik kebahagiaan ada kebahagiaan dan dibalik kejadian ada nilai dan pelajaran yang bisa diambil. Kesadaran adalah kunci utama, agar setiap detik dari hidup ini selalu ada perbaikan dari detik-detik sebelumnya. 

Semarang, 03 Januari 2014

Tragedi Perampokan di Depan BPI



Google doc.
Satu pengalaman pertama kali bagi saya. Catatan ini aku tulis untuk mengabadikan kisah hidup dan semoga menjadi pelajaran untuk berhati-hati bagi saya dan orang lain yang membaca catatan ini.
Tepatnya malam jumat, (02/01/2013), sekitar pukul 23.00 WIB, dari seberang jalan samping kiri gerbang kampus 2 IAIN Walisongo semarang dua orang pemuda yang tidak dikenal tiba-tiba mendatangi saya. Dua orang dengan motornya menunggu di seberang jalan. Saat itu, saya dengan teman saya, Badrun Nuri dan Moh. Hasan berada di seberang jalan, tepat di dekat tulisan Bhakti Persada Indah (BPI) Ngaliyan.

"Semula, dua orang itu memanggil kami dengan maksud seperti ingin menanyakan sesuatu. Tapi kami tidak mendatangi panggilannya. Kami berfikir orang itu yang butuh kami, sehingga kami hanya menunggu di tempat semula."

Dua orang itu kemudian mendekati kami. Semula mereka bertanya tempat tinggal kami dimana. Setelah itu bertanya tujuan kami mau kemana. Kemudian, teman saya Badrun kembali bertanya maksud pertanyaan itu.  tetapi orang itu justru menganggapnya melototi dan menyentak-nyentak. Aku menyambung pembicaraan dengan nada halus bahasa jawa. “Pripun mas,, pripun mas,” kataku.

Aku mulai curiga ada maksud tak baik dari kedua orang tersebut. Tiba-tiba satu orang dari mereka sudah mengeluarkan golok dengan panjang sekitar satu meter. Disusul kemudian yang satunya juga mengeluarkan golok dengan ukuran panjang sama.

Mereka mengancam kami agar kami tidak melarikan diri. Kemudian Ia mendesak saya agar membrikan Handpond yang saat itu ada di tangan. Orang itu mendekati saya, sekitar setengah meter tetap dengan goloknya, memaksa saya untuk meberikan handpond.

Aku berjalan agak mundur. Handpond tetap tak kuberikan. Orang itu kemudian mendekat dibarengi dengan sabetan goloknya. Aku berhasil merikan diri setelah sabetan itu mengenai punggung kiri. Aku berlari menuju sebuah café “Lavanda” yang tak jauh dari lokasi, sambil meneriakkan rampok.

Dibelakang rampok itu menebas kepala, punggung, dan perut teman saya, Hasan. Tapi setelah itu hasan juga berhasil melarikan diri menyusul saya dari belakang. Badrun berhasil melarikan diri sebelum Hasan sebelum orang itu melayangkan golok ke tubuhnya.
Kami bertiga panik. Tidak bisa melakukan apapun kecuali berlari. Saat itu kami memang dalam keadaan tangan tangan kosong. Di sekitar kami, tak satupun ada batu dan benda benda lain yang dapat kami jadikan senjata untuk melawan.

Hingga kami berhasil melarikan diri, orang yang tak dikenal itu juga melarikan diri, berseberangan dengan arah kami.

Setelah itu kami dan ditambah satu orang lagi teman kami yang kami temui di café menyusul ke arah larinya empat orang itu. Tapi, mereka sudah lenyap entah kemana.

Alhamdulillah, kami masih berada dalam lindungan tuhan.  Kami selamat. Tidak mengalami luka parah. Hanya sedikit lecet dibagian punggung dan baju kami bolong.

Kepada kawan-kawan saya, untuk berhati-hati jika berjalan malam hari di tempat-tempat sepi sepanjang daerah Ngaliyan dan di manapun.

Semarang, 02 Januari 2014