Kamis, 08 Oktober 2015

PEDIH

Atau sedih. Kalau yang saya bicarakan adalah bahagia- kebahagiaan, lawan kata dari pedih atau sedih, maka selesai sampai di sini. Untuk apa kebahagian dibicarakan?kebahagiaan yang sering dibicarakan akan lebih banyak menyinggung- mengundang kepedihan bagi- orang yang mendengar. Ia terkadang lebih menyakitkan dari kepedihan itu sendiri.

Sekalipun antara pedih dan bahagia dari sumber yang sama: perasaan, pedih selalu memberi ruang untuk belajar. Sebaliknya, bahagia lebih sering- tidak berarti selamanya- membuat lupa. Teman saya ketika asik menelfon pacarnya, kadang-kang ia lupa kepada saya yang di sebelahnya. Atau, saya yang lagi asik mengerjakan sesuatu, seringkali tidak nyambung ketika diajak bicara. Pedih-bahagia selalu punya alasan ketika ia nyangkut di pikiran manusia.

Dari pedih, seseorang: siapapun itu, akan mengerti kalau sakit itu nyata dan amat sangat sulit untuk dialih ganti dengan yang lain pada saat yang sama. Dari pedih, ia akan mengerti bahwa siapapun akan enggan- menolak dengan alasan apapun- kalau diberi pedih. Dari pedih pula, ia tak akan mudah memedihkan orang lain. Orang yang tak pernah merasakan pedih, kalau tidak memiliki empati tinggi, maka ia akan selalu menabur pedih-pedih bagi orang lain. Dari kepedihan, sesungguhnya, kita akan lebih banyak belajar menghargai hidup dan orang lain.

Pedih selalu sarat dengan suasana hati. Ia hanya dirasakan tanpa bisa dikerjakan. Seseorang yang sedang sedih kemudian ia melakukan tindakan: bunuh diri, memecahkan barang kesayangan memukul orang atau, minimal, menangis misalnya, kerja demikian hanya efek dari kepedihan yang sedang  ia alami. Bukan kepedihan itu sendiri. Kepedihan pada dasarnya bersifat rahasia yang hanya bisa diketahui oleh si empunya pedih.

Namun, kita akan sangat sulit menemukan kenyataan ini sekarang. Banyak pedih yang tak lagi dirahasiakan. Banyak pedih yang diumbar. Banyak pedih yang, karena pengumbaran itu, menjadikan kita saling ingin tahu dan berbagi- sebagai salah satu solusi- untuk mengurangi kepedihan itu. Ini baik. Ini positif. Yang tidak baik, kalau karena kepedihan lalu timbul cacian, hinaan, kata kotor kepada orang- yang dianggap- telah memedihkan.

Namun, perlu juga diingat, mengumbar pedih terlalu radikal, secara tidak disadari, akan menurunkan martabat dan merendahkan diri sendiri. Karena ini pula, barangkali, mengapa ketika seseorang menghadapi masalah diperintahkan berdoa dan mengadu kepada tuhan, si pembuat dan pengatur hidup sekaligus masalahnya.

Salah seorang teman menceritakan kesedihanya di media sosial. Ia katakan dengan sangat gamblang. Kepedihan yang ia alami menyangkut pula orang lain: orang tua dan keluarga, dalam sebuah konflik yang, menurutnya, telah menyebabkan kekacauan. Saya jadi berfikir, betapa rumitnya masalah yang tengah ia hadapi. Di sudut pikiran saya yang lain, saya mengerang: mengapa masalah demikian harus diumbar secara membabi buta di tempat yang tak terbatas ini. Teman saya itu, menurut saya- masih dengan rasa simpati saya- secara tidak langsung, telah menginakan diri dengan mengumbar aib yang seharusnya disembunyikan.

Ada sesuatu yang mensaratkan kalau kepedihan bisa diumbar- tidak dipendam. Yaitu, ketika seseorang tengah mengalami kebuntuan berfikir. Lalu mengadu pada orang lain yang- dianggap mampu- dapat memberi masukan. Maka, tak semua orang harus tahu. Ada banyak jenis orang di sekitar. Yang satu mungkin bisa menerima, mendengarkan dengan lapang dan sedikit-sedikit memberi masukan, tapi tak mesti yang lain. Kadang karena kesedihan, seseorang bertambah sedih karena, kebetulan, ia berbicara dengan orang yang sama sekali tidak punya perasaan.

Dan menjadi penting untuk diketahui: mengumbar kepedihan di media sosial: Facebook, BBM, Twitter atau yang lain, kalau tidak semakin menurunkan martabat dan harga diri, maka hanya akan menambah kepedihan menjadi berlipat. Solusi untuk berbagi, berkonsultasi, akan lebih baik menemukan tempat dari mulut dan telinga teman dekat, orang yang bisa mengerti dan kita tahu kalau dia mengerti.

Selebihnya, marilah belajar dari kepedihan agar tak gampang dan tak begitu mudahnya: tangan, mulut, dan seluruh anggota tubuh ini, menabur kepedihan untuk orang lain.

Semarang, 08 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar