Sabtu, 25 Januari 2014

Imamah

Bila kuingat sore itu, tak ingin lagi kumendengar walau secarik riwayat tentangmu. Apa lagi untuk melihat atau menemuimu. Hari suka dengan sebungkus luka, semua karena kumantabkan putusan untuk memilihmu. Lukaku makin memar ketika engkau pergi dengan janji yang telah engkau ingkari.

Google Photo.
Masih kuingat ketika sore itu kusaksikan bi Darsi menangis. Hatinya berduka karena aku akan benar-benar pergi. Ya, kabar kelulusan dalam tes seleksi masuk perguruan tinggi dua pekan yang lalu akan mengantarku ke kota seberang. Kubiarkan air tangis itu meleleh di mukanya yang mulai mengkerut. Aku tetap dengan keputusanku meski penolakan keras paman menyambangiku ketika kusampaikan niat rantauku, beberapa minggu setelah aku dipuncak pitam kemarahannya. Sudah lama kurindukan sebongkah kisah perantauan yang kerap diceritakan mas Toim, mas Muni dan sederet pemuda lain yang telah sukses di daerah manca.


Tak hanya bi Darsi. Salma, anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar pun ikut tersedu. Mukanya mengucur, kuyup, sekuyup mukaku ketika suatu hari paman jengkel dengan sikapku yang tak mau mendengar imbaunya. Mungkin saja ia menganggap kalau Madin, sepupunya ini, di usir atau akan hilang entah kemana.

Sementara kusaksikan paman tetap asyik dengan kreteknya, semakin mempertegas putusannya.

“Din, aku telah memberimu sebuah pilihan dan kukira kamu sudah tentukan pilihanmu sendiri. Itu artinya, kamu harus menanggung segala kosekuensi, kamu harus tetap di rumah seperti yang telah aku katakan sebelumnya. Kalau kamu tetap pergi, aku tak tanggung jawab lagi denganmu. Kau urus sendiri hidupmu.”kata paman di sebuah malam.

Paman berlalu. Suasana hening, menambah semakin jelas detak jantungku di ruang tamu malam itu. Tak kudengar lagi bunyi mesin jahit yang sedari tadi mendengus nyaring, mencampuri cakapku. Di balik tembok aku dapat merasakan kalau bi Darsi juga terdiam setelah mendengar cakap kami yang berakhir dengan keputusan mutlak paman. Entah benci atau senang bibi mendengar putusan yang tegas itu. Barangkali juga, ia sedang menyusun kalimat untuk menambah kepedihanku, menerkampu dengan keputusan yang lebih menyakitkan untuk diucapkan kepada ponakan kesayangannya.

Keputusanku bulat walau dada sebenarnya sesak karena dirundung kesalahan. Tepat pukul 16.00 aku lepas dari keluarga dan kampung halaman. Hidup sendiri sembari mengadu nasib di daerah rantau.

***

Kabar bahagia kelulusan sepertinya enyah begitu saja. Mengingat wajah bi Darsi yang sayu, ditambah murka paman yang mungkin sekarang ia telah mengutukku lantaran aku tidak nurut dan bisanya hanya membantah.

Paman marah besar. Baru kali pertama kudengar ultimatum itu langsung dari lebam bibirnya. Bibi yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menangis karena aku tetap memilih untuk pergi ketika paman di puncak kemarahan. Lagi pula, kepergianku untuk mengkulak pengetahuan dan pengalaman. Bukan yang lain. “Apalah artinya lulus jika kubiarkan mengkarang”pikirku

Sepanjang perjalanan sebongkah demi sebongkah perjalanan hidup masih lekat dipikirku. Beragam peristiwa yang menyayat mencampuri hidup yang sebatangkara. Mulai dari kepergian emak hingga akhirnya bapak minggat dengan istri barunya dan menitipkanku kepada saudara perempuannya. Seorang paman yang semula menimangku sebagai ponakan kesayangan berubah sikap lantaran dosa yang kuperbuat.

Laju kencang bus “Indonesia” setelah 15 menit meninggalkan sebuah terminal, membuat desir angin begitu keras membentur kaca, menerobos, memasuki lubang-lubang kecil, meraba wajahku dan beberapa penumpang lain yang sudah mulai terlelap.  Lampu remang menambah suasana semakin mencekam, menambah luka semakin dalam. Aku yang duduk di kursi barisan ketiga dari depan sampai kini tak kuasa memejamkan kelopak. Kantukku hilang seperti telah terlelap berbulan-bulan.

Sesekali terdengar percakapan kecil sopir dan kondektur di bagian depan. Entah apa yang mereka cakapkan. sempat terlintas dipikiranku, berharap pembahasan mereka adalah tentang rasa kecewa dan kesedihan dengan harapan ketika sampai puncak klimak pak sopir kehilangan konsentrasi. Lalu, bis yang dikendalikan menabrak pohon atau jatuh ke jurang. Dengan begitu, kepedihanku akan pergi bersama azroil ketika mencabut nyawaku.

Imamah, tunanganku. Wanita itu masih lekat dibenakku. Wanita desa sebelah yang jangkung. Postur tinggi dengan rambut di atas bahu. Mukanya memanjang dengan alis tebal diatas kelopak matanya yang tajam. Ia lebih persis dengan laki-laki. Maka tak heran kalau orang-orang sering menyebutnya si tomboy. Pakaian Imamah pun tak seperti perempuan kebanyakan. Baru sebulan kami bertungan.

Aku suka Imamah sejak aku masih di sekolah menengah pertama. Namun, bukan karena ia tomboy. Aku melihat, dibalik ketomboyan Imamah ternyata ia lebih feminis dari sosok wanita yang pernah kukenal. Ia tak seperti wanita lain di kampungnya yang hanya mengobral janji. Tak sedikit orang memperebutkan Imamah, namun tak segan-segan ia menolaknya. Peristiwa serupa bukan kali pertama ia lakukan. Berkali-kali ia ingin dipinang, berkali-kali pula ia hadapi dengan tanpa kata kecuali penolakan.

Sebagian orang ada yang sampai heran dan tak segan-segan mengecapnya dengan perempuan tak baik. “memang siapa dia, anak bupati ya bukan. Kalau sudah jadi perawan tua baru tau rasa dia” celetuk yang lain.

Aku yang faham Imamah, hanya tersenyum mendengar deretan kalimat yang keluar dari bibir tetangganya itu. Aku tahu kalau penolakan Imamah bukan sebab ia tak mau disunting. Bukan ia tak mau dengan hidup bergelimang harta, karena konon salah seorang yang ingin melamarnya itu adalah saudagar kaya.

Semua karena aku. ya, Ia tak ingin mengingkari janji. Tepatnya, janji kami berdua. Aku pun demikian.

Suatu hari, rahasia kami terbongkar. Aku didesak keluarganya untuk meminangnya, lantaran orang tuanya sudah tak sanggup menahan malu. Malu karena pembicaraan tetangga. Itulah kebiasaan orang-orang di desa kami. Mereka lebih gampang mengurus orang lain dari pada urusan sendiri.

***

Jarum jam menunjuk angka satu lebih 10 menit. Bus masih dalam kencang. Aku tak ingat sudah berapa kali ia melewati tikungan, sampai di kota mana ia membawaku. Tapi yang jelas, aku akan sampai sebelum fajar meninggi. Aku tidak khawatir tersesat karena aku akan turun di pos terakhir dimana bus ini akan berhenti.

Kulihat beberapa penumpang di belakang telah terbangun.  Tapi sejauh ini, kantukku belum juga datang. Masalah tumpang tindih menerpa pikirku.

Terus terngiang di benakku mengapa paman marah dan tak memberiku ijin untuk pergi. Ini terkait erat dengan si tomboy Imamah. Penawaran dilematis, antara mempertaruhkan kisah rantau untuk memilih Imamah atau meninggalkannya.

“Kalau kamu ingin merantau, kau tinggalkan si Imamah. Kalau tidak maka kamu tak boleh pergi. Kamu tetap disini”kata paman ketika kuajukan permohonan setelah beberapa kali menerima desakan dari keluarga Imamah.

Sebuah pilihan yang aku sangat sulit untuk menentukannya. Tidak sebentar aku telah mengharapkan Imamah untuk menjadikannya sebagai kekasih. Sementara cerita-cerita tentang dunia rantau masih lekat dalam mimpi yang harus diwujudkan. Apa pun caranya aku harus mendapatkan keduanya. Pikirku.

Tak berselang lama, bantuan pemerintah melalui program beasiswa rupanya menjadi jawaban, mengantarkanku pada apa yang kuharapkan setelah sebelumnya kuputuskan memilih Imamah. Tak pernah terfikir kalau paman akan tetap bersikukuh melarang kepergianku.

Di daerah rantau banyak sekali wanita cantik dan seksi. Sifatnya pun beraneka ragam. Ada yang baik ada pula yang kurang baik. Banyak dari tetanggaku yang tak kembali ke desa lantaran sudah terpikat dengan gadis manca. Setelah mereka sukses dan punya penghasilan yang mapan, mereka menetap dan berkeluarga di sana. Mereka lupa sanak kerabatnya yang ada di desa.

Paman melarangku pergi lantaran aku takut mempermalukan keluarga.  Setelah aku sukses, dikira aku akan meninggalkan Imamah dan memilih hidup dengan gadis lain di perantauan.

***

“Kapan aku akan mendengar lagi suaramu, candamu, tawamu dan kebersamaan kita” kata mu, beberapa pekan menjelang kepergianku. Kulihat matamu merah masam. Mendung di atas ufuk menambah redup rupamu di senja itu.

“jangan khawatir”jawabku.

Aku mencoba menenangkanmu. Kuraih kedua jemarimu. Kulihat butiran air di pipimu yang ranum ketika kutatap wajahmu untuk kuyakinkan. Padamu kukatakan:

“Imamah, Aku pergi untuk sementara waktu. Untukmu. Untuk kita.  Pada saatnya nanti, aku akan kembali. Kita akan menyatu kembali. Kita akan bangun sebuah keluarga bersama. Aku akan pulang untuk menjemputmu, membawamu kesebuah kehidupan yang bahagia dengan apa yang telah kuraih di luar sana”

Lalu, kau rebahkan kepalamu tepat di atas bahuku. Kuraih punggungmu. Kaupun juga. Kita dalam peluk yang sendu disaksikan kursi kayu dan sorakan burung dadali yang berhamburan ingin menyambut datangnya hujan. Kau dalam tangis hingga membuat bajuku basah kuyup.

Kau melepas peluk, kutatap lagi wajahmu. Kupegangi pundakmu. Dalam-dalam kau juga melempar pandang tepat di mataku.

“aku janji, sayang,,,”kumantabkan kata itu berkali-kali. Kau mengangguk yakin walau tangis masih menetes dari matamu.

Sore itu adalah air mata terakhir yang kuingat dari matamu setelah dua tahun aku diperantauan ini. Air mata pengharapan sekaligus pesan kesetiaan. Tak pernah kubayangkan sebelumnya akan menjadi air mata kemunafikan. Keyakinan seperti aku yang ingin meyakinkanmu bersabar atas kepulanganku, seketika, menjelma penyesalan. Baru saja kudengar, secara sepihak kau telah memutus hubungan dan memilih hidup dengan lelaki pilihan orang tuamu”


Semarang, Maret 2013

Cerpen Imamah. Terbit di majalah IDEA edisi 34, Latah Musik Indonesia 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar