Jumat, 20 Juli 2012

Menengok Pemerintahan SBY-Budiono


Oleh Miftahul Arifin
Dimuat di Malang Pos, sabtu 26 Mei 2012

Judul Buku  : Pilpres Abal-Abal, Republik  Amburadul
Penulis         : Adhie M. Massardi, dkk
Penerbit       : Republika Penerbit
Cetakan        : Oktober, 2011
Tebal            : Cover + 432 halaman
ISBN            : 978-602-8997-38-6
Harga           : 75.000

Pengingkaran seorang pemimpin terhadap realitas kehidupan masyarakat dan ambivalensi dalam penegakan hukum menjadi sumbu masalah yang mengakumulasi kekecewaan dan kemarahan rakyat. Dari sini, pemerintah mengalami krisis kepercayaan dan terus-menerus mendapat kecaman dari masyarakat.
Inilah potret pemerintahan SBY-Budiono yang digambarkan dalam buku ini. Ternyata, disamping sikap dan posisi presiden yang amat menyakinkan untuk menegakkan hukum dan menyatakan perang terhadap
korupsi, sistem pemerintahan amburadul pada tingkat implementasi. Skandal bank Century dan beberapa kasus mafia pajak dan proyek menjadi salah satu bukti kongkrit ketidaktegasan pemerintah.
Penantian masyarakat akan janji pemerintah untuk menciptakan “harmonisasi”, menumpas ketidaknyamanan hidup keluarga kelas menengah kebawah mungkin saja telah menjadi bayang-bayang semu dan hampir terlupakan. Menurut bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI, telah terjadi percepatan dan proses eskalasi ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Dalam hal ini presiden dan wakilnya. Sehingga, amat sulit bagi pemerintah untuk membangun kembali citra dan kepercayaan masyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah  pun terus masih berusaha mengelak dengan mencoba menutupi kesalahannya melalu sistem politik yang disebut dengan “politik pencitraan”. Dapat diltilik betapa sikap presiden SBY yang secara tegas menolak pembangunan gedung mewah telah menimbulakan pertanyaan besar. Jika presiden memang menolak pembangunan gedung tersebut, mengapa ia tidak memerintahkan partai demokrat 100% menolak rencana gedung itu. kalau memang presiden menolak proyek gedung baru karena dalih menghamburkan uang rakyat, kenapa pula ia tidak menyetop pembayaran utang luar negeri Indonesia kepada negeri-negeri imperialis. Mengapa pula ia tidak menyetop kebijakan neoliberalnya. Bukankah sumber kemiskinan dan kesengsaraan rakyat berasal dari sistem neoliberalisme atau imperialisme (hal. 323)
Sesungguhnya masalah ini, sesuai dengan judul buku: Pilpres Abal-abal, Republik Amburadul, merupakan efek dari ketidakjujuran pemerintah ketika ingin menduduki kursi pemerintahan. Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2009 lalu hanya sebagai kedok bahwa negeri ini telah menganut sistem demokrasi. Berdasarkan beberapa temuan, banyak sekali spekulasi yang sengaja dibungkus rapi oleh sistem politik pemerintah yang dijalankan ketika itu.
Hasil wawancara dengan Myjen (purn) Saurip Kadi menyebutkan bahwa pemilu yang lalu, pemerintah telah banyak melakukan pelanggaran terhadap UUD.  Pemerintah telah mengabaikan kedaulatan rakyat sebagai salah satu elemen negara demokrasi. Menurut Myjen, terdapat masalah dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yaitu adanya ketidaksesuaian dengan realitas penduduk di mana DPT itu diterbitkan. Banyak pemilih walau tercantum dalam DPT namun tidak mendapat undangan. Banyak TPS fiktif yang dicontreng oleh penguasa. Disisi lain, disamping Jual beli suara yang amat mudah dilakukan, ternyata sedikitnya empat puluh juta jiwa telah kehilangan hak memilih. Dengan kata lain, transparansi sebagai syarat mutlak negara demokrasi tidak lagi diindahkan oleh pemerintah.
Sistem politik yang “amburadul” itu disinyalir  telah berimplikasi pada rapuhnya kosistensi pemerintah dalam menjalankan tugas sebagai kepala negara. Terbukti dengan menggurintanya beberapa kasus yang hingga kini belum terselesaikan dengan baik.
Buku Pilpres Abal-abal, Republik Amburadul ini merupakan sebuah refleksi atas pemerintahan SBY-Budiono. Didalam buku ini dijelaskan banyak hal mengenai fakta-fakta penyimpangan yang telah dilakukan SBY ketika ia mulai memimpin negeri ini khususnya pada periode kedua, yakni pasca pemilu 2009. Mulai dari konstitusi dan sistem pemerintahan yang semrawut, kebijakan Sumber Daya Alam (SDA) yang bermasalah, Skandal Bank Century dan berbagai Politik pencitraan sebagai salah satu langkah menutupi kesalahan kesalahan yang telah dilakukan. Bahkan pemerintahan ini dianggap sebagai rezim terparah abaikan Pancasila.
Dahulu zaman bungkarno masih mengerti pancasila. Zaman soeharto, tidak bisa tidak, jelas pancasilais. Rezim sekarang tidak tahu indonesia mau dibawa kemana, TNI dikandangi dan tidak boleh omong opo-opo, padahal kalau tidaka ada TNI siapa yang mempersatukan karena sekarang liberal. Dengan kenyataan ini menunjukkan indonesia nyaris negara gagal dalam segala hal(hal. 354).
Maka benar apa yang disampaikan syafii Maarif dalam pengantar buku ini, “Jika dulu yang dilawan adalah kekuatan asing yang menindas, sekarang ujung tombak perlawanan ditujukan kepada siapa saja yang menindas, tak terkecuali elit bangsa sendiri”. Ini menunjukkan bahwa, kini, bangsa indonesia tidak hanya dihadapkan dengan masalah yang sifatnya eksternal. Melainkan lebih pada problem internal ke-indonesia-an itu sendiri. Dan ini, lebih sulit dibanding melawan penjajahan asing yang secara terang-terangan ingin mengeruk kekayaan indonesia.
Dengan kata lain, kini, pemerintahlah merupakan musuh besar bangsa Indonesia yang harus segera dilawan. Bagaimanakah betuk perlwanan yang harus kita lakukan? Inilah tugas kita bersama. Semoga sukses.

Miftahul Arifin, Pegiat Diros Pustaka (Depus) institute dan Peneliti Idea studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar