Rabu, 07 November 2012

Ujungan Dan Kekerasan Antar Pelajar


Bangsa ini tentu saja sangat sepakat jika Indonesia disebut sebagai Negara yang kaya akan budaya. Hal ini akan menerjemahkan pada satu anggapan bahwa bangsa ini cukup layak untuk menjadi bagian dari “donatur” dalam sejarah peradaban umat manusia.
Pengakuan terhadap kebudayaan bangsa tentu saja harus disertai upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya tersebut. Yang paling penting lagi adalah bagaimana sebuah budaya dapat menjadi spirit hidup, baik dalam sikap maupun tingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari dalam kehidupan sosial.
Namun, faktanya, hal tersebut nampak berbading terbalik dengan kondisi di lapangan. Spiritakan kebudayaan banyak luntur di masyarakat, terutama ketika dikaitkan dengan kekerasan. Kekerasan antar pelajar yang kerap terjadi belakangan ini, di satu sisi, disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk memelihara dan merefleksikan kebudayaan bangsa. Sebab, budaya kekerasan, di satu sisi, tidak selalu bermakna negatif. Meskipun, di sisi lain (sisi kebanyakan), kekerasan telah menjadi sebab rusaknya tatanan sosial.
Orang-orang tentu akan prihatin jika menyaksikan kerapnya tawuran antar pelajar akhir-akhir ini. Namun, akan muncul anggapan yang berbeda ketika mereka menyaksikan tradisi Ujungan, seperti sering dilakukan di desa Gumelan, Banjarnegara.
Ujungan adalah pertarungan dua orang yang dipimpin seorang wasit dalam rangka meminta hujan. Keduanya memiliki kebebasan penuh untuk memukul, melukai dan menyabet lawan dengan rotan hingga keluar darah. Sebagaimana keyakinan mereka, semakin banyak darah yang keluar, semakin dekat pula hujan akan datang. Namun, dalam tradisi ini, peserta hanya boleh memukul bagian paha ke bawah.
Tauran antar pelajar dan Ujungan adalah dua contoh praktik kekerasanyang telah terjadi di masyarakat. Tetapi, keduanya, memiliki dasar yang amat berbeda.  Bahkan berlawanan.
Jika yang pertama cenderung lahir dari sikap arogansi, maka yang kedua lahir dari satu hasrat untuk menciptakan kondisi sosial yang apik. Walaupun, secara khusus, kebudayaan yang disebut terakhir adalah bagian dari ritual dan doa kepada Tuhan. 
Adapun kekerasan antar pelajar yang kerap terjadi tak lain hanya pelampiasan hawa nafsu yang sesungguhnya tidak bisa dibenarkan, baik secara etika maupun moral.
Meningkatkan Integritas
Selain bertujuan untuk memohon hujan, Ujungan telah menjadi salah satu sarana meningkatkan integritas warga Banjarnegara. Dengan tradisi itulah mereka berkumpul dengan satu misi yang sama: berdoa kepada tuhan. Para lakon pun yang terlibat langsung dalam tradisi tersebut harus menghilangkan kebencian dan dendam kepada lawan jika kalah dan terluka dalam pertarungan. Sebuah pelajaran berharga.
Untuk menghindari hal tersebut di atas, peserta dalam Unjungan melakukan semedi terlebih dahulu guna membersihkan hati agar tidak grogi dan terhindar dari sifat dendam jika kalah dalam pertarungan. Terbukti, meskipun mereka kalah dalam pertrungan, mereka tetap senang, bahkan, berjoget-joget di areal pertandingan.
Sayangnya, budaya ini, mungkin, nampak terlalu tua di kalangan para pemuda: kuno, kampungan dan tidak cocok dengan tren masa kini. Ketika pandangan demikian telah menjamur dalam pemahaman seseorang, maka suatu tradisi kebudayaan tak lagi menjadi alat untuk kemanusiaan: menigkatkan integritas, menjalin solidaritas atau yang lainnya. Sebaliknya, hanya akan menjadi momok yang kurang sedap dipandang.
Kebanyakan dari pemuda saat ini enggan melakukan refleksi terhadap budaya tertentu. Mereka sering berada dalam zona nyaman dan romantisme budaya modern yang cenderung tak memihak pada kemanusiaan. Akhirnya pandangan terhadap satu kebudayaan tertentu cenderung keliru. Yang baik menjadi buruk dan yang buruk tetap dilakukan.
Pemaknaan terhadap kebudayaan harus dilakukan secara benar. Hal ini dapat dilacak melalui akar kebudayaan itu sendiri. Bagaimana kebudayaan tertentu dapat memainkan perannya dengan benar.
Budaya kekerasan antar pelajar bukan hanya terlampau kehilangan makna. Tetapi telah keliru. Karena kekeliruan inilah maka budaya tersebut tidak pantas lagi disebut sebagai sebuah kebudayaan.
Karena, bagi penulis, kebudayaan jika dilihat dari akar katanya selalu berkonotasi positif yaitu budi-daya. Budi adalah alat batin yg merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Sedangkan dayaadalah kemampuan mendatangkan manfaat dan hasil. Budi-daya, sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah usaha yang bermanfaat dan memberi hasil.
Abdul Arif dalam buku Refilosofi Kebudayaan sebenarnya telah menyinggung pergeseran makna kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat. Menurutnya, bahwa makna budaya  lepas landas dari akar katanya (budi-daya) yang selalu berkonotasi positif. Sehingga, salah jika ada yang mengatakan bahwa korupsi adalah budaya, alias “budaya korupsi” (Abdul Arif, 2011). Tawuran antar pelajar adalah contoh prilaku kekerasan yang merusak tatanan sosial. Tak layak dilestarikan.

Sebuah Refleksi  
Tradisi Ujungan yang dilakuan di desa Gumelan, Banjarnegara memiliki sejarah yang unik . Ia muncul sebelum Belanda datang dan menjajah di Indonesia. Ketika itu, tujuan diselenggarakannya tradisi Ujungan ialah untuk memohon hujan. Namun, karena ketika itu Indonesia dijajah Belanda, maka tradisi Ujungan kemudian dijadikan sebagai sarana latihan beladiri guna membina mental dan fisik para pejuang. Tradisi ini juga sedikit banyak turut melahirkan pejuang-pejuang bangsa yang pemberani (Detik News, 17/10/2012).
Dalam perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1830-an, tradisi ujungan menjadi alat untuk memecah perselisihan antar petani karena berebut air hujan di musim kemarau. Perseteruan antar petani dapat terselesaikan karena hujan pun turun setelah tradisi Ujungan digelar.
Kini, tradisi ujungan, meski tetap merupakan sebuah pertarungan yang identik dengan kekerasan, ia menunjukkan sebuah keguyuban bagi masyarakat Banjarnegara(Wawasan, 29/09/2012). Itu artinya, sebuah kebudayaan, meskipun pada dasarnya bersifat kekerasan tidak serta merta disalahkan. Apalagi telah menjadi sarana untuk menigkatkan keakraban satu sama lain.
Ujungan juga telah menjadi salah satu alat untuk menyucikan jiwa dari sifat tercela: dendam kesumat.
Sebuah refleksi bagi kalangan pemuda saat ini. Makna kekerasan harus bisa direduksi menjadi nilai nilai positif di masyrakat. Kekerasan harus menjadi alat untuk menyatukan kekuatan, guna melawan hegemoni pemerintah terhadap rakyat.
Penjajahan fisik telah berakhir. Karenanya, mereka tak harus menyontoh dan menggelar  Ujungan. Kekerasan dalam Ujungan harus bisa ditransformasikan kedalam bentuk yang lain. Yakni, keras dalam belajar (sungguh-sungguh), keras dalam bekerja (kerja keras), demi mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Semoga.

Miftahul Arifin, Mahasiswa Jurusan Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin, Aktif sebagai Reporter SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar