Minggu, 27 Juli 2014

Aku Senang Ramadhan Akan Pergi

Menjelang idul fitri atau di akhir ramadhan beberapa status facebook teman saya bernada sama. Tentang ucapan maaf kepada seseorang a. Tentang pula keberatan, ketidakinginan atau kesedihan karena akan berpisah dengan bulan ramadhan. Ada pula yang berkata ramadhan berjalan begitu singkat menggambarkan perjalanan ramdahan satu kenikmatan baginya.


Ya, bulan yang katanya penuh nikmat, berkah dan ampunan itu sebentar lagi akan selesai. Meninggalkan manusia, bulan, matahari, gemintang dan hampir seluruh semesta alam.

Dan setelah itu Ramadhan akan sulit didengar dari lisan orang2. Masjid mulai sepi. Tak banyak lagi lantunan ayat suci. Tak ada lagi santunan panti asuhan. Tak ada lagi kultum di masjid. Tak ada lagi banyak hal yang biasa dilakukan di bulan ramadhan. Barangkali karena sudah tidak update, bukan momen dan semacamnya termasuk karena ramadhan hanya menjadi momentum saban tahun.

Barangkali berbeda dengan ketika habis menonton hiburan, habis kencan sama pacar atau pula habis ketemu mantan. Ada bayangan yang selalu mengikuti, mendorong untuk keluar menjadi cerita.
Ramadhan hanya menjadi cerita tahunan, kekasih sementara, bahkan selingkuhan yang penuh dengan buaian.
Demikian saya ingin menerjemahkan status teman. Ini tafsir saya. Tanpa kaidah dan metodologi. Berdasar pengalaman dari tahun ke tahun, apa yang saya lihat, saya dengar dan saya alami.

Tak ada peningkatan ibadah bagi saya kecuali mungkin hanya shalat tahajjud karena waktunya berbarengan dengan sahur. Atau mungkin membaca al Qu'ran di masjid karena kebetulan berbarengan dengan apa yang disebut dengan berkah ramadhan. Teh anget, kulak pisang, mie ayam dan jajanan lain yang berjejer dengan al Qur'an. Atau shalat traweh yang enggan karena membuat lelah. Selebihnya ramadhan hanya rasa lapar, haus, dan tidur siang yang sulit untuk dirindukan. Bagaimana mungkin dapat dirindukan sementara di satu sisi saya memang tak suka rasa lapar dan tak senang rasa haus.

Tentang ramadhan mengingatkan manusia akan penderitaan orang miskin. Aku tak pernah merasakan itu kecuali hanya di dengar di kultum masjid dan hilang begitu saja. Paling mujur menjadi selentingan dalam diskusi2 dengan teman. Dirasakan dalam2 dalam hati, atau pernahkah hati terenyuh ketika mengingat sejumlah orang yang kurang makan, lalu berbuat satu hal kecil yang sesuai kenyataan?

Apa yang saya katakan tidak berarti bahwa saya benci ramdhan. Tidak pula saya telah cinta ramadhan. Lebih tepat saya masih menganggap hanya ritual tahunan tanpa makna yang benar bagi hidup saya. Terutama paska ramadhan, aku telah banyak lupa tentangnya. Bagaimana engkau bisa rindu dan begitu sedih dengan perginya ramadhan sementara ia tak lagi engkau perbincangkan setelah lebaran.

Ramadhan bulan nikmat, benar. Ramadhan bulan berkah, betul. Ramadhan bulan ampunan, tidak diragukan. Yang perlu diragukan barangkali adalah hidup saya yang belum punya cinta untuk ramadhan. akupun senang ramadhan ini akan berakhir. Inilah ceritaku. Bagaimana ceritamu yang sesungguhnya?

Catatan Akhir Ramadhan
Muncek Timur, 27 Juli 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar