Selasa, 29 Juli 2014

Kacang Tanah Penerang di Akhirat

Catatan dini hari, Moncek Timur, 29 Juli 2014.

Ramadhan telah usai. Tapi cerita2 saya tentangnya masih tersisa. Salah satunya tentang zakat fitrah. Disuatu waktu saya disuruh mengantarkan zakat fitrah berupa Jagung kering. Entah berapa kilogram saya tak sempat bertanya atau menimbangnya. Yang pasti untuk tiga orang. Aku, saudaraku dan bapakku sendiri.


Ada satu hal yang membuat mata saya tak berhenti memandang, pikiran saya tergelitik, bertanya2 ketika di atas jagung itu ada kacang tanah yang di tusuk seperti sate. Ada pula uang kertas 20 ribu.


Sejauh yang saya tahu zakat fitrah ialah pemberian berupa makanan pokok keapada orang berhak menerimanya. Saya penasaran mengenai "sate kacang" di atas jagung itu.

Beberapa anggota masyarakat masih memegang tradisi itu sampai saat ini khususnya di desa Moncek Timur.
Saya bertanya kepada orang beberapa orang. Ketika itu ada nenek, paman dan beberapa tetangga. Namun tak ada keterangan yang saya dapatkan kecuali hanya, bahwa penyelipan "sate kacang" itu adalah "lalampan" (indonesia: kebiasaan) orang dulu. Jawaban itu memberi sinyal positif bahwa saya harus menanyakannya kepada orang lanjut usia.

Kebetulan aku teringat, dulu kakek saya juga melakukan hal sama. Bahkan tak hanya "sate kacang". Ada pula penyisipan satu sampai dua batang rokok dalam zakat fitrah.

Lebaran kemaren saya sungkem ke kerumah kakek. Saat ini usianya sudah di atas 70 tahun. Saya tidak tahu umur pastinya sebab ketika saya menanyakannya langsung kakek juga sudah lupa berapa umurnya sekarang.
Siang itu beliau duduk di amben rumah. Alas tikar sudah siap dan beberapa jajan lebaran juga sudah tersedia. Aku yang datang langsung menyalami dan mencium tangannya yang mulai mengkerut. Beberapa saat kemudian, setelah ngobrol santai aku menyempatkan diri bertannya soal itu.

Rumah kakek berhadapan dengan rumah tetangga. Ada banya orang ketika itu termasuk tetangga yang barangkali sudah seusia dengannya.

Kakek menanggapi pertanyaan saya dengan semangat seperti telah mengingatkan pada masa lalunya. Ia menjelaskan ihwal kacang itu. Bahwa "sate kacang" akan menjadi penerang, lampu, sinar kelak di akhirat.
Tidak ada ketentuan mengenai banyaknya kacang atau berapa tusuk kacang itu harus dipasang. Biasanya hanya dua tusuk, dan masing2 tusuk 5-7 kacang.

Kakek menceritakan, penyelipan kacang itu mulai dilakukan belangan. Sebelum kacang memakai "nyamplong" dan buah "kalekeh" (salah satu jenis tanaman yang ada di daerah madura). Namun karena tanaman itu agak sulit ditemukan dan lebih mudah kacang, maka menggunakan kacang dengan fungsi yang sama.

Demikian pula rokok. Ia akan menjadi penerang. Kakek mengatakan, rokok tersebut nantinya akan digunakan, dirokok ketika diakhirat. rokok khusus laki2. Bagi perempuan biasanya menggunakan "napenah".
Perbincangan saya dan kakek tidak berhenti di situ. Saya bertanya tengtang zakat pada zamanya dulu ketika masih muda. Pertanyaan saya menarik perhatian tetangga kakek, rohimah. Karena logat kampung ia biasa dipanggil Rahema. Akhirnya, ia pun merapat bersama kami dan berhasrat untuk bercerita. Termasuk nenek juga ikut kumpul bersama.

Zakat didapat dari hasil pinjaman
Kakek bercerita, zakat pada zaman itu disalurkan kepada kajih. Kyai musolla, kampung.
Zaman dulu berbeda dengan sekarang yang boleh dibilang berkecukupan kalau hanya untuk makan sehari2. Dulu, tidak demikian. Susah dan selalu kekurangan makanan.

Maka untuk memenuhi kewajiban membayar zakat fitrah, orang orang harus pinjam terlebih dahulu. Mereka pinjem ke kajih. Dan pinjaman baru dikembalikan ketika musim panen. Ketika itu orang2 akan berbondong ke rumah kajih untuk membaca niat zakat.

Dengan demikian, kaji pada saat itu memiliki peran ganda. Meminjamkan sekaligus menerima zakat.
Ada juga kajih yang merasa enggan, mikir2 atau berat hati menerima zakat tersebut. Dikarenakan zakat adalah kotoran dari penyucian diri dan harta.

Ada juga kajih yang membagikan hasil kumpulan zakat itu kepada orang2. Kira2 1 kg per orang. Masyarakat yang kekurangan makanan akan merasa senang dengan pemberian itu.

Rokhimah menceritakan, bahwa ada juga zakat yang lansung disalurkan kepada anaknya (keluarganya). Hal ini kurangnya makanan untuk dikonsumsi sendiri. Dari pada disalurkan ke orang lain sementara untuk makan sendiri susah, maka langkah itulah yang diambil karena, menurut penilaian saya, keinginan masyarakat untuk memenuhi kewajiban membayar zakat.

Pejelasan itulah yang saya dapatkan dari kakek dan tetangganya rohimah. Demi mendapatkan informasi tambahan, sesampainyanya di rumah saya kembali menceritakan penjelasan kakek. ketika itu ada nenek (orang tua ibu), paman dan sebagian tetangga.

Nenek membenarkan mengenai kenyataan, membayar zakat dari hasil pinjaman dari kajih, kyai kampung. Usia nenek lebih muda jauh dari kakek dan tetanggannya tadi.

Sayapun mengambil kesimpulan sementara. Kenyataan itu berlangsung puluhan tahun lamanya. Jika usia kakek sekarang 80 tahun maka kejadiannya diperkirakan  telah dimulai sejak 10-15 tahun sebelum kemerdekaan. Sebelum itu mungkim memang sudah demikian.

Yang menjadi pertanyaan saya sampai sekarang, mengapa mereka masih memaksa diri untuk membayar zakat fitrah sedangkan untuk dimakan sendiri sudah kekurangan. Salah satu penjelasan yang saya baca, bukankah salah satu kriteria orang wajib membayar zakat adalah memiliki kemampuan? Hanya ada 3 kemungkinan. Pertama, antusias mereka sangat tinggi menjalankan perintah agama. Kedua pemahan mereka yang rendah soal agama. Ketiga, zakit fitrah dijadikan kesempatan oleh para kyai kampung untuk memakmurkan dirinya.

Entahlah. Sejarah telah berlalu. Potret inilah yang hanya bisa saya tangkap hari ini.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar