Sabtu, 02 Agustus 2014

Mainanku Yang Hilang

Catatan:
Moncek Timur, 02 agustus 2014

Masih kuingat hari itu kubawa pulang ribuan karet. Beruntung! aku menang dalam permainan padahal lawanku adalah orang dewasa. Usiaku masih terlalu dini untuk mengingat detail berapa sesi, berapa modal awal dan berapa kali sempat dikalahkan hingga aku menjadi pemenang diakhir pertandingan.


Hari itu aku main "tongghuen" (karet dikumpulkan jadi satu. Lalu dilempar dengan cara menarik sebagian ke tugu yang telah disediakan). Banyak model yang kami kenal. Sebenarnya ada banyak model yang kami tahu. Ada pettatan gedung, onjebban, bunderren dan selte'an. "Tongghuen adalah model permainan karet dengan skala paling besar.

Senang. Hasil kemenanganku aku simpan di sebuah tempat khusus di rumah. Sebagian aku pilah pilah, yang bagus dan tidak. Warna juga demikian. Kuning dengan kuning, merah dengan merah, biru dengan biru dan lainya.

Permainan karet sifatnya musiman. Namun aku dan teman-teman tak pernah khawatir. Musim berakhir berarti akan berganti dengan musim yang lain, permainan baru. Hasil kerja musim ini akan disimpan untuk digunakan pada musim yang sama yang akan datang.

Kami jalani hidup masa kanak-kanak. Desa Muncek Timur yang kami tinggali mendidik hidup kami mengalir begitu saja dengan aneka permainan yang cukup komplek. kadang sampai dimarahi ibuk karena telat pulang, kadang dimarahi orang karena mengganggu ketentraman dan kadang pula kami saling bertengkar satu sama lain karena kurangnya pemahaman.

Ada banyak permainan yang aku dan dan teman seumuran lakonkan. Setiap jenis memiliki banyak model. Kami tak pernah ketinggalan untuk melakukannya bersama-sama. Setiap waktu. Setiap musim. Setiap kesempatan.

Malam yang jauh setelah hari itu. Kami berbincang di pinggir jalan, di samping halaman masjid desa kami. Kesadaran mulai terbuka ketika malam mulai larut, rupanya masak kanak-kanak kami telah lama berlalu. Kami mengulang masa itu dengan cerita2 sederhana. Gelak tawa meledak sesekali ketika peristiwa lucu saling kita ingat. Tentang mainan-mainan tradisional. Tentang kebersamaan mencari burung di gunung.

Tentang perjalanan ke kali-kali dengan membawa pancing. Tentang kebersamaan mengejar layang2 putus. Tentang petak umpet. Tentang tembak-tembakan dengan menggunakan pelepah pisang. Tentang jalan2 ketika bulan puasa tiba. Tentang lari pagi sebelum subuh tiba. Tentang mencuri mangga di sawah2 orang. Tentang balapan dengan pelepah penang di tebing2. Tentang sero'an buncis. Tentang mobil-mobilan dan macam-macam.

Ditengah cerita-cerita malam itu kami mulai mengerti, permainan2 itu sepertinnya kini telah mulai hilang, jarang ditemui pada adik adik. Bahkan sebagian besar telah musnah, digantikan mainan-mainan modern yang dianggap lebih baik. Kalau dulu ladang, sawah, gunung, jalan, halaman adalah tempat kebersamaan kami, kini kebersamaan itu terjalin dalam kejauhan melalui sebuah ruangan berukuran kira satu meter persegi. Warnet. Atau melalui produk2 impor buatan asing.

"Permainan dulu telah dirusak oleh cina" ujar salah seorang teman dengan nada guyon bahasa kami. Madura.
Ah! Andai masa kecil itu bisa ditarik kembali akan kuulangi lagi permainan2 itu bersama teman-teman. Akan kubeli klereng2 dan kita akan berkumpul lagi di halaman. Akan kuambil pelepah2 penang untuk aku bawa ke tebing2. Akan kuambil bambu dan pelepah pisang untuk aku jadikan pistol. Karet2 akau kubeli untuk ku kalahkan teman dengan berbagai model permainan: tongguen, bunderren, geddungan dan onjebben. Akan kubeli kelereng untuk aku mainkan dengan pot potan dan lobengan. Akan kuambil nyamplong2 di bukit untuk diadu di kali2. Akan kuajak lagi bermain sudur, banting, pal palan, juk taijuk, lak laalak butah, guringan dan jikjighen.

Dan ketika itu aku telah bersama adik-adik. Mengajari mereka betapa berartinya permainan karya lokal. Permainan yang sebagian syarat dengan nilai2 falsafah hidup. Permainan yang mulai tersingkirkan oleh mainan2 produk manca negara.

Dan akan kuucapkan "Selamat datang mainanku yang hilang"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar