Minggu, 28 Juni 2015

Kini Masih Belum Waktu, Maafkan Aku


*Untuk Ny. Qurrotu Aini
Pengasuh Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah
 
"Bagaimana menolak permintaan guru, akupun tak tahu.
Kukatakan bahwa kini masih belum waktu"


Entah siapa yang memberi kabar tentang kelulusanku tahun ini. Masa studiku menempuh strata satu (S-1) di UIN Walisongo Semarang dinyatakan selesai setelah usai ujian munaqosah dan dinyatakan lulus pada tanggal 16 Juni 2014 lalu. Aku terkaget ketika tiba-tiba, dan aku tak pernah menyangka, Bu nyai Qurrotu Aini, pengasuh Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah tempat aku belajar dulu, memanggilku lewat saluran telpon seluler. Beliau bertanya mengenai kelulusanku dan padanya kukatakan kalau aku akan segera lulus, “tinggal menunggu wisuda” kataku. 
Beliau kemudian memintaku, menawarkan barangkali bahasa yang tepat, untuk kembali dan mengabdi di pondok. Aku berpikir sejenak dan aku masih dalam keadaan terkejut lalu kukatakan kepada beliau kalau aku masih kurang. Aku masih kurang untuk pengetahuan dan pengalaman. Dan rasanya, memang aku belum pantas untuk menjadi pengajar bagi adik-adikku di sana, mengajar bukan mengabdi. Mengajar berarti menyalurkan ilmu yang aku dapat. Berbeda dengan mengabdi, dalam pengetianku, ialah melakukan apapun sesuai kebutuhan, tidak terbatas mengajar tapi melakukan apapun termasuk kegiatan fisik sesuai kebutuhan di pondok pesantren.  

Kemudian aku katakan bahwa sebentar lagi aku akan pulang dan akan sowan  ke pondok. Aku memperkirakan kalau pertanyaan itu akan muncul lagi. Itu pasti, karena secara eksplisit, jawabanku kepada beliau memberi pengertian bahwa akan lebih jelas jika aku kesana, bertemu langsung dan membincang masalah ini. 

Bagaimana menolak permintaan guru akupun tak tahu. Kukatakan bahwa kini masih belum waktu. Alasan pertama. Akupun memang belum membayangkan-berpikir untuk pulang, ke pondok atau ke kampung halaman. Bagaimanapun aku masih terlalu muda dan dini. Waktu empat tahun, bahkan lima tahu, karena kebetulan masa studiku baru selesai setelah tahun ke lima, bukan waktu yang lama untuk mencari ilmu dan pengalaman. Mungkin masih perlu waktu berlipat dan berlipat-lipat untuk cukup. Bahkan mungkin tidak akan pernah cukup walau seumur hidup. Aku belum separuh waktu dalam kalkulasi nalar untuk menjadi dewasa: dewasa ilmu, dewasa pengalaman dan dewasa segalanya yang kubutuhkan. 

Aku berfikir mungkin aku bersalah secara etika karena menolak permintaan guru, guru alifku, yang telah membesarkanku. Akupun perlu meminta maaf karena belum bisa memenuhi permintaannya. 

Alasan kedua. Masih banyak kususun rencana di sini. Di kota ini. Semarang. Atau tempat lain kecuali tempat pulang-kampung halaman. Gelar S-1 hanya akhir dari studi tahap awal dan awal studi lanjutan, awal dari sebuah kenyataan. Sarjana adalah adalah kebahagiaan karena, di satu sisi, dianggap sebuah keberhasilan dari ketentuan formal masa studi. Tetapi di lain sisi, mesti dan tidak dapat dipungkiri oleh kebanyakan, meski tidak secara keseluruhan, adalah awal kegundahahan dan kebingungan bagi setiap mahasiswa lulusan baru.
Aku pun merasa demikian. Rasa optimis menjadi penawar dari kegundahan dan kebingungan itu. Bahwa tak ada jalan butu, jalan baru akan selalu ada di setiap penghujung jalan yang terlewati. 

Penolakannku bukan atas dasar sebuah penghianatan. Tetapi karena satu alasan kepentingan yang lebih besar. Aku hanya menyangka, mengira dan menduga. Dan itu adalah doa. Sebaik-baik doa adalah sebuah usaha yang terlaksana. 

Semarang, 29 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar