*Untuk Ny. Qurrotu Aini
Pengasuh Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah
"Bagaimana menolak permintaan guru,
akupun tak tahu.
Kukatakan bahwa kini masih belum waktu"
Kukatakan bahwa kini masih belum waktu"
Entah siapa yang memberi kabar tentang
kelulusanku tahun ini. Masa studiku menempuh strata satu (S-1) di UIN Walisongo
Semarang dinyatakan selesai setelah usai ujian munaqosah dan dinyatakan lulus
pada tanggal 16 Juni 2014 lalu. Aku terkaget ketika tiba-tiba, dan aku tak
pernah menyangka, Bu nyai Qurrotu Aini, pengasuh Pondok Pesantren Mashlahatul
Hidayah tempat aku belajar dulu, memanggilku lewat saluran telpon seluler.
Beliau bertanya mengenai kelulusanku dan padanya kukatakan kalau aku akan
segera lulus, “tinggal menunggu wisuda” kataku.
Beliau kemudian memintaku,
menawarkan barangkali bahasa yang tepat, untuk kembali dan mengabdi di pondok.
Aku berpikir sejenak dan aku masih dalam keadaan terkejut lalu kukatakan kepada
beliau kalau aku masih kurang. Aku masih kurang untuk pengetahuan dan pengalaman.
Dan rasanya, memang aku belum pantas untuk menjadi pengajar bagi adik-adikku di
sana, mengajar bukan mengabdi. Mengajar berarti menyalurkan ilmu yang aku
dapat. Berbeda dengan mengabdi, dalam pengetianku, ialah melakukan apapun
sesuai kebutuhan, tidak terbatas mengajar tapi melakukan apapun termasuk
kegiatan fisik sesuai kebutuhan di pondok pesantren.
Kemudian aku katakan bahwa
sebentar lagi aku akan pulang dan akan sowan ke pondok. Aku memperkirakan kalau pertanyaan
itu akan muncul lagi. Itu pasti, karena secara eksplisit, jawabanku kepada beliau
memberi pengertian bahwa akan lebih jelas jika aku kesana, bertemu langsung dan
membincang masalah ini.
Bagaimana menolak permintaan guru
akupun tak tahu. Kukatakan bahwa kini masih belum waktu. Alasan pertama. Akupun
memang belum membayangkan-berpikir untuk pulang, ke pondok atau ke kampung
halaman. Bagaimanapun aku masih terlalu muda dan dini. Waktu empat tahun,
bahkan lima tahu, karena kebetulan masa studiku baru selesai setelah tahun ke
lima, bukan waktu yang lama untuk mencari ilmu dan pengalaman. Mungkin masih
perlu waktu berlipat dan berlipat-lipat untuk cukup. Bahkan mungkin tidak akan
pernah cukup walau seumur hidup. Aku belum separuh waktu dalam kalkulasi nalar
untuk menjadi dewasa: dewasa ilmu, dewasa pengalaman dan dewasa segalanya yang
kubutuhkan.
Aku berfikir mungkin aku bersalah
secara etika karena menolak permintaan guru, guru alifku, yang telah
membesarkanku. Akupun perlu meminta maaf karena belum bisa memenuhi
permintaannya.
Alasan kedua. Masih banyak
kususun rencana di sini. Di kota ini. Semarang. Atau tempat lain kecuali tempat
pulang-kampung halaman. Gelar S-1 hanya akhir dari studi tahap awal dan awal
studi lanjutan, awal dari sebuah kenyataan. Sarjana adalah adalah kebahagiaan
karena, di satu sisi, dianggap sebuah keberhasilan dari ketentuan formal masa
studi. Tetapi di lain sisi, mesti dan tidak dapat dipungkiri oleh kebanyakan,
meski tidak secara keseluruhan, adalah awal kegundahahan dan kebingungan bagi
setiap mahasiswa lulusan baru.
Aku pun merasa demikian. Rasa
optimis menjadi penawar dari kegundahan dan kebingungan itu. Bahwa tak ada
jalan butu, jalan baru akan selalu ada di setiap penghujung jalan yang
terlewati.
Penolakannku bukan atas dasar
sebuah penghianatan. Tetapi karena satu alasan kepentingan yang lebih besar.
Aku hanya menyangka, mengira dan menduga. Dan itu adalah doa. Sebaik-baik doa
adalah sebuah usaha yang terlaksana.
Semarang, 29 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar