Jumat, 21 Agustus 2015

Merbabu dan Rindu Yang Tidak Akan Pernah Terbakar



Gunung Merbabu terbakar. Kejadiannya kemarin malam, Rabu 19 Agustus 2015, dua hari setelah aku di sana. Setelah kutulis namamu di sana. Setelah aku ceritakan tentangmu di sana. Dan setelah aku tak mampu berbicara, sampai akhirnya Merbabu yang bercerita. Tentang cinta yang akan dikata lewat aksara. 


Kudengar untuk pertama kali dari seorang teman. Aku menuliskannya di sini karena keindahan masih belum hilang. Bekas perjuangan mendaki masih terasa. Ada lelah, bahagia, dan cerita yang belum terlupa. Bahkan telah kutulis dalam sebuah cerita. 

Kebakaran terjadi pada ketinggian 1700-2000 meter di atas permukaan laut. Mungkin lebih dari setengah perjalan bagi para pendaki. Kalau dihitung dengan jam, lokasi kebakaran pada titik setelah lebih dari empat jam pendakian dilakukan. Api akan merambat dan akan berhenti kalau ia lelah membakar. Atau setelah dipadamkan oleh petugas pemadaman. Sementara, empat rute pendakian dihentikan. Petugas dikerahkan untuk mencegah meluasnya amuk api atau si jago merah. 

Banyak media yang bicara. Ia bercerita macam-macam tentang gunung dengan ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut itu. Cerita Kompas, hari ini, kebakaran itu masih berlangsung hingga sekarang, Jumat 21 Agustus 2015. Sudah dua hari belum juga padam. Padahal usaha pemadaman sudah dilakukan oleh warga dan Pemerintah. Api merambat Dusun Kenalan, Desa Pakis, Kecamatan Pakis Magelang yang berjarak 20 km dari lokasi awal titik api: Dusun Denokan, Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan. Api telah menghanguskan kawasan hutan seluas 200 hektar. Kata detik.com, yang hampir setiap detik selalu punya cerita, lebih dari 200 hektar lahan Merbabu hangus terbakar. 

Kebakaran diketahui pertama kali melalui CCTV yang berada di pos pengamatan Merapi Boyolali. “kita melihat kebakaran di lereng Merbabu dari CCTV,” kata detik.com, menirukan ucapan Kusdaryanto selaku kepala Seksi Gunung Merepi BPPTKG.

Dalam sejarah kebakaran liar (hutan, vegetasi atau semak termasuk gunung), tiga hal yang menjadi sebab kebakaran: petir, pembakaran, dan kecerobohan manusia. Merbabu terbakar bukan karena petir karena sekarang musim kemarau. Karena kecorobohan pendaki, barangkali, yang bermain api sembarangan, jika seandainya tidak karena dibakar oleh seseorang yang membaca benci saat mendaki.

Lain itu, kebakaran bisa disebabkan oleh aktivitas vulkanis karena aliran lahar atau awan panas karena letusan. Ground Fire (api bawah tanah), yang bisa terjadi pada tanah gambut dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada musim kemarau. 

Merbabu terbakar pada tahun 2015 setelah dikabarkan pernah meletus pada tahun 1560, 1570 dan tahun 1797. Informasi lengkapnya bisa dilihat di Wikipedia.org. Belum diketahui dengan pasti penyebab kebakaran itu. Yang sudah pasti, banyak tanaman yang mati, banyak binatang yang mati, beberapa hektar dari gunung juga hangus terbakar. Hutan juga demikian. Keindahan gunung hilang, pudar. Edelweiss, si bunga abadi itu, mungkin sebagian sudah menjadi arang. Api menjadikannya gagal untuk abadi. Ia tak abadi kecuali metosnya tentang cinta dan keabadian: abadi sepanjang zaman, sepanjang cinta masih selalu ditanam. Edelweiss mati, tapi tidak ceritaku tentangmu dengannya.

Seorang teman dalam update BBM berkata, “ Merbabu terbakar. Mungkin saja gara-gara tak mampu menampung rindu yang dititipkan oleh para pendaki kemarin”. Ia berdalih, kecuali dia yang tidak menitipkan rindu. Jika karena rindu, maka rindu-rindu itu juga telah terbakar, hangus tak bersisa, atau ia memilih berpulang kepada si empunya rindu. 

Aku tak pernah menitipkan rindu di sana. Aku selalu membawanya. Kemanapun. Untuk menjadikannya cerita atas namamu, (Bunga, bukan nama asli).

Semarang, 21 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar