Gunung
Merbabu terbakar. Kejadiannya kemarin malam, Rabu 19 Agustus 2015, dua hari
setelah aku di sana. Setelah kutulis namamu di sana. Setelah aku ceritakan
tentangmu di sana. Dan setelah aku tak mampu berbicara, sampai akhirnya Merbabu
yang bercerita. Tentang cinta yang akan dikata lewat aksara.
Kudengar
untuk pertama kali dari seorang teman. Aku menuliskannya di sini karena
keindahan masih belum hilang. Bekas perjuangan mendaki masih terasa. Ada lelah,
bahagia, dan cerita yang belum terlupa. Bahkan telah kutulis dalam sebuah
cerita.
Kebakaran
terjadi pada ketinggian 1700-2000 meter di atas permukaan laut. Mungkin lebih
dari setengah perjalan bagi para pendaki. Kalau dihitung dengan jam, lokasi
kebakaran pada titik setelah lebih dari empat jam pendakian dilakukan. Api akan
merambat dan akan berhenti kalau ia lelah membakar. Atau setelah dipadamkan
oleh petugas pemadaman. Sementara, empat rute pendakian dihentikan. Petugas
dikerahkan untuk mencegah meluasnya amuk api atau si jago merah.
Banyak
media yang bicara. Ia bercerita macam-macam tentang gunung dengan ketinggian
3.142 meter di atas permukaan laut itu. Cerita Kompas, hari ini, kebakaran itu
masih berlangsung hingga sekarang, Jumat 21 Agustus 2015. Sudah dua hari belum
juga padam. Padahal usaha pemadaman sudah dilakukan oleh warga dan Pemerintah. Api
merambat Dusun Kenalan, Desa Pakis, Kecamatan Pakis Magelang yang berjarak 20
km dari lokasi awal titik api: Dusun Denokan, Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan.
Api telah menghanguskan kawasan hutan seluas 200 hektar. Kata detik.com, yang
hampir setiap detik selalu punya cerita, lebih dari 200 hektar lahan Merbabu
hangus terbakar.
Kebakaran
diketahui pertama kali melalui CCTV yang berada di pos pengamatan Merapi
Boyolali. “kita melihat kebakaran di lereng Merbabu dari CCTV,” kata detik.com,
menirukan ucapan Kusdaryanto selaku kepala Seksi Gunung Merepi BPPTKG.
Dalam
sejarah kebakaran liar (hutan, vegetasi atau semak termasuk gunung), tiga hal
yang menjadi sebab kebakaran: petir, pembakaran, dan kecerobohan manusia.
Merbabu terbakar bukan karena petir karena sekarang musim kemarau. Karena
kecorobohan pendaki, barangkali, yang bermain api sembarangan, jika seandainya
tidak karena dibakar oleh seseorang yang membaca benci saat mendaki.
Lain
itu, kebakaran bisa disebabkan oleh aktivitas vulkanis karena aliran lahar atau
awan panas karena letusan. Ground Fire (api bawah tanah), yang bisa terjadi
pada tanah gambut dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada musim kemarau.
Merbabu
terbakar pada tahun 2015 setelah dikabarkan pernah meletus pada tahun 1560,
1570 dan tahun 1797. Informasi lengkapnya bisa dilihat di Wikipedia.org. Belum
diketahui dengan pasti penyebab kebakaran itu. Yang sudah pasti, banyak tanaman
yang mati, banyak binatang yang mati, beberapa hektar dari gunung juga hangus
terbakar. Hutan juga demikian. Keindahan gunung hilang, pudar. Edelweiss, si
bunga abadi itu, mungkin sebagian sudah menjadi arang. Api menjadikannya gagal
untuk abadi. Ia tak abadi kecuali metosnya tentang cinta dan keabadian: abadi
sepanjang zaman, sepanjang cinta masih selalu ditanam. Edelweiss mati, tapi
tidak ceritaku tentangmu dengannya.
Seorang
teman dalam update BBM berkata, “ Merbabu terbakar. Mungkin saja gara-gara tak
mampu menampung rindu yang dititipkan oleh para pendaki kemarin”. Ia berdalih,
kecuali dia yang tidak menitipkan rindu. Jika karena rindu, maka rindu-rindu
itu juga telah terbakar, hangus tak bersisa, atau ia memilih berpulang kepada
si empunya rindu.
Aku
tak pernah menitipkan rindu di sana. Aku selalu membawanya. Kemanapun. Untuk
menjadikannya cerita atas namamu, (Bunga, bukan nama asli).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar