Senin, 11 Mei 2015

Bangun, Pagimu Menunggu Senyum

Susah yang selalu basah dan selimpung kaki yang lelah menjarah sejarah. Luka yang kerap dibalut amarah merekah, goyah, lemah lalu roboh tertimbun oleh bongkahan resah.

Pasrah bukan salah, sebab lempeng tabah selalu dianggap semestinya ibadah. Tuhankah yang menganggapnya, lalu aku, kita melakukannya, atau sebaliknya, bahwa aku, kita sebenarnya sudah lelah dan menyerah.

Pasrah harus punya jaminan. Tabah harus punya alasan. Pasrah karena seluruh kekuatan talah dikerah, tidak hanya sekali, berkali-kali, sampai ada koreksi, sampai pikir dan hati tak dapat kalimat untuk dibagi.

Dan, tabah, sebab yang dianggap ibadah benar-benar telah meluluh lantah, dari semula tangan dan kaki masih sudi menemani hingga hatipun tak dapat lagi mendengar denyut nadi.

Dalam kesadaran terdalam, kita menjadi kuat karena selalu diberi harap. Harap-harap tenang, harap-harap senang, harap-harap datang, dan pula harap-harap cemas bagi musim: jika panas tak hujan atau jika hujan tak gersang. Bangunlah karena harapan. Bangunlah. Bangun.
Bangun,

Bangun,

Bangun,

Dan, bangun

Lalu, bangun

Kemudian, bangun

Bangun!

Pagimu menunggu senyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar