Selasa, 10 Februari 2015

Presiden Harus Tunduk Pada Konstitusi

google.com

(Tanggapan atas Tulisan M. Arif Rohman Hakim, Wawasan, 28 Januari 2015)

Tulisan M. Arif Rohman Hakim ““Jasmerah” bagi Jokowi” di Wawasan pada 28 Januari lalu membuat saya tergelitik untuk memberikan tanggapan, atau setidaknya ingin meluruskan pemahaman umum yang secara sengaja atau tidak ingin diruntuhkan oleh penulis.

Pemahaman yang dimaksud berkaitan dengan sikap seorang presiden sebagai kepala negara. Tidak dapat dibantah bahwa seorang kepala negara harus tunduk pada konstitusi. Bukan pada personal, golongan atau partai politik tertentu. Publik tentu akan merasa geram dan tidak segan-segan akan melempar batu hantam jika presiden tidak taat pada undang-undang, dan justru tunduk pada golongan tententu. Dan sejatinya, mentaati konstitusi tak lain merupakan bagian dari amanat undang-undang yang harus dipenuhi oleh seorang kepala negara.

“Jasmerah” ialah “jangan sekali-kali membuat Mega marah”, plesetan dari “jangan sekali-kali melupakan sejarah” sebagai mana sering dikatakan Soekaro untuk mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak melupakan sejarah.

Dalam tulisan berjumlah 16 pragraf itu, Hakim menggambarkan Megawati sebagai sosok yang tidak bisa dipungkiri memiliki peran penting dalam kesuksesan Jokowi. Perjalanan Karier Jokowi, menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta dan Presiden Republik Indonesia tidak lepas dari peran PDI Perjuangan. Hakim mengklaim, kesuksesan Jokowi tak lain karena pengaruh Megawati, yang menurutnya, telah merubah dari “tukang kayu” menjadi orang nomer satu.

Dari sana Hakim berkesimpulan bahwa, bagaimanapun, Jokowi harus tetap menjaga kedekatan dengan Megawati. Megawati adalah sosok paling berharga yang harus selalu dihormati. Bahkan di pragraf yang lain ia menyatakan, Jokowi harus mampu membuat Megawati selalu tersenyum.
Selain itu, Megawati juga digambarkan sebagai sosok yang santun. Karena kesantunannya itu, Kata Hakim, ia tak segan-segan mengekang hawa nafsunya untuk mencalonkan diri sebagai presiden demi Jokowi. Keikutsertaan Megawati dalam setiap kesempatan, pembentukan kabinet misalnya, menunjukkan betapa pentingnya posisi Megawati dalam mengawal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. “Tidak bisa dibayangkan jika Jokowi sampai membuat Mega marah,” ujar hakim.

Apa penilaian berlebihan dan tidak didasari pemahaman yang proporisonal dalam tulisan Hakim. Bangunan ide yang kurang utuh akan menyesatkan pembaca pada alur berpikir kurang tepat. Saya menduga, secara moral, Hakim adalah salah satu pengagum Megawati kecintaannya membuat Hakim tidak bisa memberikan penilain yang proporsional.

Setidaknya beberapa hal yang bisa saya lihat kegagalan Hakim dalam membangun gagasannya. Pertama, “Jasmerah” bagi Jokowi. Jangan sekali-kali membuat Mega marah. Pernyatan tersebut jelas mengarah pada satu negara atau kerajaan dengan sistem monarkhi dengan Megawati sebagai seorang raja yang harus selalu ditaati dan dihormati seluruh keputusannya.

Padahal, Indonesia merupakan negara yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara, baik pemerintah atau rakyat jelata harus taat terhadap undang-undang. Terlebih seorang presiden, ia harus taat pada konstitusi itu demi kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, bukan pada golongan tertentu atau Megawati yang kini hanya berstatus sebagai Ketua Umum PDIP.

Dalam kontek umum, Presiden berhak mendapat masukan dari siapapun termasuk Megawati. Selagi masukan itu positif untuk rakyat, Jokowi berhak menerimanya. Sayangnya, Hakim tidak memberikan batasan tertentu, dimana,  Jokowi harus tunduk dan hormat terhadap Megawati. Sehingga Hakim telihat kerdil dan pendapatnya keluar pemikiran yang sempit.

Kedua, penyataan yang sangat berlebihan. Pernyataan tersebut terdapat pada pragraf ke-11, Tak bisa dibayangkan apabila megawati marah pada kadernya. Seberapa besar efek negatif jika Megawati marah, kita tidak pernah tahu, dan tidak dijabarkan olah Hakim dalam tulisannya. Ungakapan yang sangat berlebihan tetapi tidak didukung oleh fakta yang kuat.

Presiden adalah kepala negara tertinggi yang keamanannya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini, Jokowi tidak perlu merasa khawatir atas kemarahan pimpinan partai pengusungnya jika seandainya pendapatnya bersinggungan. Yang perlu dikhawatirkan Jokowi sejatinya menghadapi kemarahan rakyat jika pada satu waktu kebijakannya dianggap tidk berpihak kepada rakyat.

Hakim juga sempat menyinggung tentang kelemahan Jokowi, dimana, ia harus menahan pendapatnya sendiri demi menghormati pucuk pimpinan partainya itu. tetapi dalam kesempatan yang sama ia juga mengakui serinya bersinggungan pendapat antara Jokowi dengan Megawati. Jika demkian, tidak ada dasar jika seorang presiden harus hormat kepada pimpinan partai hanya karena lahir dari partai jika bersebrangan dengan kepentingan rakyat.

Ketiga, pengambilan sampel yang kurang tepat. Hakim menegaskan, bahwa Megawati sangat begitu lihai dalam melihat potensi kader. Dari situ lahirlah banyak kader yang dianggap mumpuni seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Surabaya Tri Riswawati seperti yang dicontohkan Hakim.

Dalam hal ini Hakim kurang jeli dalam melihat perjalanan Risma ketika memimpin Surabaya. Kita tentu masih ingat peryataan Sekretaris DPD PDI-P Jawa Timur Kusnadi yang mengibaratkan Risma seperti “Kacang lupa kulitnya” karena sering bersebrangan dengan fatsun politik PDI-P (Kompas,20/02/2014). Pertanyaan besarnya kemudian, benarkah bahwa gebrakan-gebrakan Risma karena pengaruh kuat Megawati? Lalu kader siapakah  Kusnadi?

Konstitusi Harga Mati

Gagasan Hakim dalam tulisan tersebut jelas kurang kredibel karena tidak didukung oleh fakta-fakta yang proporsiaonal. Kesimpulan yang disajikan dapat merusak pemikiran pembaca yang kurang jeli. Padahal disatu sisi ia mengakui bahwa kedekatan Megawati  dan Jokowi dapat menjadi bumerang. Namun ia tidak menjelaskan bagaimana buomerang itu bisa berdampak pada masyarakat. Sebaliknya ia justru mengarahkan pembaca pada keharusan Jokowi menghormati Megawati, Jasmerah bagi Jokowi.

Jelas sekali, tulisan Hakim lebih bernuansa politis ditengah-ditengah statusnya sebagai akdemisi yang harus berpegang teguh pada logika berpikir dan pengetahuan yang benar.

Yang perlu saya luruskan dan tidak dapat ditawar lagi di sini, bahwa konstitusi harga mati. Bagi setiap warga negara, pejabat pemrintah dan terlebih bagi Presiden Jokowi sebagai kepala tentinggi. Kisruh KPK Vs Polri masih hangat hingga kini. Masyarakat menanti keputusan Jokowi yang harus taat pada konstitusi dan rakyat di atas segalanya.

Miftahul Arifin, Peneliti di Idea Studies UIN Walisongo Semarang

Dimuat di Wawasan, 05 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar