Rabu, 11 Februari 2015

Media Sosial dan 'Sindrom' Popularitas

google.com
Sejak beberapa tahun terakhir Indonesia telah memasuki babak baru dalam dunia teknologi khususnya internet. Jika semula internet hanya bisa diakses oleh orang kota, orang berduit dan kalangan tertentu seperti pejabat sebuah instansi, kini, internet laiknya air hujan di sebuah musim yang melimpah, membanjiri seluruh jagat raya tanpa terkecuali. Kenyataan ini menjadikan masyarakat seperti disulap. Dari yang semula katrok, gagap teknologi, dan tradisional menjadi manusia modern yang dapat mengenal dunia tanpa batas. Internet seperti mengambil peran tuhan yang dapat merubah manusia hanya dengan satu kata: kunfayakuun, jadilah, maka jadi.
 
Alhasil, perubahan besar-besaran telah terjadi, termasuk yang paling menohok adalah gaya hidup yang digambarkan melalui mode berpenampilan atau berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kita mungkin akan tanpak seperti ‘orang gila’ yang lepas olah tawa ketika membandingkan foto kisaran tahun 90-an dengan foto kisaran tahun 2000-an sampai sekarang. Perubahan dalam gaya hidup masyarakat bisa dilihat aktifitas yang tidak bisa lepas dari internet termasuk media sosial.

Dan yang paling masyhur, belakangan ini, internet telah berhasil mendongkrak popularitas seseorang dengan sangat cepat. Bahkan, mereka yang semula tak dikenal, melalui media sosial, ia menjadi terkenal dan akhirnya diundang banyak orang karena keahliannya. Sebut saja ustad Maulana. Dengan gaya ceramahnya yang khas dan unik ia kerap mendapat kesempatan mengisi pengajian di beberapa stasiun televisi. Dari Kalangan artis kita mengenal Raisya, wanita asal solo yang kini menjadi salah satu bintang dalam belantika musik Indoensia karena keahliannya dalam dunia tarik suara yang sempat diunggah di youtube. Berkat bantuan media sosial, keahlian mereka dapat dikenal khalayak ramai dan menjadi daya tawar tersendiri untuk masa depan yang lebih cerah. 

Sindrom popularitas

Kenyataan  itu kemudian menyedot perhatian banyak orang menimbulkan ‘sindrom’ popularitas. Satu gejala sosial yang berjalan dan tidak terkontrol. Ia seolah menjadi candu yang mempengaruhi emosi dan pikiran banyak orang diantara pengguna internet, khususnya media sosial. Munculnya artis dadakan-instan, namun lekang oleh zaman adalah gejala ‘sindrom’  popularitas yang tak terkontrol itu. Tidak ada pertimbangan etis bahwa kreatifitas harus juga dimbangi dengan kontinuitas.

Kita mungkin masih ingat Salahuddin atau Udin, lelaki asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mendadak terkenal karena videonya dengan judul “Udin Sedunia” yang diunggah di media sosial youtube. Masa-masa itu Udin diuntungkan dengan meraup jutaan rupiah karena sempat juga membintangi sebuah film yang berjudul “Udin Cari Alamat Palsu”. Karena tidak adanya kontinuitas dalam kreatifitas, Udin pun kini hanya tinggal nama yang perlahan mulai dilupakan oleh publik.

Perhatian publik juga sempat disedot oleh sosok Norman Kamaru atau Oman, mantan anggota Brigade Mobil berpangkat Briptu yang menjadi terkenal setelah video lip-sync-nyamenirukan lagu India berjudul Chaiyya Chaiyya tersebar di media sosial. Sampai-sampai ia melepas jabatanya sebagai Polisi Gorontalo karena sindrom popularitas. Kini, publik mungkin akan menilai sikap Norman sebagai perbuatan konyol yang karena mengejar popularitas ia lebih memilih menjadi artis  dari pada abdi negara. Tanpa bermaksud menghina, seandainya penulis adalah seorang sutradara, mungin lahir sebuah film yang berjudul “Polisi Menjadi Tukang Bubur”, menandingi film “Tukang Bubur Naik haji”. Dalam hal ini sangat disayangkan, jika seorang abdi negara dengan tugas mulai melayani masyarakat berpindah haluan karena mengejar popularitas untuk kepentingan pribadi yang bersifat hiburan.

“Popularitas yang tak tuntas hanya akan menjadikan hidup menjadi nahas. Media sosial yang hanya digunakan sebagai ajang mengejar populatitas, tanpa dimbangi dengan kontinuitas sebuah kreatifitas akan berbuntut pada kebagagiaan sesaat. Selebihnya, hanya kegagalan dan dosa,” ujar seorang teman.

Media Menawarkan Bakat

Terlepas dari kepentingan ekonomi creator media sosial seperti youtube.com, megavideo.com, metacafe.com,metayoutube.com dan lain-lain, sejatinya hanya sebagai alat bantu untuk menawarkan bakat atau keahlian seseorang. Dengan menyebarkan bakan atau keahlian di media-media itu, publik akan mengetahui bahwa seseorang punya kemampuan tertentu untuk dimanfaatkan. Disini, ada simbiosis mutualisme antara si empunya bakat dengan si pengguna bakat atau keahlian tersebut (baca: masyarakat).

Mereka yang memiliki keahlian akan dimudahkan dalam mensosialisasikan keahliannya untuk dijual pada orang yang membutuhkan. Sebaliknya, si pengguna keahlian akan juga diuntungkan, karena dengan jasa mereka pekerjaan cepat dan mudah tersesaikan. Sebagai contoh, misalnya, creator design logo yang menjual keahliannya lewat media sosial. Para pengguna jasa tersebut  tidak perlu bersusah payah mencari rental pembuat logo seperti zaman dahulu dimana teknologi masih terbatas. Cukup dengan komunikasi lewat email dan transaksi via rekening, pekerjaan akan menjadi mudah tanpa mebuang banyak waktu.

Sepertinya, kita perlu mengamini perkataan Heidegger sebagamana dikutip oleh Fransis Lim dalam Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Manusia dan Alat (Kanisius, 2012), bahwa sebenarnya teknologi bersifat netral karena tidak mengandung tujuan. Dalam hal ini, Teknologi hanya bergantung pada konteks penggunaannya dalam budaya yang berbeda. Masyarakat Indoensia harus dapat memahami dengan cara memanfaat teknologi temasuk internet dengan benar.


Menggunakan media sosial sebagai bagian dari teknologi dengan baik menunjukkan kecerdasan masyarakat di era modernisasi. Teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia dalam bekerja dan beraktifitas dengan orang lain demi kelangsungan hidup dan nyaman. Bukan sebaliknya, untuk menjerumuskan manusia pada sikap individualis yang merugikan banyak orang. Semoga kita menjadi bagian dari orang yang cerdas memanfaatkan tekonologi. Wallhua’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar