Jumat, 06 Februari 2015

Kotak Amal di Hari Jum’at

Ini bukan pertama kali pertama saya melihatnya. Banyak kali aku telah menyaksikan di tengah-tengah sang khotib membacakan khutbah menjelang shalat jum’at. Di banyak masjid yang saya temui juga demikian. Pelan-pelan kota amal secara menghampiri seluruh anggota jamaah. Berjalan dari barisan shaf paling depan sampai saf paling akhir. Ada yang memakai roda sehingga para jama’ah hanya perlu mendorong untuk sampai ke jama’ah yang lain. Ada pula yang tidak sehingga setiap jamaah perlu mengangkat kotak itu untuk berpindah ke lain tangan.

Sebagian orang yang saya temui ada yang merasa enggan untuk memindahkan kotak itu. Ia tetap khusyu’, benar-benar khusyu’ atau berpura khusyu’ saya tidak tahu, mendengarkan khotib membacakan khutbah. Mereka yang demikian berpegang teguh pada sebuah dalil yang mengatakan bahwa barang siapa yang berbicara ketika khotib sedang khutbah maka, la jum’atalahu, tiada jum’at baginya, seperti orang yang tidak melaksanakan jum’at. Jum’at hukumnya wajib. Tidak berjum’at berarti berdosa.

Mereka barangkali memaknai pembicaraan secara lebih luas yaitu bahasa. Pekerjaan memindahkan kotak amal ketika khotib sedang khutbah adalah bagian dari bahasa. Bahasa isyarat. Bahkan dihukumi makruh ketika jama’ah jumat memilih dzikir sendiri dengan tidak mendengarkan khutbah. Kira-kira begitu tafsiran saya terhadap pendapat mereka. Sebagian lagi memperkuat bahwa hal itu bagian dari pekerjaan duniawi yang tidak perlu dicampuradukkan dengan perbuatan ukhrowi, shalat jum’at.

Sejauh pehaman saya, berbicara ketika khutbah, adanya banyak versi ulama memahami. Sebagian lebih menitiktekankan larangan berbicara pada pembacaan ayai suci Al Qur’an. Sebagian yang lain lagi seperti yang sudah saya jelaskan di atas, yakni larangan berbicara pada seluruh khutbah sang khotib dan macam-macam. Masyakarat termasuk juga orang yang saya contohkan memahaminya sesuai dengan apa yang telah mereka terima dari guru, buku, atau yang lain. Berbeda-beda tentunya.

Perhatian saya selalu tetuju pada tangan jama’ah ketika memindahkan kotak amal. Sebagian yang lain ada yang hanya berjasa memindahkan tanpa memasukkan apapun ke dalam kotak. Tidak sedikit bahkan. Barangkali mereka lupa membawa receh atau memang sengaja tidak ingin memberi lantaran tidak punya uang lebih, alias pas pas untuk kebutuhan sehari-hari dalam hidupnya. Mungkin juga ada yang merasa eman untuk menyumbang di masjid. Saya tidak akan mempermaslahkan itu karena hal tersebut adalah bagian hak prerogatif masing masing individu. Dan kalau saya juga jarang memasukkan receh ke kotak amal. Barangkali saya lebih mengikuti alasan yang kedua, ada kebutuhan yang lebih penting. Bahkan kadang saya berpikiran, bahwa saya masih lebih membutuhkan dari pada masjid yang kemungkinan sudah disuplay khusus, baik oleh pemerintah setempat atau sumbangan rutin warga. Oleh orang tertentu pula barangkali saya akan dicap sebagai orang yang tidak suka sedekah atau tidak percaya kemanfaat sedekah, beramal. Tergantung bagaimana orang menilai dan setiap oran punya alasan masing-masing.

Mengalirkan kotak amal ketika hari jum’at barangkali hanya buat tambahan untuk keperluan masjid. Atau barangkali pula karena jasa takmir masjid dengan memberikan fasilitas bagi siapapun yang ingin menymbang. Tapi yang jelas, yang terakhir ini akan merusak  shalat jum’at jika dihadapkan pada orang-orang yang memiliki pemahaman di atas.

Saya melihat tradisi yang sama bagi orang yang menyisihkan uangnya untuk dimasukkan ke kotak amal. Secara sadar atau tidak mereka mesti memanfaatkan kedua tangan. Jika tangan kanan yang memasukkan uang ke lubang ukuran sempit itu, tangan kiri pasti menutupi. Sebaliknya jika tangan kiri yang memasukkan maka tangan kanan akan menutupi tangan tersebut. Barangkali karena satu alasan, yaitu agar orang-orang di samping kanan atau kirinya tidak tahu berapa uang yang dimasukkan di kotak amal. Karena dua alasan barangkali. Pertama, ia merasa malu karena hanya bisa menyumbang sedikit. Kedua, taku dianggap riya’ karena nyumbang sangat banyak. Untuk yang kedua barangkali akan menghadapi dilemma jika tidak berhati-hati. Diperlihatkan bisa saja riya’ dan tidak diperlihatkan bisa saja ujub atau takabbur, membanggakan diri sebagai orang baik yang justru lebih berbahaya dari pada riya’. Semoga kita tidak termasuk kedalam keduanya. Semoga amal yang diberikan murni karena ingin mendapatkan pahala dan ridho disisi Allah swt.

Semarang, 06 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar