Kamis, 05 Februari 2015

Indahnya Hidup Jika Tak Saling Mengusik

Tiada yang lebih baik dari  kita hanya memberi nasehat dari pada ikut campur atas kesalahan orang lain sedang masalah itu sama sekali tak ada hubungan dengan kita. Apalagi sampai mengusik dan menganggap sebagai orang salah nomer wahid. Lantas kita enggan bergaul, menganggapnya buruk dengan mengklaim hanya kita orang baik. Egois!

Ada golongan orang yang pandai berbicara dan meyakinkan sangat baik sehingga siapapun yang mendengar akan percaya dan yakin atas apa yang ia katakan. Tetapi dibalik itu ia menyembunyikan banyak hal yang ketika siapapun mengetahui maka bisa saja ia tak akan lagi menjadi orang yang bisa dipercaya. Secara pandangan sekilas mungkin kita akan menyebutnya munafik ketika kita tahu dibalik itu ada satu, dua atau bahkan banyak yang disembunyikan. Bisa saja kita menyebutnya sebagai sebuah pencitraan karena akan menguntungkan dirinya. Hal itu karena penilain subyektif yang kita lakukan terhadap dirinya. Penilaian objektif terhadap orang tersebut bisa menimbulkan dua penafsiran.

Pertama, jika yang dibicarakan tidak menyangkut atau ada hubungan dengan apa yang ia sembunyikan maka orang yang mendengarkan hanya akan membatasi diri dengan tidak meniru apa yang telah ia lakukan. Tapi hanya mengambil hikmah dari apa yang ia katakan. Para ulama juga sempat menyinggung Khudzilhikmata walau min dzuburil khinziir, ambillah hikmah walau ia keluar dari dubur anjing. Kedua, jika yang dibicarakan ada hubungan dengan kejelekan dirinya maka bisa dipastikan pembicaraan itu bagian dari pencitraan untuk mengelabuhi lawan bicara bahwa ia orang buruk yang ingin dianggap baik. 

Tak ada orang yang murni baik dan tidak ada orang yang murni buruk. Karena dalam diri manusia ada dua dorongan potensi yaitu baik dan buruk. Kita tidak bisa menafikan bahwa dua potensi itu pernah dilakukan oleh setiap orang lantas. Dan kekacauan akan terjadi jika kita tidak bisa memetakan kedua potensi itu, dari sudut mana kita memandang sebagai orang yang tidak mungkin lepas dari hubungan sosial. Barangkali ini hal ini bisa diperkuat dengan kenyataan bahwa karena kebijaksanaan tuhan, seluruh aib kita tidak diperlihatkan kepada setiap orang yang kita jumpai. Kenyataan ini mungkin terlihat absurd. Tetapi, sebagai orang yang masih percaya terhadap agama dan tuhan, kita akan sulit menyangkal kenyataan yang sejatinya hanya ada dalam pikiran itu karena belum ada survey dan kita menemukan data empiris penelitian.

Memetakan dua potensi yang saya maksud ialah dengan tidak menyamaratakan setiap persoalan harus dipandang dalam sudut pandang yang sama.  Salah satu pengibaratan, misalnya, kita akan mungkin akan dianggap salah jika menganggap orang yang tidak mendirikan ibadah sholat sebagai orang yang buruk dan kita enggan bergaul dengannya. Padahal secara laku sosial yang tidak pernah melanggar etika yang ada. Atau kemudian tidak mempercayai orang tersebut ketika bebicara masalah pengetahuan dalam agama. Padahal jika ditelusuri berdasarkan sumber agama, apa yang ia bicarakan benar dan berdasarkan sumber-sumber yang diakui kebenarannya.  

Dan kita mungkin telah banyak melihat kesalahan dalam menilai itu terjadi dilingkungan kita. Dalam sekala nasional kita bisa melihat misalnya bagaimana ulama terkenal seperti AA Gym bisa tidak lagi ngetren hanya karena ia telah melakukan poligami. Atau dilingkungan kita sendiri, seseorang bisa enggan bergaul dengan salah seorang teman setelah kita tahu bahwa ia seorang ‘bajingan’, pemabok, atau ‘penjahat’ wanita. Dan kita membecninya habis-habisan. Atau menceritakan keburukannya pada teman kita yang lain atau setiap orang yang kita temui di jalan.

Dari sudut pandang mana kita menilai akan memepengaruhi cara kita bersikap. Jika kita memetakan permasalahan maka kita tidak akan pernah mengusik keburukan orang lain. Karena kesalahan yang ia lakukan tidak mengusuk dan merugikan diri sendiri atau orang lain. Kita pun akan merasanya nyaman bergaul dan selebihnya kita bisa mengambil hikmah, pengetahuan dan apa yang dia tahu sedang kita tidak tahu. Sebaliknya jika kita menilai dari sudut pandang yang menyamarakatakn setiap kesalahan untuk dijadikan alasan menghujat, membenci dan memutus hubungan, maka tak akan ada keharmonisan sosial karena masing-masing dari kita punya aib dan kesalahan. Dan jika itu terjadi, kita yang juga tidak bisa dinafikan punya aib, akan selalu salah dimata orang karena pandangan demikian kita gunakan.


Maka yang terpenting dari kita hidup di dunia ini ialah bagaimana meningkatkan kompetisi menjadi baik, baik menurut tuhan atau menurut manusia dengan tidak mengusik keburukan orang karena ingin dianggap yang paling baik. Dan sejatinya dakwah agama tidak turun menjadi sebuah paksaan. Melainkan hanya seruan.Tinggal kita mau ambil seruan itu atau tidak, semuanya memiliki konsekuansi sendiri. Sangsi sosial adalah salah satu konsekuansinya. Tetapi jika sangsi itu akan memutus kehamonisan dalam hidup ber-sosial maka alangkah lebih baik jika konsekusnsi itu kita serahkan saja kepada si pembuat konsekuensi. 

Catatan dini hari
Semarang, 06 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar