Senin, 05 Januari 2015

Awal Kata Dari Beberapa Lampiran Huruf, Kata dan Kalimat Yang (telah tak) Berharga

google.com
Teruntuk yang istimewa. Yang mengajarkanku ketenangan. Inilah aku dengan jiwa yang terpotong. Mengajimu dalam huruf tanpa harokat, dalam lafal tanpa sakal, dan dalam kalimat ambiguitas dari sebuah pesan. Ini sebuah catatan. Coretan perjalanan hati dalam sebuah ‘pementasan’. Atau mungkin lebih tepat dengan sebuatan sebuah mimpi dari tidur yang hanya sebentar.


Ini catatan pendek menuju satu perjalanan panjang. Tentangmu, apa yang kurasa, kulihat, kudengar, dan yang aku pikirkan. Langkah dimulai dari rasa yang terlintas, diramu dalam kata menjadi catatan hati yang umum. Ketika mata tak mampu menahan pandang, telinga tak ingin berhenti mendengar, maka pikiran akan mulai belajar menata apa yang diserap oleh kedua indra itu. Engkapun harus berlanjut dalam catatan kedua, ketiga sampai akhirnya menjadi cerita di sebuah senja.

Ah, rupanya aku telah dalam candu. Satu sikap dan tutur lembut juga sempat terekam di sebuah malam. Dan dalam satu perjalanan kamera pengintai mencatatnya sebagai bentuk perhatian. Sejak itu, muncul satu kesadaran akan sikap yang mungkin agak lancang, tak tahu diri, hingga malu sempat dalam rasa yang kurang nyaman.

Engkau yang sempat kumimpikan dalam selintas waktu di masa silam. Aku melihatmu dalam diam, dalam banyak waktu kita bersama. Ternyata benar, engkau seperti yang pernah seseorang katakan. Engkau sering dalam sedih. Akupun demikian karena engkau masih dalam misteri kehidupan. Sisi lain, ruang dan waktu telah menjadikan kita kerap dalam temu. Terutama ketika seolah ada pencegalan rasa. Kataku yang kau sukasepertinya hanya akan menjadi sampah dalam peran di akhir pentas kita.

Aku ingin menulis banyak kata. Namun, rasa yang semakin menyalaitu menjadikannya tak sempurna. Akupun mengakirinya sebelum kata terakhir yang harus engkau baca, aku temukan engkau lewat nada. Bahwa engkau sepertinya dalam duka. “You are not alone. I am here with you,” kataku.


Sejak itu ingingku selalu tidur hanya dengan mimpi indah. Yaitu ketika engkau dan aku dalam nyata, bahwa kita tak sekadar dalam sapa atau senda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar