Senin, 05 Januari 2015

Wajah Polos Anak-Anak Itu

Hari ke-3, catatan ke-5 (Catatan KKN 2014) Warungasem, 03 Oktober 2014


Nampak jelas kepolosan pada wajah-wajah mereka. Sesekali kepalanya menoleh kanan kiri. Di sampingnya ada teman yang terkadang kadang menimpali sesekali ia bicara. Ketika itu tawa tulus mereka lepas, tergambar dari dua bibir yang melebar kesamping. Bersamaan dengan itu, tak henti-hentinya mulut mereka menirukan bacaan-bacan yang dilantunkan oleh kakak-kakak seneornya.
 
Malam itu mereka membaca burdah di sebuah masjid yang tak jauh dari yayasan yang mereka tempati. Lagu yang dilantunkan ala pesantren. Peristiwa itu mengingatkan saya ketika masih ikut nyantri di Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Sumenep atas asuhan K. Mustandji Yusuf (Alm.). Bagaimana keadaan pondok pesantren tidak jauh berbeda satu sama lain.

Hanya saja malam itu saya bersama dengan anak-anak tak berdosa yang telah ditinggal pergi orang tuanya. Aku senang. Kali pertama aku bisa berkumpul bersama anak-anak yatim. Menatap wajah-wajah mereka yang polos. Menyaksikan kebersamaan mereka saat ngaji, walau tidak secara utuh. Dan mendengarkan lagu-lagu mereka ketika membaca Rotib, Barzandjih dan Burdah.

Tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi alasan mengapa aku harus terdampar di desa ini. Desa Warungasem Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Selama kurang lebih 40 hari aku akan berada di desa ini. Terhitung mulai 30 September-07 November 2014 mendatang.

Mereka tinggal di Yayasan Al Mabrur atas asuhan K. Marzuki. Tidak banyak anak yatim yang diasuh beliau. Tidak lebih dari 30 anak. Malam itu ada 9 orang yang terlihat masih polos. Sisanya sudah agak besar. Kisaran umur 10-19 tahun.

Mereka berdiri berjejer. Aku melihatnya satu persatu. Satu anak berdiri di sampingku. Sesekali aku menatapnya. “Kalian semua adalah generasi penerus bangsa. Satu atau dua diantara kalian pasti ada yang menjadi orang hebat,” pikirku.

Usai kegiatan, aku dan beberapa temanku satu tim berkumpul di serambi Masjid. Ada Kyai Marzuki di tengah-tengah kami. Saat itu bertepatan dengan malam jumat. Semua santri makan bersama di Masjid. Kamipun ikut makan atas permintaan Kyai.

Di sela-sela kami makan, obrolan-obrolan santai terjadi. “Kalau soto Madura bedanya apa dengan soto di sini?” tanyanya padaku.

“Kalau di Madura biasanya pakai ketupat, mbah” jawabku.

“Kalau sini ya pakai ketupat bisa pake nasi juga bisa,” timpalnya kyai dengan nada agak guyon.
Setelah itu obrolan pun berlanjut kemana-mana termasuk mengenai anak yatim. Bahwa anak yatim selalu memiliki keajaiban-keajaiban. Ada yang terlihat tidak terlalu baik dalam menangkap pelajaran namun ia punya, dalam bahasa yang sudah masyhur, mata batin. Mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Aneh-aneh kalau dalam bahasa kasarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar