Rabu, 11 Desember 2013

Catatan: Ini Ujian atau Apa?

Perjalanan amat panjang walau jarak tempuh hanya dalam hitungan meter. Kontrakan-Polsek-Kampus-Polsek-Bank-Kontrakan-Bank-Foto Copy-Kampus. Pagi hingga siang itu hanya dalam satu urusan: Beasiswa. Hasilnya masih dalam ketidakjelasan. Bahkan, nampak pada kegagalan. Siapa yang harus disalahkan?  Aku, Tuhan atau Alam? Atau, inikah  yang disebut ujian kehidupan? 


Siang itu aku mendapat kabar; Aku masuk dalam daftar penerima beasiswa asrama. Termasuk beberapa temanku yang lain saat itu juga masuk dalam daftar itu. Padahal, beberapa bulan lalu kontrakku di asrama sudah selesai dan aku sudah pindah ke sebuah kontrakan di sebuah perumahan.

Mengapa aku masuk dalam daftar? Tak ada yang tau pasti jawabannya. Aku dan teman-yang lain hanya menduga, asrama ada lebihan jatah dan aku adalah orang pilihan, mungkin karena aku dan beberapa teman yang lain adalah ketua lembaga. Namun ada pula sebagian bukan ketua lembaga tetapi ia juga tertera dalam daftar. Apa sebenarnya kategori penerima jatah lebihan itu? Tak ada yang tau kecuali Wakil Dekan Bagian Kemahasiswaan dan Kerjasama.

Sebagai ketua lembaga Pers mahasiswa, ada sebagian orang yang sedikit menyalahkanku lantaran aku tidak mengusutnya. Ia sedikit tidak terima lantaran tidak ada ketentuan yang jelas, yang transparan, mengenai kriteria penerima jatah itu. Ia agak sedikit mengoceh, bahkan hampir menuduhku yang bukan-bukan. Karena aku juga dapat jatah lah, dan lainnya.

Padahal sama sekali aku tidak berfikir kesana. Tidak ada ketentuan yang terbuka mengenai hal itu. Tapi bagiku ini hanya masalah sepele dan tak baik jika dibesar-besarkan. Dan lagi pula ini hanya sisa jatah beasiswa untuk mahasiswa yang pernah menetap di asrama. Dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi kepentingan mahasiswa secara umum.

Secara prinsip memang perlu dipertanyakan mengenai kategori tersebut. Dan sekali lagi ini masalah yang terlalu sepele yang bisa saja nanti akan berdampak tidak baik. Dan dalam hal ini aku lebih memilih danpak yang laing sedikit dari pada mempertaruhkan idealisme untuk hal-hal yang sepele seperti itu.

***

Karena namaku terdaftar sebagai calon penerima, aku pun mengajukan berkas-berkas persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah foto copy buku tabungan bank BTN. Berkas itu aku setorkan ke bagian yang bertugas di kantor fakultas.

Beberapa hari setelah itu, aku kembali mendapat kabar dari salah seorang teman untuk mengumpulkan foto copi rekening lagi,  3 lembar dan sudah di legalisir oleh pihak bank. Waktu terakhir pengumpulan hari itu. Aku bergegas, menuju kontrakan yang letaknya tak jauh dari kampus. Ku ambil buku tabungan di tumpukan berkas-berkas kuliah yang lain. Aku menuju tempat foto copi. Setelah itu aku langsung menuju Bank BTN untuk dilegalisir.

“Selamat siang mas, ada yang bisa saya bantu,” sambut teller bank atas kedatangku

“Legalisir, mbak,”

Kusodorkan tiga lembar foto kopi tabungan BTN. Teller bank menerimanya dengan seulas senyum buatan di bibirnya yang kemerah-merahan.

“Ini tabungan apa, mas? Ini tabungan Bank Jateng,” katanya kemudian.

“Waduh!” gumamku. “Maaf, mbak, salah !”

Jiambreeet. Ternyata aku salah mengambil tabungan. Aku kembali menuju kontrakan, mencari tabungan BTN. Nahas. Setelah beberapa lama aku obrak-abrik seluruh kumpulan berkas-berkas kuliah, buku tabungan tidak ketemu. Aku bingung lantaran waktu sudah mepet.

“Ah, sudahlah. Mungkin ini bukan rizekiku,” gumamku. Aku kembali ke kampus. di kampus aku ketemu salah seorang teman yang tadinya juga bertmu di Bank BTN dalam urusan yang sama. Ia lantas menyuruhku untuk melaporakannya ke BTN.

“Eman-eman, masih ada waktu,” katanya.

Saat itu waktu hanya tersisa sekitar setengah jam. Atas usulan itu aku kembali bergegas menuju Bank BTN yang letaknya sekir 200 meter dari kampus. Kata pihak bank, untuk mengganti buku tabungan harus meminta surat keterangan kehilangan dari pihak kepolisian.
“Nasiib, Nasib!”

Saat itu aku sudah menyerah. Waktu sudah mepet. Pikiran tidak karuan. Dan saat itu aku juga harus pergi ke kantor LPM untuk satu keperluan. “Mungkin memang bukan rizekiku”

***

Malam itu, aku dan temanku menapaki malam. Berjalan menuju sebuah moshalla, tempat salah seorang temanku. Aku baru mendapat pinjaman motor darinya setelah puluhan temanku yang lain kuhungi untuk kupinjami. Malam itu aku ingin pergi kesuatu tempat, menengkan diri. Jalan-jalan lah!

Dari belakang tiba-tiba terdengan suara motor. Motor itu semakin mendekat. Mendekat, hingga sampai di sampingku. Berhenti.

“La sampyan mas, mau kemana,”

“Mau ke asrama. Oya tadi aku ketemu sama pak taufik. Katanya kamu juga belum mengumpulkan rekening?”

“Ya mas, tapi rekeningku hilang”

Aku juga belum mengumpulkan. Besok senin terakhir disuruh mengumpulkan ke kantor. Di tunggu jam 8,”

“Owh, gtu ya mas. Ya dah kalo gitu, besok aku mau minta surat keterangan kehilangan ke polsek ngaliyan. Aku mau buat rekening yang baru,”

"Ya sudah, kalo gitu, senin kita bareng-bareng ke kantor,”

“Ok, siap!”

***

“Permisi pak, mau tanya. Kalau ingin membuat surat keterangan sebelah mana ya?”

“Surat keterangan apa ya mas?”

“Surat keterangan kehilangan,pak! Tabungan saya hilang,”

“oh, sebelah sana, mas !” tunjuk lelaki dengan seragam itu ke sebuah ruangan yang ada di belakangnya.

“owh, ya. Terima kasih, pak!”

“Sudah bawa foto copi-annya?”

“Foto copian apa, pak!”

“Foto copi-an tabungan”

“Memang, harus bawa itu ya pak?”

“Ya biasanya memang begitu. Untuk lebih jelas, mas langsung tanya ke dalam saja”

“Oh, ya. Terima kasih, pak!”

Pagi itu, adalah hari pertama aktifitas yang aku lakukan setelah bangun tidur. Aku bergegas menuju Polsek Ngaliyan. Kabar dari teman pada malam minggu itu memberikanku sedikit harapan bahwa jatah beasiswa masih bisa aku dapatkan.

Aku memasuki sebuah ruangan ketika itu. Ada banyak orang di sana. Sedikitnya ada tiga orang petugas dan beberapa orang yang tidak ku kenal. Sebagian aku melihat ia mempunyai maksud yang sama denganku.

“Apa iya, harus membawa foto copi buku tabugan?” gumamku megingat-ingat petugas yang kutanyai ketika di halaman.

Tanpa berfikir panjang, karena kebetulan antre-an masih agak panjang, aku bergegas keluar. Menuju sebuah motor yang aku parkir di bagian depan polsek.

Aku berjalan menuju kampus.  sesampainya di sana, aku meminta foto copi-an tabungan yang sebelumnya telah aku setorkan ke bagian petugas pengumpul berkas beasiswa. Aku juga memfoto copi KTP.

“Barangkali juga diperlukan!” pikirku.

Beberapa menit aku telah kembali ke polsek. Masih terlihat beberapa orang di sana. Aku mengantri, duduk di sebuah kursi panjang. Di sampingku duduk seorang lelaki.

“Mau apa, mas?” sapaan pertama lelaki berpenampilan rapi itu.

“Mau buat surat keterangan kehilangan, pak!”

“Apa yang hilang, mas?”

“Buku tabungan”

“Owh, sama. Punya saya juga hilang,” katanya sembari menunjukkan nomer rekening yang ditulis dalam kertas kecil. Tanpa foto copi KTP atau buku Tabungan. “Ah, sia-sia aku rupanya,” gumamku

Aku mematung beberapa saat. Kulihat polisi itu tengah melayani seorang wanita. Sepertinya juga dengan keperluan yang sama: Surat Keterangan Kehilangan. Sepertinya, orang-orang yang datang ketempat itu punya satu maksud yang sama. Entahlah, kalau demikian adanya,  sudah berapa barang yang hilang dalam beberapa hari ini.

Aku hanya berfikir, betapa banyak data kehilangan di polsek itu. Kepolisian hanya mendata dan merekomendasikan surat keterangan sesuai permintaanya. Tidak lebih dari itu. Barangkali.

Tak lama setelah surat itu selesai, wanita agak muda itu kemudian menjulurkan uang 10 ribu-an ke petugas. Entah itu uang untuk apa, aku tidak tahu.  “Masak iya, buat suratketerangan harus ada uang administrasi?” kata hatiku.

“Oh ya pak,  apa iya, kalau buat surat ketengan harus ngasih uang?” bisikku kepada bapak di sampingku.

“Saya tidak tahu, la kamu mau ngasih nggak, nanti?”

“Gak usah, pak!”

“Ya sudah, saya ngikut saja nanti,”

Aku mengangguk. Pandangannku kembali tertuju ke petugas. Sesaat telah sampai pada giliranku. Petugas menanyakan keperluanku. Kuberi tahu maksud kedatanganku. Kusodorkan KTP dan foto copi buku tabungan. Petugas itu kemudian mendatanya. Bertanya seputar kehilangan itu. aku menjawab. Beberapa menit surat keterangan itu di stempel. Di tandatangani. Dan disodorkan kepadaku. Selesai.

Aku mengambilnya dan pergi tanpa memberi sepeser uang pun ke petugas. Petugas juga tidak memintanya. “Alhamdulillah, ternya tidak ada uang administratif,”

***

Foto copi rekening Bank BTN dan surat keterangan kehilangan dari kepolisian telah kusodorkan ke teller bank.

“Mbak, mau legalisir buku tanbungan. Tapi buku tanbungan saya hilang. Yang ini adalah surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Sekalian saya mau ganti buku tabungan.”

“Satu satu dulu mas, mau legalisir apa mau ganti buku tabungan?”

Sesaat terjadi dialog yang sedikit membuat aku marah kepada teller setelah aku memilih mengganti buku tabungan. Entahlah dia tidak mengeti maksud ku atau ia yang kurang jelas memberikan informasi. Kata wanita berbadan kurus itu, kalau mengganti buku tabungan maka seperti membuka rekening baru. Begitupun harus menabung terlebih dahulu sepeti  biasnya. Setahuku ku. Membuka rekening di BTN minimal harus nabung 50 ribu.
Saat itu aku tidak membawa uang kecuali 3 lembar 5 ribu-an di dompet.

Teller itu juga mengatakan, kalau mengganti buku tabungan maka nomer rekening akan berubah. Jelas bahwa rekening yang lama tidak akan dibutuhkan. Jadi kalau seandainya aku memilih legalisir, maka foto copi tabungan ku yang lama jelas tidak bisa digunakan karena sudah ganti yang baru.

Ia menegaskan, kalau aku memilih melegalisir foto copi buku tabungan, aku akan kesulitan mengambilnya karena buku tabungannya hilang. Sang teller seperti membuat teka-teki yang saat itu sulit aku pecahkan. Pikirku, masuk ia, kalau buku tabungan hilang lantas saldo di dalamnya juga hangus. Lantas apa gunanya ada surat keterangan dari kepolisian. Apa tidak mending langsung buat tabungan yang baru saja?

Karena aku memilih urusan cepat selesai, pertanyaan-pertanyaan itu tidak aku utarakan. Saat itu yang kuinginkan adalah membuat buku tabungan baru.

Aku keluar dari bank menuju kontrakan. Kepada temanku, aku meminjam uang 50 ribu untuk membuka tabungan baru. Setelah bercerita sedikit tentang peristiwa di bank tadi, aku kembali ke bank. Aku menemui tellernya, lagi.

Sebelum kusampaikan bahwa aku ingin membuat tabungan baru, aku bertanya:

“Mbk, kalau misalnya buku tabungan hilang, saldo yang ada di dalamnya juga ikut hangus?”

“Tidak mas, kan nanti kita pindahkan ke buku tabungan yang baru”

“Jiancuuuuuuuuuuk, maksud saya tadi ya begitu? Kenapa tadi dia hanya bilang sulit untuk mengambil saldo. oasyem eg.. ” kataku dalam hati.

Beberapa menit teller bank telah membuatkanku tabungan baru. Beberapa kali ia memintaku menandatangani beberapa slip. Ada slip penarikan. Ada slip setoran. Dan slip-slip lain yang aku tidak mengenalnya.

“Mas, buku tabungannya yang baru, silahkan bisa di ambil di teller sebelah sana” pintanya sembari menunjuk ke tempat pelayanan yang lain di sebelah kananku. Aku duduk dikursi, di depan teller, menunggu antre-an. Sesaat.

“Atas nama Miftahul Arifin!” panggil teller bank.

Aku menuju kehadapannya. Ia meminta KTP untuk membuktikan kebenaran. Setelah aku memberinya uang 10 ribu setelah ia memintanya. Aku menunggu sebentar. Setelah itu, ia memberikan tabunganku yang baru dan slip bukti setoran yang menunjukkan bahwa uang 10 ribu yang saya berikan hanya biaya ganti buku tanbungan.

“Jiancuuuk,” sumpah serapahku dalam hati pada teller yang sebelumnya melayaniku. Ia memberikan informasi yang salah. Tidak setoran awal untuk ganti buku tabungan seperti yang dikatakan sebelumnya. Hanya biaya ganti buku tabungan. Itu saja.

Rasanya aku ingin meremas-remas teller itu. “Jiaaambret” sumpahku lagi.

Aku keluar menuju foto copi. Sesuai permintaan fakultas, 3 lembar foto copi buku tabungan yang sudah dilegalisir. Aku memfoto copi 3 lembar dan kembali ke bank untuk meminta legalitas. 

Setelah aku keluar menuju kampus. Urusan buku rekening sudah selesai walau masih menyisakan sedikit kecewa dalam hati. Gara-gari teller koplak.

***

Di kantor aku menemui petugas mengumpul berkas beasiswa. Ku sodorkan kepada beliau 3 lembar buku rekening yang sudah di legalisir.

“Oya, gimana tadi dengan pihak bank?”

“Saya ganti buku tabungan baru, pak! ”

“Tapi nomer rekeningnya masih sama kan?”

“Nggak, pak! Sudah ganti rekeining baru. Kata pihak bank, kalau ganti buku tabungan rekeningnya juga ganti yang baru, dan rekening yang lama ditutup” jelasku.

Petugas itu sedikit terkejut. Sesaat setelah aku minta penjelasan. Ternyata nomer rekening yang (mau) disetorkan ke jakarta dan sudah mendapat tanda tangan rektor, adalah nomer rekening lama.

Untuk mengajukan ke lagi ke rektor membutuhkan waktu lama. Dan bisa saja kalau tidak segera disetorkan beasiswa untuk penerima yang lain juga ikut hangus. Petugas tidak menjamin untuk memberikan solusi untuk hal tersebut.

Sampai ketika catatan ini aku tulis, solusi belum aku temukan. Entahlah, aku akan mendapatkan beasiswa itu atau tidak. Hanya tuhan yang mentukan setelah usaha cukup aku lakukan. Kuserahkan semua ini padamu tuhan !

Semarang, 09-10 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar