Minggu, 01 Desember 2013

Cintaku Padanya Melebihi Cintaku Pada Tuhan dan Muhammad

Google Photo
Cinta itu tentang rasa. Rasa yang tumbuh dari batin. Nikmat jika terjalani. Dan menyiksa jika tidak terpenuhi.

Kalau judul di atas saya tulis empat tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di sekolah menengah atas dan ketika itu saya masih tinggal di pesantren, mungkin saya telah dikecam banyak orang. Saya mungkin akan dianggap murtad, syirik dan kafir. Bahkan, pak kyai mungkin tidak segan-akan mengeluarkan saya dari pesantren.
Secara kultur, masyarakat di daerah saya menganut Nahdatul Ulama (NU). NU tulen kalau boleh saya katakan. Tidak usah sampai kepada pernyataan di atas, dulu ketika teman saya mau mengadakan diskusi keislaman dilarang habis-habisan karena diskusi tersebut di pelopori oleh Harakah Sunnyah Untuk Masyarak Islam (HASMI), salah satu gerakan islam indoenesia yang tergolong fundamental.

Dalam kultur masyarakat yang demikian, tata tidak boleh memiliki pkamungan yang (agak) berbeda jika ingin diterima di masyarakat. Maka dalam hal ini menjadi menjadi penting menjaga pembicaraan. Dalam arti harus tahu kontek sosial dimana kita harus mengemukakan pendapat.

Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan daerah yang saya tempati sekarang, Semarang, dimana terdapat beragam paham tentang islam. Khususnya di perguruan tinggi IAIN tempat saya belajar, terlebih Fakultas Ushuluddin. Fakultas yang oleh sebagian masyarakat tak jarang dianggap menyesatkan karena materi perkuliahan yang diajarkan identik dengan kebebasan berfikir.

Pemikiran liberal, menggugat otoritas tuhan, membongkar keimanan (walaupun sebagian yang saya sebutkan tidak disajikan secara secara langsung) adalah salah satu materi yang di ajarkan di fakultas ushuluddin. Teman saya pernah berujar, bahwa kuliah di ushuluddin tidak “berhasil” jika tidak pernah mengalami liberalisasi pemikiran.

Alhasil, mahasiswa IAIN khususnya ushuluddin sangat menghargai (walau tidak secara keseluruhan) pluralitas. Pebedaan adalah sebagai rakmat. Yang terpenting bagaimana kedamaian itu berjalan dengan baik walau berbeda iman.

Tulisan ini adalah bagian dari kegelisahan saya sebagai orang awam yang ditakdirkan untuk mengenyam pendidikan di Fakultas Ushuluddin. Saya menduga, sedikitnya ini adalah bagian dari leberalisasi  pemikiran. Sebab, kalau saya menoleh mundur ke empat tahun yang lalu misalnya,  rasanya,  saya tidak akan mengatakan hal demikian. Orang-orang di daerah saya mungkin akan menyebutnya murtad. Begitupan saya ketika itu.

Saya melihat dan bahkan merasakan sendiri bahwa cinta (saya) kepada tuhan tidak melebihi cinta kepada yang lain. Begitupun cinta saya kepada nabi Muhammad.

Seseorang yang mencintai, cinta pada apapun itu, akan menjadikan orang itu selalu ingat kepada yang dicintainya. Cinta kepada seorang wanita akan dibuktikan dengan selalu mengingat, berkorban, bahkan akan melakukan apapun untuk si wanita. Cinta kepada harta akan menjadikan harta segala-galanya. Dimanapun dan kapanpun yang ada dipikirannya hanya bagaimana mendapatkan harta yang melimpah. Begitupun cinta kepada jabatan. Orintasi dalam hidupnya tidak lain kecuali ia mendapat jabatan dan kedudukan tinggi dibandingkan yang lain.

Bagaimana dengan cinta kepada tuhan, bagaimana cinta kepada muhammad dan bagaimana cinta kepada agama?

Rabiah Al Adawiyah, sebagaimana yang saya baca dari beberapa literatur, dan entah benar atau tidak, Ia adalah seorang pecinta sejati . Ia rela tidak berkeluarga karena takut menduakan cintanya dengan tuhan. Ia takut, mencintai makluk tuhan akan mengurangi cintanya kepada tuhan. Hingga, kabarnya, sampai Rabiah Al Adawiyah meninggal, ia lebih memilih hidup sendiri, tanpa seorang pendamping.

Itulah hakikat cinta. Mengingat, mendekat, setia dan berkorban untuk orang yang ia cintai.

Sebenarnya banyak hal untuk mengeksresikan rasa cinta. Begitupun kecintaan terhadap tuhan. Kita tidak harus melakukan apa yang telah di lakukan oleh Rabiah.  Cinta kepada tuhan bisa diekspresikan dengan yang lain. Seperti menjadi pemimpin yang baik, seorang pengusaha yang baik, seorang pedagang yang baik, seorang dosen yang baik, seorang da’I yang baik, seorang pejuang yang baik dalam lain sebagainya.

Tak jarang orang berdalih dengan alasan demikian. Tapi benarkah bahwa apa yang mereka lakukan hanya dan demi tuhan dan agama. Jika diprosentasekan, berapa persen karena tuhan dan berapa persen karena dunia dan nafsu. Hanya mereka yang bisa menilainya.

Saya hanya ingin mengatakan apa yang telah saya rasakan. Bahwa selama ini cinta saya kepada tuhan tidak lebih dari cinta saya kepada yang lain. Cinta saya kepada Nabi Muhammad tidak lebih dari ketika saya mencinta wanita yang menarik perhatian saya. Saya selalu mengingat dia, berusaha berkorban untunknya, merelakan waktu untuk menemani dan menemuinya, menunggu kabarnya walau sekadar melalui pesan singkat dari telpon seluler. Kebahagiaan yang lebih ketika bercakap dengan saya dibandingkan ketika saya mendengar suara azan atau shalawat kepada nabi.

Bahkan tak jarang ketika saya dalam keadaan menghadap kepada tuhan, dia datang dalam bayangan. Betapa marahnya tuhan karena saya telah menduakanya, menyisakan cinta yang sedikit untuknya. Bahkan tidak sama sekali. Beribadah hanya karena kewajiban dan karena sering ditakut-takuti oleh siksanya kelak setelah mati.

Saya berani mengatakan demikian karena ini benar adanya. Betapa tuhan telah banyak membuat janji untuk “kencan” melalui puluhan shalat sunnah yang Ia anjurkan, melalui ayat-ayatnya untuk dibaca dan melaui berbuat kebaikan kepada orang lain. Kalau saya memang benar cinta mengapa saya tidak selalu rindu untuk menjumpainya? Dalam cinta yang berlaku bukan lagi kewajiban, tapi kerinduan dan kenikmatan saat berjumpa.

Jika saya cinta saya akan selalu tergesa-gesa untuk bertemu dengannya. Dan ini tidak terjadi kecuali sebuah janji dengan seseorang yang saya cintai. Cinta saya kepada tuhan tidak melebihi cinta saya kepada seorang wanita.

Mungkin kamu juga mengalami hal yang sama. Dan ketika salah seseorang bertanya, kamu akan berdalih dengan alasan-alasan logis, bahwa apa yang kamu lakukan adalah bagian dari ekspresi cintamu pada tuhan. Kamu akan mengemukakan dalil-dalil yang mendukung pendapatmu, kamu akan bermain kata dan lain sebagainya.

Mencintai atau mengimani tuhan lebih dari sekadar kata. Saya menyebutnya ungkapan perasaan yang disertai tindakan. Perasaan cinta yang tak tertahan seperti ketika saya merindukan wanita yang saya cintai, itulah cara mencintai tuhan dan Muhammad. Tindakan yang dilakukan oleh seorang pecinta, memperlakukannya dengan baik, tidak ingin menyakitinya.

Takut seperti ketakutan melakukan kesalahan, yang mungkin akan membuat saya terpisah jika itu saya lakukan, terhadap kekasih (wanita). Hal ini dibuktikan dengan tindakan yang baik kepada setiap orang tanpa melihat siapa dia. Kecuali tuhan sebagai satu-satunya alasan.

Keimanan saya kepada tuhan yang telah saya lakukan mungkin hanya satu hal. Hal ini sebagaimana telah saya sampaikan dalam tulisan saya yang berjudul “Mengapa Aku Moderat, Antara Takdir Tuhan dan Usaha Manusia”. Aku berangkat ke daerah orang dengan satu keyakinan bahwa tuhan akan meberi saya jalan dalam hidup saya. Akhirnya, selama 3 tahun lebih saya di luar daerah, sampai saat ini saya masih diberi kehiudpan oleh tuhan. Selalu ada jalan untuk memenuhi kebutuhan. Inilah kenikmatan saya, merasakan dengan sepenuh hati bahwa tuhan selalu bersama saya.

Seperti juga yang telah di alami teman saya. Entah benar atau tidak, saya hanya mendengar cerita darinya. Ia merasakan kenimatan ketika membaca  Al Qur’an. Karena kenikmatan itu, ia selalu berhasrat untuk membacanya. Ia tidak bisa meninggalkannya walau hanya satu hari. Apa lagi dua hari, seminggu, sebulan atau bahkan satu tahun. Tentu menjadi hal yang sulit. Inilah cinta. Inilah iman dan sejatinya iman. Yang bermain adalah perasaan yang menyebabkan gelisah jika tidak dilakukan.

Selebihnya, apa yang saya lakukan hanya ritual dan mengikuti kebiasaan orang banyak. Karena ada siksa dan ganjaran atas apa yang saya lakukan. Bukan benar-benar atas dasar cinta dan kenikmatan dalam melakukannya.

Perbuatan yang dilakukan secara terpaksa hanya menjadi beban. Yang ada bukan cinta, tetapi kebencian karena dianggap menggangu aktifitas yang ia cintai.

Secara konsep pengetahuan, saya menyakini apa perintah tuhan dan apa larangan tuhan terhadap saya dan orang islam secara umum. Namun tindakan saya jauh dari itu semua. Saya belum menemukan kenikmatan dalam beribadah yang berujung pada keinginan untuk melakukannya secara terus menerus.

Apa anda juga demikian, saya tidak tahu. Hanya anda yang bisa menilainya sendiri. Semoga tulisan ini semakin memperbaiki iman kita semua. Iman Yang sejatinya iman. Berbuat karena cinta dan kenikmatan saat berjumpa.

Semarang, 01 Desember 2013

Note : Terima kasih saya buat tuhan yang telah memberikan kehidupan buat saya hingga tulisan ini ada dan dibaca oleh orang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar