Sabtu, 05 Oktober 2013

Pekabar dari Negeri Seberang


Pekabarku dari negeri sebrang. Pertemuanku denganmu dalam acara orientasi di sekolahmu beberapa hari yang lalu selalu menjadi lembaran yang terus terbuka dalam setiap ingatan yang mengikuti setiap langkahku. Ternyata tidak begitu mudah menghapus ingatan walau sekadar sisa bekas pandang denganmu yang tak lebih dari banyak waktu kejadian itu kualami. Tak punya alasan hingga aku menyapamu secara langsung ketika itu lantaran kita tak begitu saling mengenal kecuali bekas-bekas masa lalu yang telah usang.


Sembari mengingat-ingat segalanya tentangmu, satu hal yang selalu memaksaku untuk mengingatmu dalam lembaran sejarah masa silam. Sebuah cerita yang telah berlalu dalam ingatan, jauh hari sebelum aku pergi ke negeri seberang. Hingga kini saat aku tak bisa mengetahui kabarmu kecuali bisik kecil dari teman ke teman melaui telpon genggam dengan jarak ratusan kilometer, aku kembali dipertemukan denganmu.

Aku masih ingat ketika itu, secara tiba-tiba bapak  menawarkan kepadaku untuk berjodoh denganmu. Aku juga tak tau asal muasalnya tawaran itu. Tapi yang jelas, kebiasaan di daerah kita, orang tua selalu menjadi alasan menyatunya dua hati di keindahan asmara. Cinta akan tumbuh seiring kerapnya pertemuan memang benar. Terbukti, tak jarang dari tetanggku, mereka menjadi pasangan seumur hidup yang harmonis walau pada mulanya mereka tak begitu saling mengenal satu sama lain.

Entah dari mana wangsit itu bapak dapatkan, hingga aku harus berjodoh denganmu. Ingatakanku masih tajam, semenjak aku mulai mengenal wanita dengan perasaan yang kadang-kadang aneh. Tak sedikitpun aku berkisah tentang wanita kepada bapak, apa lagi tentangmu. Apa lagi untuk mengadu kepadanya agar aku dipinangkan denganmu. Jelas, aku tidak tahu, ia wangsit ataukah tak lebih dari angan-angan bapak yang tak berdasar sama sekali.

Saat itu, usiaku kurang lebih lima tahun lebih tua darimu. Sedikitnya, aku sudah mulai mengenal serumpun cerita asmara yang dilakonkan secara sembunyi-sembunyi oleh kakak-kakakku di pesantren. Malam itu pula dengan pendirian yang kokoh,  aku menolak tawaran yang tengah membuatku kaget itu lantaran aku tahu sama sekali belum terlintas apapun tentangmu.

“Aku tak suka dijodohkan”kataku dalam hati. Ini bukan zaman siti nurbaya. Aku hanya akan bersatu dengan orang yang aku cinta. Pilihanku sendiri. Titik.

Kusampaikan penolakan kepada bapak dengan kata-kata yang sopan dan halus agar tak menyinggung perasaannya. Sebagai anak yang dididik di pesantren,  bagiku, menyakiti orang tua adalah dosa tanpa ampun. Lagi pula itu hanya tawaran. Bukan desakan atau sebuah permintaan keharusan yang harus kupenuhi.

Rupanya bapak tak begitu faham maksudku. Ia yang merupakan sisa-sisa kelahiran masa lampau tetap pada pendiriannya yang tradisioal. Tawaran darinya menyimpulkan keharusan. Itu yang terbaik, menurut bapak.

Berkali-kali aku menghadapnya secara serius dalam perbincangan yang sama lantaran aku tetap pada pendirian semula. Berbagai alasan aku kemukakan pada beliau yang tak mengerti jaman modern. Pada kesempatan yang sama beliau juga punya seribu alasan untuk mematahkan alasanku. Aku melihat keegoisan pada diri beliau yang selalu menganggap baik setiap pendapatnya dan tidak begitu mudah menerima masukan orang lain. Ah, bapakku memang kuno, katrok, tradisional yang hanya tahu sawah dan kandang. 

Untuk kali kesekian bapak kembali memanggilku. Akupun  menghadapnya dengan tanpa rasa kecuali rasa bosan. Siapapun barangkali tidak akan pernah menyukai satu topik dalam banyak kesempatan. Begitupun aku.

Aku kaget ketika tiba bapak bersikap tidak seperti biasanya. Entah lah, barangkali sebelum beliau pulang dari sawah sempat menabrak pepohonan. Atau barangkali karena diseruduk sapi sewaktu memberinya makan di kandang sehingga ia berubah pikiran. Perihal perjodohan, bapak tidak lagi ngotot seperti hari hari sebelumnya. Ia lantas memasrahkan kepadaku perihal wanita yang harus kupilih untuk dijadikan teman hidup.

Bahkan, sebelum perbincangan kami berakhir, tidak lupa beliau memberi saran kriteria seseorang yang harus mendampingiku. Kriteria yang memang seharusnya keluar sebagai nasihat dari orang tua kepada anak.

“kalau mencari calon istri tidak perlu wanita yang sangat cantik. Karena, wanita yang sangat cantik akan selalu dilirik orang lain” pesannya sembari membuka senyum. “Carilah wanita yang bisa menyangimu dan orang tuamu dalam kondisi apapun”

Aku mengangguk.

***

Ketika itu usiamu masih terlampau kanak-kanak. Dan lagi pula aku sudah punya pilihan yang mungkin cukup lebih dewasa darimu. Maka bagaimana mungkin aku dapat menerimamu hanya karena tawaran orang tuaku. Hanya beberapa kali aku melihatmu, bertemu dalam satu ruang hening dari percakapan anak muda, ketika kamu dan keluargamu berkunjung kerumah Mirna, sepupumu yang tak jauh dari rumahku.

Aku juga masih ingat betul, ketika itu kamu selalu mencium tanganku sebagai bentuk kebaktian kepada orang yang lebih tua dengamu. Setelah itu kamu pulang ke rumahmu tanpa meninggalkan bekas yang berarti dalam memori ingatanku. Apakah bisa aku mencintai bocah ingusan yang bagiku belum tahu menahu tentang perasaan.

Kita pernah bertemu lantaran kita sebenarnya masih bersaudara walau bukan hubungan sedarah. Secara nasab, ibuku dan ibu Mirna adalah saudara kandung,  sedangkan bapakmu dan bapak Mirna juga bersaudara. Itulah sebabnya mengapa kita harus selalu bertemu dalam waktu tertentu, paling tidak pada hari lebaran yang datang setiap tahun.  Barangkali pula karena ini hingga bapak menawarkanmu untuk aku persunting agar semakin mempererat persaudaraan dan kekeluargaan kita. Entah lah.

***

Sekarang kamu telah tumbuh menjadi remaja. Sekolahmu di sekolah menengah atas sukar dipercaya jika kamu tidak pernah mencintai seorangpun dari lawan jenismu. Atau paling tidak usia telah mempertemukanmu dengan perasaan aneh jika bertemu dengan lelaki gagah dan tampan di pinggir jalan.

Tak begitu mudah aku mengingat kapan terakhir kali aku melihatmu sebelum kita dipertemukan dalam sebuah acara di sekolahmu beberapa hari yang lalu. Di  sebuah ruang yang hanya dipisahkan oleh statusmu sebagai peserta, dari ruang panitia aku hanya dapat memandangmu. Saat itu kamu dan beberapa kawanmu tengah duduk di kursi sembari mendengarkan beberapa materi yang harus kamu ikuti.

Aku juga melihatmu ketika engkau menari dalam salah satu pertunjukan tari pada malam terakhir acara itu. Pandaganku tidak pernah lepas dari setiap lentikan jemari yang engkau gerakkan bersamaan dengan tubuhtubuhmu yang mulai menjuntai. Gaya bicaramu yang sedikit lugu dengan nada agak manja juga masih kuingat jelas sampai menjelang kepergianku kembali ke negeri seberang. Negeri yang jauh yang telah dipisah oleh lautan itu telah menyulitkanku untuk sekadar melihatmu dari kejauhan.

Ingin sekali aku berkisah banyak hal tentangmu. Namun, bagimu, aku yang barangkali tak lebih hanya orang baru selalu melumat keinginan itu. Hanya hembusan angin yang kuharap bisa menyampaikan sepenggal kisah tentangmu dalam benak mulai beberapa hari yang lalu.

Kisahku pada angin, kisahku pada mendung, kisahku dedaunan yang melilit di atap rumahmu, semuanya, telah berlalu sebelum kepergianku. Kisahku adalah kisah baru,  yaitu kisah tentang wajahmu yang bundar, tentang matamu yang tajam dan kisah tentang perasaan yang beberapa hari ini telah mengganggu pikirku.

Lagi, aku ingin berkisah tentang  penolakan untuk dijodohkan denganmu beberapa tahun silam. Kisah terakhir mungkin tidak kurang dari kisah tangis setelah aku melihatmu telah dirubah oleh waktu.


Semarang, 25 Agustus- 06 September 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar