Sabtu, 12 Oktober 2013

Membunuh, Dibunuh, atau Gila?


Hidup hanya tiga pilihan/Kalau tidak membunuh, ia akan dibunuh/ Jika tidak dari keduanya, maka ia gila.

Ada kabar tak terdengar, menyangkut hidupku. Aku terancam akan, dilukai, diculik, bahkan mungkin akan dibunuh. Semua lantaran sebuah tulisanku yang dimuat di sebuah media online lembaga,  di kampus tempat aku kuliah pada tanggal 07 Oktober 2013 lalu. Tulisan itu berbentuk berita, tentang penggelapan dana yang dilakukan oleh ketua Eksekutif di lembaga yang sama.

Entah dengan apa ancama itu akan terjadi. Pembunuh bayaran? Ilmu ghaib? atau jenis tindakan bejat lain semua masih dalam semu. Bisa saja semuanya hanya gertak sambal.

Sebelum salah seorang sahabat mengabarkan kepadaku tentang hal tersebut, bahkan sebelum berita itu diterbitkan, sebenarnya aku sudah faham sejak awal bahwa berita itu beresiko tinggi sekaligus dengan siapa aku berhadapan. Sadar betul ketika itu, tulisan tersebut memang mempertaruhkan nyawa. Berita-berita seputar kekerasan terhadap wartawan bukan berita baru yang kerap di dengar di pelatihan-pelatihan jurnalistik atau  koran.

Aku berpikir lebih dalam tentang misiku. “Haruskah aku mundur karena resiko, bukankah setiap pilihan selalu mengandung resiko, apapun pilihannya selalu ada kemungkinan, entah kemungkinan baik atau terburuk?”.

Aku memilih menjungjung tinggi kebenaran, menegakkan keadilan. Dan di dalam setiap kebenaran dan keadilan tentu  saja akan ada ke-tidak-benaran dan ketidakadilan yang akan selalu datang mencampuri. Kemungkinan terburuk itu, apapun itu,  mau tidak mau, harus ku hadapi.

Aku menyadari kata orang, dan kataku sendiri: aku adalah mahasiswa. Seorang pemuda, generasi bangsa yang telah melanjutkan studi di sekolah tinggi. Meskipun pada kenyataanya entah orang lain menyebutku sebagai mahasiswa yang benar-benar mahasiswa, atau hanya mahasiswa gadungan. Aku Tak peduli. Yang jelas, aku  punya prinsip. “Aku tidak ingin menjadi mahasiswa yang idealis hanya dalam pikiran namun jauh dari realitas yang dilakukan.

Melakukan hal-hal yang paling sederhana dan bermanfaat bagi orang lain itulah yang terpenting. Katakan benar, jika itu benar. Dan lawan kesalahan itu sekalipun kemungkinan terburuk akan terjadi. Nyatanya, mereka banyak yang berfikir idealis dan sering berkoar-koar tak jelas justru yang banyak terjerembab dalam tindakan tak bermoral, munafik, dusta dan “Jiancuk!” kata orang jawa timur. Aku tahu itu karena sejak awal aku di perguruan tinggi terus memantau apa yang mereka katakan dan mereka lakukan.

Menhadapi ancaman itu, sepertinya tidak layak disebut orang pers jika aku terbungkam. Sudahnya saatnya pers yang mengalami pembungkaman dan ancaman di berbagai perguruan tinggi di Indoensia melakukan perlawanan.

Sebagai manusia masih muda dan belum menikah mungkin aku masih sedikit berfikir tentang diriku jika harus nyawa benar-benar menjadi taruhan. Namun sebagai orang yang punya harga diri dan mempertahankan harga diri pers, aku lebih baik mati daripada kehilangan harga diri itu. Kalau orang bisa mengancam, aku pun bisa demikian. Kalau orang bisa membunuh, aku juga bisa membunuh. Bahkan lebih parah dari apa yang telah ia perlakukan.

Hidup barangkali memang harus lebih keras dari kehidupan yang kita lihat dan kita alami sendiri. Perlawan terhadap kekerasan akan menguji sejauh mana kekebalan manusia dalam menjalani hidup. Yang perlu dicatat: “Setiap orang punya satu nyawa. Sekali dicabut yang satu itu, dia tak mungkin bangkit dan hidup kembali. Orang akan menilai dan tahu  nyawa siapa yang akan lebih dulu lenyap. Orang akan tahu siapa yang akan jadi pemenang dalam medan pertandingan.

Sekalipun nyawaku akan melayang dalam masalah ini, setidaknya aku menjadi pengukir sejarah dan pengobar semangat untuk terus menerus melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap ketidakadilan dan kebejatan.

Kalau dulu aku hanya sebatas mendengar tentang ketidakadilan dari perbincangan tetangga, kini ketidakadilan itu telah kulihat dengan mata kepala sendiri. Ketidakadilan yang bagiku harus segera ditumpas. Ketidakadilan yang dilakukan oleh bocah tengik, anak kemaren sore. Dan kapan-akan menjadi bumerang bagi umat manusia jika dibiarkan dan sudah berhasil dilakukan dalam sekala makro.

Dan sekali-kali memang manusia itu harus membunuh jika tidak ingin terbunuh. Membunuh karena ia akan dibunuh dan bukan tanpa alasan. Orang harus menjadi pembunuh karena ia ingin menyelamatkan diri, masyarakat, dan lingkungan sekitar dari “pembunuhan” massal. Mereka membunuh karena perhatian terhadap lingkungannya yang diperlakukan secara semena-mena. Tanpa membunuh maka dirinya sendiri yang akan dibunuh.

“Bisa saja ia tidak membunuh atau dibunuh. Tapi harus diingat, itu hanya untuk orang gila yang tak sadar akan kehidupan di sekelilingnya.

Membunuh, Dibunuh, atau Gila?


Pilih saja!


Semarang, 12 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar