Sabtu, 20 April 2013

Laku Warisan

Cerpen Arifin
Di depan cermin, Nazar membolak balikkan badannya. Sesekali tangannya mengibas ke bahu, ke paha, hingga ke betis, memastikan tak ada debu atau kotoran lain yang menempel di seragam putih dan celana abu-abunya. Rambutnya nampak mengkilap dengan model mohak. Ia terlihat sangar dengan sabuk hitam berkepala tengkorak. Ditambah lagi dengan tubuhnya yang menjuntai kekar. Ia lebih mirip dengan artis India Salman Khan. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Sementara di pikirannya tersusun banyak rencana.
Diambilnya tas yang terdampar diatas meja di sebelahnya. Ia bergegas menuju halaman, ke sebuah motor yang sedari tadi telah mengaung dan sempat membuat bising. Mina, ibunya, hanya melihat anaknya dari depan pintu pawon, menggeleng-geleng ketika motor yang ditumpangi anak sulungnya itu semakin kecil, mengecil hingga akhirnya tertelan oleh jarak.
Ia menghela nafas panjang dengan perasaan bimbang dan pikiran yang tidak tenang. “Kapan anakku bisa lebih baik, minimal bisa menghormati orang tua”gumamnya.
Ketika begitu ia ingat kepada si Hendri. Kekalutan hati perempuan itu selalu lenyap seketika tatkala ia ingat kepada si bungsu itu. Kabarnya, Hendri anak berprestasi di sekolah. Semenjak duduk di madrasah Aliyah ia memilih tinggal bersama pamannya di kalimantan dan sekolah di sana. Waktu akan menjemputnya pulang menjelang kelulusannya dari Madrasah Aliyah, dua tahun mendatang.
Barangkali karena ikatan batin antara ibu dan anak, sehingga apa yang Hendri lakukan akan selalu menyentuh sanubari seorang ibu. Kalau ia berbuat baik maka seorang ibu juga akan merasakannya. Sebaliknya, jika anak bertingkah tidak wajar, seorang ibu juga akan merasakan hal yang sama. Inilah yang mungkin tidak pernah terjadi pada Hendri hingga ketika ibunya mengingatnya, kegembiraan selalu menghampirinya.
Mina kemudian masuk pawon, melanjutkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
***
Masih lekat di ingatan Mina ketika Rusli kekasihnya mengambil keperawanannya tujuh belas tahun silam. Disebuah gubuk, di atas bukit yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya. Dengan tubuh tanpa sehelai kain, Rusli kemudian menelantarkan Mina dalam gulita. Rusli mengingkari janji untuk menjadikannya sebagai istri.
Belum genap sebulan hubungan sepasang kekasih itu. Rusli kemudian seperti di telan bukit entah kemana setelah mencicipi lubang vaginanya. Dari perbincangan tetangga, diketahui kalau ternyata Mina bukanlah orang pertama yang menjadi korban. Seseorang bercerita, dua malam sebelum kejadian yang menimpa mina, hal yang sama juga di alami wanita desa sebelah.
Kejadian itu membuat Mina trauma. Ia hampir mengalami depresi. Perlahan tubuhnya mulai kurus, bola matanya menarik kebelakang, bibir dan kulitnya mengering lantaran kurang makan. Bukan karena ia sakit gigi atau radang tenggorokan. Melainkan, sembilu seperti telah mengiris kalbunya. Pedih. Amat pedih. Siang dan malam air mukanya mengucur deras, sederas aliran air sungai di belakang rumahnya.
Mina juga sempat melakukan usaha bunuh diri. Kala subuh tiba, ketika orang-orang mulai bersiap menuju masjid. Mina berjalan menuju sungai di belakang rumah. Dengan pikiran kalut, ditatapnya aliran arus sungai. Ia mencebur, berusaha menghabiskan darinya dari kehidupan. Bunuh diri akan menghilangkan segala kesedihan. Atau paling tidak akan menghapus kucuran air mata, menghilangkannya dengan cepat, secepat aliran sungai itu. Gagal.
Seorang menyelamatkannya. Ia adalah pak Tejo, duda paruh baya yang dikenal penjaga masjid. Takmir. Rumah mereka berdekatan. Hanya dibatasi oleh sungai dengan lebar sekitar lima meter. Pak tejo telat ke Masjid karena mendadak harus buang tinja di dasar sungai.
Keadaan sempat riuh ketika teriakan pak Tejo bak kilat di pagi hari. Warga langsung bergegas menuju sumber suara yang tak lain dari dasar sungai. Kaget mendapati mereka terkejut ketika keduanya sempat diseret air sungai. Sontak, sebagian bergegas dengan alur pikiran yang tidak terencana. Ada yang mencari kayu untuk alat pegangan. Sebagian melompat berusaha menyelamatkan mereka dengan tangan kosong. Sebuah kayu besar ternyata menahan tubuh mereka. Selamat.
Dibawalah mereka pulang. Saat itu Marni, ibunya, hanya bisa meraung. Mukanya kuyub dengan air tangis. Andai bapaknya, Abdullah, masih hidup mungkin ia tidak tinggal diam, memburu rusli walau sampai keujung langit.
Sehari, seminggu, hingga sebulan berlalu. Mulai terpancar ketenagan diraut muka Mina yang bunder. Walau masih nampak kurus, kebugaran tubuhnya mulai terlihat. Sepertinya kesedihan itu sudah pergi. Mungkin telah di bawa arus sungai di subuh itu.
Seperti kebanyakan orang, Mina mulai pergi kemana-mana; kepasar, ke warung, kesawah, atau sekadar kesungai untuk mandi dan mencuci. Keceriaan pun terpancar di sosok Marni. Entah lah perasaan orang tua itu: akankah ia masih khawatir akan masalah yang menimpa anaknya beberapa waktu lalu.
Kekhawatiran Marni ternyata tak terbukti. Marni semakin yakin setelah seorang lelaki datang untuk malamar anaknya. Mina menerima lamaran lelaki paruh baya itu.  Tejo. Ya, Tejo, si takmir masjid, “utusan tuhan”, seorang duda yang hidup sebatangkara.
Sayangnya Marni tak bisa melihat kebahagiaan putrinya terlalu lama. Marni yang telah dimakan usia harus pergi utuk memenuhi panggilan tuhan.
Waktu berlalu. Mina akhirnya dikarunia dua orang anak.  Si sulung Nazar dan si bungsu hendri. Selisih umur mereka hanya dua tahun. Hendri dilahirkan setelah dua tahun tujuh bulan dari pernikahannya.
Mina merawat dan membesarkan mereka dengan kasih sayang. Tak pernah ia memarahi, apa lagi memukulnya. Beban Mina bertambah setelah suaminya Tejo mulai dimakan umur. Selain mengurus kedua anaknya, ia harus mengurus suaminya yang hanya bisa berbaring ditempat tidur.
Apa lagi setelah nazar tumbuh tak sesuai harapan. Tak hanya tenaga, pikirannya pun terkuras oleh tingkah laku anaknya. Berbeda dengan Hendri, Nazar menjadi anak nakal. Tak taat kepada orang tua. Bahkan sering membuat onar di mana-mana.
Banyak orang curiga. Desas-desus menjadi satu bumbu penyedap ketika orang-orang makan di warung, mandi di sungai dan perbincangan kecil di pos kamling desa. Mereka menduga-duga kalau Nazar bukan dilahirkan dari pernikahan Marni dan Tejo. Melainkan anak haram, hasil kelakuan si biadab Rusli. Kelahiran Nazar yang hanya bertenggang waktu tujuh bulan setelah pernikannya dengan Tejo semakin memperkuat dugaan mereka. “walaupun itu dapat terjadi, jarang-jarang orang mengandung hanya tujuh bulan” katanya
Sebenarnya mina juga faham itu. Namun, dilumatnya perasaan itu dari kehidupannya, menutupnya rapat-rapat kepada suaminya. Rusli adalah masa lalu yang telah terkubur. Ia tak mau mengingat lagi wajah biadab itu.
Biar bagaimanapun Nazar adalah anaknya, entah hasil dari si biadab Rusli atau si alim Tejo. Anak tetap anak yang harus di sayang tanpa kurang dan di nasehati kalau menyimpang.
***
Gerombolan pemuda sering berkumpul di sebuah buk, di pinggir jalan dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya.
Kebiasaan mereka tak ada ada lain kecuali membuat masalah; menutup jalan, melempar kendaraan. Mereka juga merampok. Tak segan pula mencabuli wanita yang lewat jika dirasa sesuai selera atau hanya demi meluapkan nafsu. Pernah pula mereka mencabuli siswi di sekolahnya. Namun kecerdikan telah membuatnya selalu aman dan nyaman sehingga perbuatan asusila itu terbungkam dengan rapatnya.
Mereka adalah Nazar dan kawannya. Usia mereka memang masih muda, tapi kenakalannya boleh dibilang melebihi dua kali lipat melebihi kenakalan orang dewasa. Taktinya menyimpan rahasia bak pesulap dalam menyembunyikan triknya.
Hari-hari mereka habiskan dengan berfoya-foya: dangdutan, mabuk-mabukan dan banyak hal. Menghabiskan banyak rupiah untuk kegiatan tak berguna. Pun uang yang mereka pakai tak sedikit diperoleh dari cara yang tidak halal.
“nu, kamu jaga disini untuk mengawasi. Kalau ada orang, beri isyarat” perintah Nazar kepada Wisnu disebuah gulita, di halaman belakang rumah salah seorang warga di desa sebelah.
“dan kamu sik, ikut saya masuk” ia menunjuk wasik untuk memudahkan aksinya.
Wasik hanya mengangguk sembari membuntutinya dari belakang. Di tangannya ada senjata tajam jenis pisau.
Mereka mengintai sebuah ternak. Terlihat sebuah lampu kecil yang masih menyala di depan pintu kandang. Mata mereka melirap sana-sini, memastikan tidak ada yang melihat aksinya. “Aman!”pikirnya
Suasana hening. Seperti tak ada kehidupan di sana. Hanya suara kaki samar-samar. Sesekali terdengar desisan ternak karena gangguan nyamuk dan jenis binatang kecil kandang lainnya. Nazar terus melangkah mendekati muka kandang. Sementara wasik terus membuntutinya dari belakang.
Huh! terkejut. Nazar menoleh. Belum sempat ia meletakkan telunjuk kanannya di kedua bibir, sebuah isyarat untuk tidak berisik.
 “Gubrak,,gubrak,,”
Jebakan !
***
Mina menangis tak kepalang tanggung. Seperti kesedihan dan kesusahan memang selalu ditakdirkan untuknya. Menderita karena Rusli, menanggung beban keluarga dan kini ia harus mendengar kabar Nazar diringkus polisi semalam karena kasus pencurian. Wasik, meninggal terkena sengatan listrik. Hendri?entahlah. Mungkin ia ditelan gulita malam. Polisi hingga kini memburunya.
Seluruh warga mendengar kabar mengerikan ini. seperti tak ada topik lain untuk dibahas, kabar nazar menjadi semakin menjadi perbincangan hangat. Ada yang merasa kasihan karena Mina. Ada juga yang tak segan-segan menyukurinya. Diringkusnya Nazar merupakan pertanda baik, akan dimulainya sebuah ketentraman. Tak ada lagi pemabok, pemotong jalan, dan pencuri. Itu artinya, warga tak perlu lagi berpatroli menjaga keamanan.
Sebagian hanya heran dengan tingkah buruk Nazar lantaran seratus delapan puluh derajat berbeda dengan hendri, adiknya.
Seminggu berlalu. Mina berkeinginan menjenguk si sulung itu. Dinaikilah angkot warna merah jurusan kabupaten, sebuah tempat dimana anaknya dikurung di jeruji besi. Mina sedikit tegang dengan pikiran yang tidak karuan ketika sampai di halaman bui. Mungkin karena baru pertama ia ke sana. Disana-sini ada polisi dengan seragam. Tak sedikit pula orang dengan wajah tak jelas. Namun dari seragamnya mudah dijelaskan kalau mereka adalah tahanan.
Sontak wajah Nazar tergambar di bayangnya. Dipercepat langkahnya. Sesegera mungkin ia ingin bertemu Nazar. Ia merindukan bocah “ingusan” itu.
“Mau ketemu siapa bu” tanya seorang petugas
“Nazar”
“Nazar sulasno”ia memperjelas nama anaknya.
“Mari ikut kami”
Polisi kemudian mempersilahkannya masuk kesebuah ruangan. Terlihat kesedihan yang sangat diwajah Mina setelah melihat Nazar dengan seragam biru tua di balik pagar besi. Bukan seragam putih abu-abu seperti yang ia kenakan  setiap pagi. Nazar diam. Lemas. Namun ketenangan masih sedikit terpancar di matanya. Mina melihat itu di mata tajamnya.
Tak lama, tiba-tiba Mina terkejut. Ia melihat laki laki di samping nazar. Wajah jangkung dengan rambut mohak seperti nazar. Ada luka gores di lengan dan wajahnya, sedikit memar. Seperti baru di hantam batu dan kemudian cambuk. Mina merasa tak asing dengan wajah itu. Ya, lelaki itu adalah Rusli.
 Semarang/Maret/2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar