Selasa, 30 April 2013

Konsumerisme Dan Rusaknya Relasi Sosial


Oleh: Miftahul Arifin*
(Dimuat di Rima News, Desember 2012)

Perubahan zaman dari tradisional ke-modern yang ditandai dengan berkembangnya imu pengetahuan dan teknologi telah mengubah gaya hidup masyarakat di seluruh lini kehidupan: budaya, ekonomi, politik, idiologi dan lainnya.
Gaya hidup konsumtif yang cenderung menihilkan nilai-nilai sosial, tak pelak,  turut andil sebagai akibat dari globalisasi itu. Konsumerisme semakin lekat dengan kehidupan masyarakat, tak hanya pada masyarakat kota. Tradisionalistik sebagai ciri masyarakt desa, makin hari, makin tak terlihat.
Barangkali ini ada kesamaan dengan apa yang pernah disinggung oleh Hassan Hanafi. Bahwa pengaruh westernisasi tengah mengancam peradaban umat manusia, tak hanya pada kebudayaan manusia dan konsepsi tentang alam. Melainkan, telah merambah pada kehidupan sehari hari (Hassan Hanafi, 2000). Masyarakat bukan lagi masyarakattradisonal yang memelihara tradisionalistik dan bukan pula masyarakat modern yang memiliki  ciri modernitas. Masyarakat telah kehilangan identitas dirinya.
Handphone
Handphoneadalah salah satu produk modern yang bisa dianggap paling laris di seluruh seantoro dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Ia telah menjadi kebutuhan pokok setiap orang. Dengan handphone, orang mudah berkomunikasi, sekalipun jarak tempuh puluhan bahkan ribuan kilometer. Orang pun beramai-ramai membeli handphone.
Bagi masyarakat indonesia, handphone tak hanya sekadar sebagai alat komunikasi. Tetapi, ia menjadi semacam gaya hidup dan penentu identitas sosial. Orang akan dianggap “gaya” dan “gaul” jika yang digunakan adalah handphone “bermerek” dengan harga mahal. “jangan sampai orang-orang indonesia diberi tahu handphone keluaran terbaru kecuali akan dilahap habis dalam waktu sekejap” ungkap seorang teman kepada penulis. Inilah gaya hidup masyarakat Indonesia yang lebih mementingkan gaya hidup dari pada kualitas diri.
Lebih parah, handphone tidak dapat berfungsi dengan benar. Jamak pengguna handphone tidak menggunakannya secara proporsional, tidak sesuai dengan etika sosial. Handphone kerap menjadi alat bantu melancarkan modus penipuan dan kejahatan. Apa lagi setelah muncul model-model baru (tentu, dengan modal yang baru juga) dengan beragam fitur semisal Blackberry.
Komunikasi dengan menggunakan Black berry sukar dilacak oleh orang lain sebab servernya bukan di dalam negeri. Hal ini juga lah yang menyebabkan para koruptor tak mudah teridentifikasi oleh penegak hukum di Indonesia. Chat dengan Black Berry terbatas hanya dengan orang tertentu yang sulit di lacak pihak lain.
Bahaya Hidup Konsumtif
Konsumsi, menurut Yasraf Amir Pilang, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya(Yasraf Amir Pilang, 2004). Ada yang berpendapat, pengertian konsumsi tersebut menjadi bingkai seorang untuk memahami alasan mengapa orang terus menerus melakukan konsumsi. Objek konsumsi yang telah menjadi bagian internal pada diri seseorang akanberpengaruh terhadap pembentukan pribadi seseorang.
Dari sini, pola hidup  konsumtif bisa dipandang amat berbahaya. Ia akan cenderung menihilkan nilai-nilai sosial untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.
Dalam masyarakat konsumtif, identitas sosial bukan diukur melaui sejauh mana seseorang dapat menerapkan nilai dan norma yang berlaku. Melainkan sejauh mana ia dapat mengimbangi pola kehidupnya yang tengah berkembang dalam masyarakat tersebut. Asal penampilan oke, banyak duit, walaupun secara etis amburadul, ia akan dinilai lebih karena mengikuti tren yang tengah berlaku. Pun relasi yang dibangun biasanya hanya berdasarkan kedudukan semata.
Sukar ditemukan, masyarakat yang di atas rata-rata secara ekonomis, bergaul dengan orang miskin. Pergaulan dengan orang yang lebih rendah dinilai akan menurunkan derajat: gengsi.
Mereka lupa akan lingkungan karena asik dengan mempersiapkan atribut diri. Anggapan masyarakat internasional bahwa Indonesia adalah pasar yang menjanjikan profit besar tak lain merupakan satu interpretasi sebagai akibat dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang bersifat konsumtif. Gaya hidup seperti ini menjadi sebab semakin terpuruknya masyarakat indonesia, di satu sisi.
Padahal, salah satu prinsip hidup bermasyarakat adalah semakin meningkatnya integritas sosial sehingga timbul kesetaran dan kenyaman satu sama lain.
Ketika masyarakat cenderung hidonis dengan gaya hidup yang “lahap” dengan barang produksi, maka ia akan berusaha sekuat hati dan tenaga untuk memenuhi hasratnya. Ditambah dengan tuntutan sosial, cara negatif tidak menjadi alasan asal identitas diri tetap terjaga. Pola hidup yang “rakus”, sehingga, apapun akan ia lakukan untuk mewujudkan hasrat diri.
Masyarakat seperti ini adalah kelompok masyarakat, dimana, ia tak lagi melakukan relasi secara universal. Komunikasi hanya berdasarkan kedudukan yang setara. Tak ada kesempatan komunikatif untuk orang di luar golongannya. Akhirnya, kekayaan dan kehidupan yang layak hanya berpihak pada orang-orang tertentu.
Kecendrungan semacam inilah yang menjadikan masyarakat kita seperti yang dikatakan oleh Rhoma Irama dalam salah satu lagunya; yang kaya makin kaya,  yang miskin makin miskin.
Sebagai orang terdidik, tentu kita tidak menginkan hal itu. Kesetaraan masyarakat atau minimal keyaman hidup satiap orang menjadi salah satu cita-cita mulia bangsa ini yang harus kita junjung bersama-sama.
________________________________________________
*Peneliti Idea Studies dan Aktifis SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar