Minggu, 14 April 2013

Alun Alun Sepi


Pagi yang berbeda. Matahari menyambut wajah Didit lebih pagi dari biasanya. Ada kesenangan yang mungkin tiada mendua, bercampur gelisah, rindu dan rasa penasaran hingga kantuk tak lagi melesat di matanya. Padahal, jam menunjuk angka tiga lebih lima belas ketika Didit meninggalkan laptopnya menganga sendirian di atas meja, di samping ranjang tadi malam.
“sampai ketemu besok, sayang”
“Ia, sayang. Aku sudah tidak sabar ingin menemuimu”
Percakapan terakhir didit melalui aku facebook seolah membuat tuhan berbaik hati hingga kesenangan seolah hanya ia yang merasakannya. Kelopak Didit nampak mengecil karena terlambat tidur malam. Tetapi bisa dirasakan ada kebinaran di kedalaman hatinya. Sebisa mungkin ia akan menyingkat waktu sehingga rencana pertemuan dengan Ninis bisa dilakukan saat itu juga.
Namun, semua itu tak lain hanya sekadar khayal yang tak bisa diwujud. Sebaliknya, perputaran waktu makin melamban. Didit tak sabar ingin bertemu dengan sosok wanita cantik itu dalam dunia yang sebenarnya. Tubuh Didit seratus enam puluh derajat lebih lamban dari pikirannya. Taman, mall, pantai dan alun-alun telah disambanginya lebih dulu ketika kakinya baru melangkah menuju kamar mandi.  Beragam rencana lain bercampur bersama kesenangan di pagi itu.
Usai dari kamar mandi, layar handphone didit menyala. Diraihnya cepat-cepat handphone yang tergeletak di ranjang. Satu pesan diterima dari ruhut.
“dit, aku, Rifki, Sisa, dan Tanti mau kepantai nanti sore. Kamu ikut nggak. Sekalian kita mau ngomong sesuatu sama kamu”
“sory bray, nanti sre aku ada janji. Memangnya mau ngomong apa?”
“penting! Pokoknya kamu harus ikut”
“tapi aku beneran gk bisa hari ini”
“Memang, acaramu seberapa penting dari dari kita2”
Didit bimbang. Ada pertempuran dahsyat di benaknya, antara memilih sahabat yang terkadang hanya bikin jengkel dan menemui Ninis, kekasihnya. Setelah beberapa saat didit menemukan keputusan.
“Maaf bray, tapi nanti sre aku gak bisa ikut. kalau perginya bsok sre ja gmn?”balas didit kemudian setelah sesaat melepas pikir
Nanti sore adalah rencana pertemuan awal didit dengan Ninis. Kekasih yang didapat dari dunia maya beberapa bulan yang lalu. Didit tidak ingin melewatkan kesempatan berharga itu. bagi didit, jalan-jalan di pantai akan lebih romantis jika didampingi seorang kekasih. Jalan dengan teman-teman tak lebih menarik selain hanya mengisi waktu luang ketika mumet dengan tugas-tugas kuliah.
Tak lama kemudian handphone didit bergetar. Pesan dari ninis.
“sayang, sory ya, kayaknya kita nggk bisa ketemuan nanti sore. Aku ada keperluan mendadak”
Didit seketika lemas. Rencana batal. Rasa kecewa dan kerinduan bercampur jadi satu setelah pesan singkat dari ninis selasai dibacanya. Dipandanginya pesan di handphonenya berkali-kali, berharap ia salah membaca, atau pesan itu bukan dari Ninis tetapi dari teman yang lain.
“ada acara apa say? Trus, kita ketemunya kapan,,”balas didit
Didit terdiam. Wajahnya menyudut  ke tembok di depannya. Entah, apa yang telah bergelantungan difikirannya. Dalam waktu singkat handphonenya kembali bergetar. Cepat-cepat matanya tertuju ke arah layar.
“Pesan terkirim”
Didit merungut menyaksikan kalimat itu nampang di handphonenya, mengganggu alur pikiran dan perasaannya. Ia lupa kalau dua hari yang lalu ia mengaktifkan laporan pengiriman setelah beberapa kali ia sempat sedikit kesal kepada Ninis. Ninis tak membalas pesan dari didit yang sebenarnya belum sampai. Didit tidak ingin kesalahfahaman yang telah berlalu itu terulang kembali.
“Besok ya,,”
“ya”
Hari khusus yang dipersiapkan untuk Ninis tertunda. Ada perasaan kecewa, namun tidak sampai membuat ia kesal. Hanya gangguan teknis. Persoalan kecil seperti ini hal biasa. Didit paham itu.
Didit berdiri. Ia berjalan menuju lemari pakaian. Air yang menempel punggungnya sudah nampak mengering. Tak terasa kamar mandi telah berlalu begitu lama. Di depan cermin yang menempel di daun pintu lemari, sekilas didit melihat tubuhnya yang belum mengenakan baju. Ia kemudian berlalu dari kamar setelah beberapa saat mengenakan jeans hitam dan kaos warna hijau.
Sambil berjalan keluar rumah, didit mengirim pesan kepada ruhut.
“Ke pantai mana bray, aku jadi ikut”
Tak ada jawaban. Dari sebrang, dengan sedikit acuh, ruhut membaca pesan dari didit. Ada perasaan kecewa. Seorang teman yang lebih mementingkan seorang wanita dari pada temannya sendiri.
***
Sejak kematian Menda, kekasihnya, Didit lebih akrab dengan sapaan si jombo. Begitu sulit ia mendapatkan kekasih. Padahal teman wanita di kampusnya tidak cukup untuk hitungan jari. Semuanya akrab dengan Didit.
Masalahnya, Didit tidak bisa berkutik bila dihadapkan dengan perasaan. Ia seolah kehilangan bahasa untuk sekadar bercakap bila bertemu dengan wanita yang disukainya. Hanya getaran dahsyat dari kedalaman hati yang sesekali membuat wajah memerah dan salah tingkah. Usaha memikat hati wanita selalu gagal karena alur komunikasi terganggu.
Menda adalah masa lalu yang hanya tinggal kenang. Ia meninggal karena kecelakaan. padahal, hubungan mereka baru berjalan lima bulan sebelum truk menghantam motornya ketika perjalanan menuju kampus. Didit mendapatkan Menda karena bantuan salah seorang temannya.  Kebetulan saja si wanita itu juga punya perasaan yang sama kepada Didit.
Setelah itu, tidak jarang teman-temannya melempar ejek dan gurauan lantaran didit tak punya pacar. Menganggapnya bencong, homo, dan kata jelek lainnya. Namun, dihadapinya ucapan itu dengan rasa bangga walau sebenarnya menyimpan sengatan yang dahsyat di kalbunya. Kalau tidak bisa mengkondisikan diri, bisa saja Ia mengantarkan genggaman tangan ke muka kawannya itu.
“wanita hanya bikin repot. Mending jomblo, bisa bebas tanpa harus terikat”belanya di suatu hari.
Sementara di kedalaman perasaan, Didit memikirkan masalahnya sendirian. Buku panduan “cara cerdas memikat hati wanita” tak cukup tangguh mengubah perasaan rikuhnya di hadapan wanita pujaan hati. Mungkin baginya, wanita itu adalah bidari yang tak bisa diterjemahkan dalam bahasa apapun.
Waktu berlalu, didit mulai mengerutkan jidad. Merasa tak tahan dengan kejombloan dan terpaan temannya itu, Ia memutar otaknya dua ratus enam puluh derajat; mencari solosi untuk masalah psikis yang ia hadapi.
Facebook. Didit punya ide melalui facebook. Ya, media sosial modern yang bernama facebook ternyata menjadi alat pembelajaran didit. Dengan facebook, Didit ingin belajar mencuri hati wanita. Karena kata orang, tak butuh bertemu hingga wanita bisa terpikat. Ia hanya butuh kelenturan lidah dalam mengolah kata. wanita bisa didapat melalui rayuan gombal. Seorang wanita bisa luluh karena kata manis para lelaki. Ahay! Didit optimis.
 “Hai cewek,,,”
Didit mulai beraksi. Hari tanpa facebook bagai pagi hari tanpa sarapan. seperti kopi tanpak kretek. Sudah tanpak barisan nama-nama wanita di daftar chatnya. Ada yang sedang aktif ditandai warna hijau. Ada pula yang hanya putih polos. Didit ingin menjajakinya satu persatu.
L..” balas akun facebook yang bernama Nana kemudian. Didit kaget, sedikit kesal. Ditutupnya langsung kotak komunikasi dengan cewek itu.
Kepada akun facebook yang bernama Tantri didit mengirim pesan. “Lagi sibuk apa neng?”
Didit diam menunggu jawaban. Tak lama, ada tanda-tanda tantri merespon. Nampak jelas dibagian kanan kotak chat, “tantri sedang mengetik”. Mangsa masuk perangkap. Pikirnya.
“Ol ajjha”balas tantri singkat.
“Ol dimana?”
“di kamar, masak di WC”
Jidad Didit mengkerut, ia kembali memutar otak, mencoba memahami karakter si cewek sembari mencari-cari balasan yang tepat.
“kok galak  banget si neng?”balasnya kemudian.
“masalah buat lho? LLL
Ah, dua cewek raib, gagal masuk perangkap. Didit memilih menutup obrolannya. Ada perasaan tak nyaman berbincang dengan cewek yang menurutnya galak.
Tetapi Didit tidak khawatir. Masih banyak cewek yang belum dicoba di kotak obrolan. Kalau pun semuanya gagal, masih ada lebih dari seratus, seribu bahkan berjuta-juta. Ia bisa menambahkan sebagai teman sebanyak kouta yang diinginkan.
Dilakukannya hal itu terus menerus. Betulah kegitan Didit setiap hari, di samping mendapat terpaan kawannya yang sesekali membikin jengkel.
Pada suatu ketika didit telah akrab dengan cewek yang yang bernama Ninis. akun facebooknya bernama “Ninis caem”. Informasi di dinding, cewek itu sekampus dengan Didit.
Hari berganti hari, obrolan dengan Ninis berlangsung begitu lama. Mulai dari perkenalan, gurauan, ejek-ejekan hingga akhirnya merambah perasaan. Mulai dari tukaran nomer, sms an hingga terfon-telfonan. Ada rencana untuk saling bertemu di dunia nyata.
“benar kata buku, cewek itu mudah didapat asal punya lidah yang lentur”gumamnya
Dengan Ninis didit merasa dekat. Yang semula berniat untuk latihan, Didit terbawa kesungguhan. Ditambah lagi ayunya cewek itu. Tak ada kebohongan kamera pada foto profilnya. Sekalipun ada, paling hanya sedikit. Itu pun tidak akan mengurangi kecantikannya. Ehem.
***
Celana jeans hitam dengan kaos hijau. Didit tampak bersemangat. Akhirnya sampai juga waktu yang dinantikan. Pertemuannya yang sempat tertunda itu akan segera terlaksana. Keceriaan tampak diwajahnya yang manis. “Jomblo akan benar-benar berakhir”katanya sambil memoles-moles rambutnya dengan minyak. Mohak.
diperhatikannya dengan teliti wajah dan penampilannya, memastikan tidak ada yang kurang sedikitpun. Di depan cermin ia berdiri. Jurus ketampanan ia kerahkan semuanya. Ia berlalu meninggalkan kamar menuju halaman rumah.
Tak lama, ia menaiki angkot jurusan kota. Pertemuan mereka tidak jadi di pantai. Tetapi, di alun-alun. Alun-alun lebih indah diwaktu sore. Remang-remang lampu ketika sampai malam hari akan menambah kehangan sepasang kekasih yang baru ingin mencurahkan asmara. Mereka akan bertemu, melepas kerinduan, menghilangkan penasaran, menelan kegelisahan dan sebagainya. Pokoknya mereka merencanakan sebuah kepuasan satu sama lain.
Setibanya alun-alun, didit menuju ke sebuah kursi di bawah pohon cemara. Didit meratakan pandangannya ke seluruh penjuru alun-alun. Ada banyak orang di setiap sudutnya. Mereka berpasangan, menambah perjalanan waktu semakin melambat. didit mulai tak sabar. Ada perasaan cemas dan degdegan.
Belum ada tanda-tanda kedatangan ninis setelah beberapa menit berlalu. Mungkin ninis telat. Didit masih menunggu. Ia terus menunggu.
Hingga senja diganti malam, ninis tetap tidak kelihatan. Didit cemas. Ia kemudian menghubunginya melalui seluler. Berkali tidak ada jawaban. Koneksi terakhir, Ninis me-reject-nya.
Ah sial! Didit kecewa. Badannya lemas tanpa semangat, hatinya remuk, perasaannya hancur. Ia kemudian pulang menyusuri alun-alun yang mulai menyepi. Sesepi hatinya malam itu.
***
Sebelumnya.
Di pantai, di sebuah meja, di bawah pohon, Ruhut, Rifki, sisa  dan tanti menikmati pemandangan pantai bersama. Mereka tengah menikmati liburan pekan ini. Dari kejauhan mereka tanpak bercakap satu sama lain.
Salah satu perbincangan mereka tak lain tentang Didit. Mereka sebenarnya merasa kasihan sama didit. Ajakan ruhut ke pantai dua hari yang lalu tak lain untuk mengatakan yang sebenarnya bahwa Ninis tak lain adalah  Sisa, temannya sendiri.
Namun kecewa mereka rasakan setelah Didit lebih mementingkan wanita dari pada sahabatnya. Mereka kemudian sepakat mengibuli didit sampai pada titik klimaks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar