Minggu, 11 November 2012

ANATOMI KEKERASAN PEREMPUAN

(Dimuat di Koran wawasan, rabu 14 juni 2012)

Ditengah banyaknya terobosan hukum yang berpotensi melindungi hak-hak perempuan, kekerasan masih kerap terjadi.  Perlakuan tak wajar sering kali menjadi kebiasaan buruk kaum lelaki. Dari sini, nasib perempuan tak ubahnya kucing, yang terkadang dielus dan terkadang pula dibuat mainan. Bahkan tak jarang kekerasan yang dialami kaum feminis berbuah
pada kematian.
Sungguh ironis jika kaum lelaki yang menurut beberapa sumber, baik agama maupun penelitian, diberi kemampuan lebih di beberapa aspek
semisal tenaga, belum tertransmisikan secara proporsional. Untuk melindungi perbuatannya itu, tak jarang doktrin agama dijadikan instrumen untuk membenarkan perbuatan mereka. Yang terakhir ini kerap dilakukan oleh mereka yang sudah mengarungi bahtera pernikahan. Padahal, Jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya perbuatan itu, disadari atau tidak, adalah bukti rendah dan piciknya kaum lelaki.

Penyebab Kekerasan
Dalam menganalisa penyebab kekerasan seksual, Abdul Wahid dalam buku Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan menyebut ada tujuh sebab kekerasan perempuan. Pertama, adanya pengaruh perkembangan budaya. Kondisi masyarakat yang kurang menghargai etika berpakaian rapi dan menutup aurat mendorong terciptanya kekerasan.
Kedua, berkembangnya gaya hidup dan pergaulan lawan jenis yang bebas. Sehingga hubungan tanpa batas yang tidak mengedepankan etika menyebabkan Seduktif rape. Ketiga, rendahnya pengamalan terhadap norma-norma keagamaan. Nilai agama semakin terkikis. Bersamaan dengan itu, pola-pola relasi horizontal semakin cendrung menafikan peran agama.
Keempat, rendahnya tingkat kontrol masyarakat. Berbagai prilaku yang dianggap menyimpang, melanggar hukum, norma kurang mendapat respon dan pengawasan ketat dari unsur-unsur masyarakat. Akhirnya, peluang untuk melakukan tindakan tak terpuji semakin mendapat ruang yang lebih luas.
 Kelima, adanya putusan Hakim yang kurang adil. Misal, putusan yang cukup ringan pada pelaku kekerasan. Putusan ini akan mendorong oknum-oknum lain untuk berbuat keji. Ketakutan akan sangsi hokum akan berkurang sebab ringannya sangsi yang diterima.
Keenam, ke-tidak-mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu. Nafsu dibiarkan mengembara dan menuntut untuk dicarikan kompensasi pemuasnya. Ketujuh,  tingginya keinginan untuk melampiaskan balas dendam terhadap sikap, ucapan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.
            Disisi lain, Stigma lemah bagi perempuan dibanding lelaki, tak pelak, juga mendorong timbulnya kekerasan. Seorang lelaki yang enggan mengindahkan tata nilai dan norma merasa memiliki kekuasaan untuk mewujudkan hasrat yang tengah membara. Akhirnya, pemaksaan menjadi terobosan utama ketika negosiasi gagal diwujudkan. Sehingga, kekerasan pun terjadi.
Sebenarnya ihwal kekerasan ini merupakan fenomena klasik. Kita tentu masih ingat, betapa kaum perempuan pada masa jahiliyah disiksa, bahkan ada yang dikubur hidup-hidup. Datangnya islam di muka bumi tak lain untuk membela persamaan derajat dan penghormatan yang tinggi bagi kaum wanita.
Kini, islam telah menyebar dan mengisi seluruh peradaban manusia. Maka satu konsekuensi yang seharusnya terjadi adalah enyahnya insiden-insiden dari kehidupan manusia. Apa lagi jika ditambah dengan semakin gencar  pembelaan terhadap perempuan yang digadang oleh berbagai pihak semisal Komnas Perempuan dan gerakan Feminisme. Kekerasan seharusnya telah menjadi sebuah history yang telah berlalu.
Namun, fakta dilapangan mempertontonkan, gencarnya pemebelaan itu berbanding lurus dengan kekerasan yang terjadi. Bahkan peran lembaga-lembaga itu nahas, tak membuahkan hasil yang maksimal. Kurva peningkatan kekerasan yang terjadi setiap tahun menjadi bukti kongkrit kurang maksimalnya fungsi lembaga anti kekerasan.
Data Legal Resourses Center Keadilan Jender dan HAM (LRC KJHM) menyebutkan kekerasan terhadap kaum wanita khususnya jawa tengah, periode 2010-2011, meningkat. Pada tahun 2010 kekerasan berjumlah 1.118 kasus, dan meningkat menjadi 1.280 kasus pada tahun 2011, 40 diantaranya meninggal. Selama periode Januari-Februari 2012 tercatat 322 kasus kekerasan (SM 09/03/2012).
Sementara, Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2011 yang tersebar di 33 provinsi menyebut ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2011. Jika diurai kekerasan yang terjadi 95.62 % terjadi di ranah domestik, 4,35% terjadi diranah publik dan 0,03% di ranah negara. Dalam ranah usia, rata rata mereka berumur 25-40 tahun. Sebanyak 87 kasus dialami perempuan dengan orientasi seksual, 4.335 kasus adalah kekerasan seksual diantaranya kekerasan diruang publik seperti pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual prostitusi dan pornografi yang berjumlah 2.937 kasus.
Terobosan Baru
 Seluruh masyarakat tentu menyadari betapa kondisi kaum hawa laiknya hewan piaraan yang di perlakukan secara tidak bebas dan dimanfaatkan bila diperlukan. Ibarat kata pepatah, “habis manis, sepah dibuang”. Bahkan sebagian mereka terus di intimidasi agar tak mau mengungkit apa yang terjadi pada pihak yang berwajib.
Jelas bahwa kekerasan terhadap kaum wanita merupakan tindak kriminal dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Amanat Undang-undang juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kenyamanan dan perlindungan hukum. Implikasinya, upaya perlidungan terhadap kaum perempuan itu, secara institusional mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah.
Saatnya pihak pemerintah menemukan trobosan baru sebagai langkah antisipatif meminimalisir kekerasan yang makin mengemuka belakangan ini. Lembaga anti kekerasan yang dibuat pemerintah bukan sekedar menerima laporan kemudian mengkalkulasi angka kekerasan yang terjadi setiap tahun. Berbenah diri dengan melakukan evaluasi secara continue mutlak diperlukan. Bahkan mereka dituntut terjun langsung dalam menindak lanjuti insiden buruk yang menimpa kaum hawa.
Bersamaan dengan itu juga, kaum perempuan harus berani bangkit, menolak kekerasan itu. Dalam bahasa Imminarti Fuad, Asdep perlindungan korban perdangan orang, perempuan harus “zoro tolerance” terhadap perlakuan kekerasan. Peringatan hari karti beberapa waktu lalu seharusnya menjadi sebuah iklim bahwa perempuan juga punya daya yang lebih disbanding kaum lelaki. Bukan sekedar rutinitas tahunan yang tidak memiliki efek berarti.
Selain itu, kesadaran masyarakat, khususnya kaum lelaki juga menjadi poin penting ihwal ini. Perlindungan terhadap perempuan adalah keniscayaan yang harus ditegakkan. Perempuan adalah perhiasan dunia yang harus dihargai, dilindungi dan dijunjung tinggi harkat dan martabatnya. Bukankah kita semua keluar dari “lubang” perempuan!

Miftahul Arifin, Pegiat Diros Putaka dan Peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar