Minggu, 11 November 2012

Ijazah “Palsu” dan Kejahatan Intelektual


Oleh Miftahu Arifin
(Dimuat di Jateng Pos, Selasa 14 Juli 2012)

Google Photo
Terbongkarnya sindikat pembuat ijazah palsu yang diduga telah beroperasi sejak tahun 2011 oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu (SM, 23/05/2012) membuat penulis tergelitik untuk meneropong lebih jauh apa yang sesungguhnya terjadi, khususnya dengan pendidikan di Indonesia. Kesimpulan sementara, bahwa
lembaga pendidikan saat ini tak lagi dipandang sebagai satu medium pencetak manusia yang berkarakter, bermartabat dan memiliki loyalitas tinggi kepada masyarakat, bangsa dan negara. Lembaga pendidikan justru banyak dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan materi para pemangku kepentingan.
Senada dengan kasus di atas,  dapat kita simak, berapa banyak orang yang rela mengeluarkan puluhan juta demi mendapatkan selembar ijazah tanpa susah payah? Dengan ijazah, tentunya mereka punya satu kepentingan, baik menyangkut profesi kepentingan lain yang ujung-ujungnya adalat “duit”.
Jajaran birokrasi di lembaga pendidikan pun ikut andil dalam suksesi tersebut. Mereka tidak faham akan makna dan esensi sebenarnya dari selembar kertas yang diterima para sarjana saat upacara wisuda . Dengan seenaknya pihak perguruan tinggi mengeluarkan ijazah. Salah satunya dengan melancarkan keinginan pihak tertentu yang memerlukan ijazah dengan cara instan.
Fungsi Ijazah
Pada hakikatnya, ijazah merupakan legalitas yang “sakral” bagi para lulusan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi sebagai jenjang paling akhir. Ijazah menjadi tanda dan bukti kemampuan mereka. Dengan Ijazah itulah, secara tidak langsung, seseorang dinobatkan sebagai sarjana yang memiliki skill yang  tinggi dan ilmu yang mumpuni, sesuai dengan bidang studi yang ditekuni.
Dengan kata lain, ijazah adalah bukti kongkrit secara tertulis bahwa seorang sarjana dinyatakan siap untuk mengabdi kepada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat pun harus menganggap bahwa apa yang mereka dapatkan merupakan hasil jerih payah yang murni, yaitu selama kurang-kurangnya empat tahun di lembaga pendidikan.
Fungsi ijazah juga sebagai legalitas formal yang sangat penting ketika seseorang hendak melamar kerja. Bahkan, boleh dibilang, sia-sia berpengetahuan luas jika tidak memiliki ijazah. Mereka tidak akan dianggap karena di klaim sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan. Apa lagi jika melihat kenyataan saat ini. Jangankan tak punya ijazah, punya sekalipun akan dihadapkan dengan beragam tantangan dan kesulitan karena tidak memiliki teman yang bisa dimintai bantuan, alias melaui jalur belakang.
Ijazah menjadi sebuah alat ukur untuk mengetahui bagus dan tidaknya kemampuan seseoang. Kemampuan mereka akan diteropong dengan deretan angka yang tertera di dalamnya. Oleh karenanya, keseimbangan antara nilai-nilai yang tertera dalam ijazah dengan kemampuan yang dimiliki oleh para sarjana, tidak boleh tidak, mutlak perlukan. Karena alasan ini lah lembaga pendidikan tidak boleh sembarangan mengeluarkan ijazah. Apa lagi membuka peluang sistem “pesan” ijazah itu sendiri.
Namun, apa yang sering terjadi belakangan ini merupakan potret yang sangat menggelikan kita semua; bergam kebohongan dan kecurangan dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Transaksi jual beli ijazah seolah telah menjadi rahasia umum yang dilakukan oleh pihak tertentu di lembaga pendidikan.
Di sisi lain, marak juga jasa pembuatan skripsi atau tesis yang tak kunjung diberantas. Ijazah palsu, bagi penulis, tidak hanya terbatas pada ijazah yang tidak memiliki pengesahan dari dinas pendidikan. Ijazah yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan sekalipun jika diperoleh dengan instan maka dapat dikategorikan sebagai ijazah palsu yang juga harus dibumihanguskan.
Sindikat ijazah “palsu” ini memberikan sebuah gambaran akan ironi, kejahatan intelektual, pelanggaran undang-undang dan pencemaran terhadap “kesucian” lembaga pendidikan. Ini menjadi salah bukti lemahnya penegakan aturan di lembaga pendidikan.
Bahkan, lembaga pendidikan yang seharus menjaga “kesakralan” ijazah itu, bertindak tidak sesuai dengan porsinya; melakukan kejahatan berupa penyelundupan predikat intelektual kepada seseorang yang sama sekali belum pantas. Banyak gelar sarjana diperoleh tanpa kuliah, cukup membayar sekian juta semuanya dapat diproses dengan lancar tanpa konsekuensi. Nampaknya, memang sifat rakus telah membuat oknum birokrasi kampus buta akan tanggung jawab, kewajiban mengemban amanah dan kebenaran. Kebenaran hanya menjadi satu dirkursus dalam diskusi-diskusi rutin yang biasa mereka laksanakan, tetapi minim aplikatif dalam tindakan nyata.
Sadar Moral
Lembaga pendidikan ibarat sebuah pabrik. Bagus dan tidaknya hasil yang diproduksi tergantung dari sejauh mana kecakapan pihak-pihak terkait dan bahan baku yang akan diolah menjadi barang yang siap pakai.
Kecakapan pihak-pihak lembaga pendidikan dan peserta didik sangat berpengaruh dalam suksesi pendidikan itu sendiri. Yakni pendidikan yang memberikan manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. Kecakapan disini paling tidak meliputi dua aspek: kecakapan berfikir dan bertindak. Keduanya harus sesuai dengan etika, moral dan norma yang berlaku.
Etika dan moral harus menjadi idiologi yang akan menyetir tingkah laku seseorang. Sebagaimana didefinisikan, Etika atau moral adalah seperangkat aturan yang mengatur prilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok masyarakat. (Maryani & Ludogdo, 2001).
Dengan melakukan apa telah menjadi ketentuan hukum, agama dan ketentuan dalam masyarakat, seseorang dapat dikatakan telah beretika dan bermoral.
Immanuel Kant, sebagaimana dikutip Lili Tjahjadi (1992), membagi moral menjadi dua bagian: moralitas heterenom dan otonom. Moral heterenom adalah suatu sikap, dimana, kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri. Melainkan, melaksanakan kewajiban karena tujuan yang diinginkan atau atau karena perasaan takut pada penguasa yang memberi kewajiban. Adapun moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaati karena diyakini sebagai hal yang baik.
Dalam kontek ini, setidaknya kita selaku mahasiswa dan birokrasi kampus sebagai monitoring lembaga pendidikan berpegang teguh pada prinsip moralitas yang pertama, bahwa kita memiliki aturan yang harus ditaati. Dan kita harus menyadari bahwa jika melanggar akan mendapat sangsi.
Lebih dari itu, perlunya pemahaman bahwa segala peraturan yang telah ditetapkan tiada lain kecuali demi kebaikan diri sendiri dan masyarakat secara umum. Moral inilah yang disebut Kant dengan Autonnomie des Wilness, prinsip moral tertinggi karena berkaitan dengan kebebasan dan yang hakiki sebagai tindakan manusia.

Miftahul Arifin, Peneliti di Idea Studies dan aktifis SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang.







2 komentar:

  1. Menurut q potensi se2orang bkn hanya d lihat dri ijazah saja tapi jg prestasi stiap harinya..
    Jangankan ijazah..wong piagam penghargaan n sertifikat j banyak yg nembak og..

    BalasHapus
  2. dalam negara demorasi, formalitas, mau tak mau, tetap penting dan dibutuhkan.

    BalasHapus