MAJLIS Ulama Indonesia (MUI) kita memang boleh dibilang produktif dalam urusan fatwa. Tentu masih lekat dalam ingatan masyarakat, MUI baru saja menfatwakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai penista agama. Kini lahir lagi fatwa tentang halal-haram di Media Sosial (Medsos).
Terlepas
dari kesan produktifitas MUI dalam berfatwa, sebagai lembaga ulama formal
sekala nasional, MUI tanpaknya gelisah dengan situasi sosial yang makin gadung
belakangan ini. Khususnya di media sosial. Dengan fatwa itu, MUI merasa perlu
membimbing umat ke arah lebih baik.
Namun,
yang musti kita pahami bersama bahwa sebuah fatwa bukan final. Fatwa hanyalah
pandangan keagamaan dari hasil ijtihad kolektif
beberapa ulama. Dalam hal ini MUI. Karena itu, fatwa bisa benar bisa
juga salah, kurang tepat, atau tidak sempurna. Kita pun tidak boleh
memperlakukannya sebagai dogma serupa firman tuhan. Kemudian berusaha memenggal
kepala atau menganggap sesat siapun yang tidak mengikuti fatwa tersebut.
Meskipun
demikian, sebagai pemeluk agama islam, tentu kita harus hormat kepada hasil
jerih payah MUI. Baik fatwa soal Medsos, Ahok menista agama, dan fatwa-fatwa
lain yang lalu atau yang akan datang. Penghormatan terhadap fatwa harus kita
wujudkan dengan prinsip dan perenungan mendalam. Barulah kita mengambil sikap. Yang
pas kita ambil, yang kurang pas kita tinggal, dan yang tidak sempurna kita
sempurnakan. Siapan pun yang punya pengetahuan luas soal agama sah sah saja
memberi masukan kepada MUI.
Di
satu sisi, paket Fatwa MUI nampaknya terlalu buru-buru. Sampai-sampai ada laku
di media sosial yang mustinya juga difatwakan, namun tak masuk dalam paket
fatwa kontemporer ini. Misalnya, bagaimana hukum makan uang dari hasil bisnis
online dengan cara haram sebagaimana fatwa MUI? MUI perlu mempertegas karena
fenomena ini juga membanjiri jagat raya Medsos.
UU ITE dan Fatwa MUI
Di
sisi lain, Fatwa MUI yang keluar bebepa hari terakhir dari MUI ini perlu kita
renungkan bersama. Sebab, tak bisa kita pungkiri, gonjang ganjing akibat
penggunaan media sosial yang kurang tepat belakangan ini memang sudah kategori
memprihatinkan. Medsos tanpak hadir dalam dua muka. Medsos seperti sebuah anugerah
di era digital yang memerlukan proses cepat dan bisa interaksi tanpa bata.
Namun, Medsos juga sebuah ujian untuk mengukur kapasitas kita dalam menafaatkan
teknologi.
Kehadiran
media sosial sejatinya dimaksudkan untuk hal positif. Namun, hukum alam selalu
dalam keseimbangan. Positif dan negatif bagi penulis adalah keharusan berlipat
di Medsos. Kondisi ini pun disadari betul oleh pemerintah. Salah satunya
ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) 2008 silam. Asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, dan asa
kebebasan melahirkan aturan menggunakan teknologi informasi. Tujuan utamanya, memberi
rasa aman, adil, peningkatkan efektifitas, pendidikan bagi masyarakat dengan
harapan terciptanya masyarakat cerdas bertenologi.
Sembilan
tahun UU ITE berlaku dan menjadi undang-undang sah. Hanya saja, tanpaknya belum
menjadi lonceng pengingat bagi kita untuk selayaknya bersikap. Alih-alih
mencedaskan masyarakat, tanpa menihilkan nilai positif, UU ITE di satu sisi seolah
menjadi bumerang. Ia bisa menjadi senjata untuk kepentingan politik atau
ekonomi secara tidak sehat. Terlepas sangkaan menista agama, Ahok dikurung salah
satunya karena dinilai melanggar UU ini.
Lahirnya
UU ITE juga tidak diimbangi dengan pengawasan ketat laku-laku personal maupun
kelompok di media sosial. Pengaruh Medsos sangat besar dalam kehidupan saat
ini. Kegaduhan bangsa seperti telah melahirkan sejumlah aksi dipengaruh Medsos.
Maka, pantauan serius perilaku di Medsos perlu semakin digalakkan.
Fatwa
halal-haram di media sosial ala MUI sejatinya ingin kembali menegaskan bahwa,
selain memiliki aturan dalam hukum positif, umat beragama juga punya aturan
dalam agamanya. Dimana isisnya selarasa dengan hukum positif. Begitu pula fatwa
MUI, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan larangan UU ITE dalam bermedia
elektronik. Perbedaaanya, UU ITE berupanya mencegak ketidak etisan pengguna
media sosial dengan ancaman pidana. Sedangkan fatwa MUI lebih kepada pembinaan
laku sosial bernuasa agamis dengan ganjaran surga bagi yang taat dan neraka
bagi yang ingkar.
Isi
hukum positif dan gubahan ijthad MUI selaras. MUI mengharamkan menyebar konten
pornografi, UU ITE melarang menyebar konten melanggar kesusilaan. MUI
mengharamkan ghibab, namimah, fitnah dan menyebar pemusuhan, UU ITE melarang
menghina dan mencemarkan nama baik. Fatwa serupa MUI mengharamkan penyebaran
hoax meski dengan tujuan baik.
MUI tidak menyebut pengharaman perjuan
sebagaimana larangan konten perjudian di UU ITE. Berangkali MUI menyadari bahwa
dimanapun dan kapan pun judi dilarang dalam islam. Begitu juga fatwa pemerasan
atau pengancaman. Namun, MUI mengaharamkan menyebar konten yang tidak sesuai
tempat meskipun konten mengandung kebenaran.
Fatwa
halal-haram di media sosial ala MUI sejatinya tidak ada yang baru di dalam
ajaran islam. Sebab, halal-haram ala MUI ini sejatinya jelas-jelas terlarang
dalam ajaran islam. Misalnya, larangan fitnah. Islam telah menegaskan bahwa
fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Ia pun diharamkan dan pelakunya diacam
neraka. Islam juga tidak membatasi lokasi
fitnah. Artinya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, menfitnah tidak
boleh karena akan berdampak buruk bagi yang difitnah. Imbasnya, kebencian,
pertikaian, bahkan kegaduhan antara sesama.
Dari
sisi ini, fatwa MUI tentu harus dipahami sebagai sebuah semangat. Bahwa MUI
peduli pada umat. MUI gelisah prilaku umat di Medsos masih belum mencerminkan
nilai-nilai kesilaman dan berententangan dengan nilai-nilai luhur ke Indonesiaan.
MUI ingin Medsos dimanfaatkan dengan baik oleh penggunanya. Misalnya, sebagai
media dakwah islam atau media merajut tali silatuurahim.
MUI
ingin menegaskan kembali bahwa di mana pun dan kapan pun perbuatan tercela
tetaplah tercela. Fatwa MUI lahir dari kondisi jagat Medsos yang ramai fitnah,
ujaran kebencian, bullying, konten pornografi menyebar luas, dan semacamnya.
Sampai di sini, MUI tanpaknya belum menyentuh ranah ekonomi dari pendapatan
melalui Medsos.
”Uang Haram” di Balik Fatwa MUI
Lantas
haramkah mencari uang dengan cara-cara yang tidak etis di medisa sosial? Publik
yang belum begitu paham soal etika dan cara mencari uang yang benar mungkin bertanya-tanya
kepada MUI. Atau sebaliknya, para pengeruk uang dari media sosial itu tak
begitu peduli dengan fatwa MUI. MUI pun tidak memasukkan masalah ini dalam
fatwanya dengan jelas.
Barangkai
fatwa MUI memang hanya sengaja menyasar aktivitas Medsos yang sering bikin
gaduh. Mungkin juga MUI belum melakukan penelitian bahwa mencari uang dengan
cara tidak etis di intenet juga marak. Atau, boleh jadi aktivitas terakhir ini
sudah termaktub dalam Fatwa MUI yang kelima. Bahwa pengguna medsos diharamkan
menyebar konten yang benar namun tak sesuai tempat.
Seperti
sering kita saksikan, banyak akun-akun palsu menyebakan gambar penyakit untuk
mengundang teman di medsos. Namun, ujung-ujungnya akun itu untuk kepentingan
bisnis online. Di lain pihak, kegaduhan yang terjadi belakangan ini karena didukung berita hoax
dari media yang hanya ingin meraup keuntungan ekonomi.
Itu
artinya, jika mengacu pada fatwa haram di media sosial ala MUI, para pecari
rupiah dengan cara terlarang hasilnya juga haram. Mereka telah memakan uang
haram. Dengan demikian, para pelakunya nanti akan diganjar api neraka di
akhirat. Sebab, fatwa MUI berbunyi keharaman di Media Sosial yang jika
dilanggar berarti berdoa dan para pendosa akan digajar dengan neraka.
Agar
kesimpulan ini tidak tergesa-gesa, kita tunggu saja penyempurnaan fatwa MUI
yang makin produktif dalam berfatwa. Wallahu
a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar