Jumat, 09 Juni 2017

Uang Haram Setelah Fatwa Medsos MUI


MAJLIS Ulama Indonesia (MUI) kita memang boleh dibilang produktif dalam urusan fatwa. Tentu masih lekat dalam ingatan masyarakat, MUI baru saja menfatwakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai penista agama. Kini lahir lagi fatwa tentang halal-haram di Media Sosial (Medsos).
Terlepas dari kesan produktifitas MUI dalam berfatwa, sebagai lembaga ulama formal sekala nasional, MUI tanpaknya gelisah dengan situasi sosial yang makin gadung belakangan ini. Khususnya di media sosial. Dengan fatwa itu, MUI merasa perlu membimbing umat ke arah lebih baik.
Namun, yang musti kita pahami bersama bahwa sebuah fatwa bukan final. Fatwa hanyalah pandangan keagamaan dari hasil ijtihad kolektif  beberapa ulama. Dalam hal ini MUI. Karena itu, fatwa bisa benar bisa juga salah, kurang tepat, atau tidak sempurna. Kita pun tidak boleh memperlakukannya sebagai dogma serupa firman tuhan. Kemudian berusaha memenggal kepala atau menganggap sesat siapun yang tidak mengikuti fatwa tersebut.
Meskipun demikian, sebagai pemeluk agama islam, tentu kita harus hormat kepada hasil jerih payah MUI. Baik fatwa soal Medsos, Ahok menista agama, dan fatwa-fatwa lain yang lalu atau yang akan datang. Penghormatan terhadap fatwa harus kita wujudkan dengan prinsip dan perenungan mendalam. Barulah kita mengambil sikap. Yang pas kita ambil, yang kurang pas kita tinggal, dan yang tidak sempurna kita sempurnakan. Siapan pun yang punya pengetahuan luas soal agama sah sah saja memberi masukan kepada MUI.
Di satu sisi, paket Fatwa MUI nampaknya terlalu buru-buru. Sampai-sampai ada laku di media sosial yang mustinya juga difatwakan, namun tak masuk dalam paket fatwa kontemporer ini. Misalnya, bagaimana hukum makan uang dari hasil bisnis online dengan cara haram sebagaimana fatwa MUI? MUI perlu mempertegas karena fenomena ini juga membanjiri jagat raya Medsos.
UU ITE dan Fatwa MUI
Di sisi lain, Fatwa MUI yang keluar bebepa hari terakhir dari MUI ini perlu kita renungkan bersama. Sebab, tak bisa kita pungkiri, gonjang ganjing akibat penggunaan media sosial yang kurang tepat belakangan ini memang sudah kategori memprihatinkan. Medsos tanpak hadir dalam dua muka. Medsos seperti sebuah anugerah di era digital yang memerlukan proses cepat dan bisa interaksi tanpa bata. Namun, Medsos juga sebuah ujian untuk mengukur kapasitas kita dalam menafaatkan teknologi.
Kehadiran media sosial sejatinya dimaksudkan untuk hal positif. Namun, hukum alam selalu dalam keseimbangan. Positif dan negatif bagi penulis adalah keharusan berlipat di Medsos. Kondisi ini pun disadari betul oleh pemerintah. Salah satunya ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) 2008 silam. Asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, dan asa kebebasan melahirkan aturan menggunakan teknologi informasi. Tujuan utamanya, memberi rasa aman, adil, peningkatkan efektifitas, pendidikan bagi masyarakat dengan harapan terciptanya masyarakat cerdas bertenologi.
Sembilan tahun UU ITE berlaku dan menjadi undang-undang sah. Hanya saja, tanpaknya belum menjadi lonceng pengingat bagi kita untuk selayaknya bersikap. Alih-alih mencedaskan masyarakat, tanpa menihilkan nilai positif, UU ITE di satu sisi seolah menjadi bumerang. Ia bisa menjadi senjata untuk kepentingan politik atau ekonomi secara tidak sehat. Terlepas sangkaan menista agama, Ahok dikurung salah satunya karena dinilai melanggar UU ini.
Lahirnya UU ITE juga tidak diimbangi dengan pengawasan ketat laku-laku personal maupun kelompok di media sosial. Pengaruh Medsos sangat besar dalam kehidupan saat ini. Kegaduhan bangsa seperti telah melahirkan sejumlah aksi dipengaruh Medsos. Maka, pantauan serius perilaku di Medsos perlu semakin digalakkan.
Fatwa halal-haram di media sosial ala MUI sejatinya ingin kembali menegaskan bahwa, selain memiliki aturan dalam hukum positif, umat beragama juga punya aturan dalam agamanya. Dimana isisnya selarasa dengan hukum positif. Begitu pula fatwa MUI, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan larangan UU ITE dalam bermedia elektronik. Perbedaaanya, UU ITE berupanya mencegak ketidak etisan pengguna media sosial dengan ancaman pidana. Sedangkan fatwa MUI lebih kepada pembinaan laku sosial bernuasa agamis dengan ganjaran surga bagi yang taat dan neraka bagi yang ingkar.
Isi hukum positif dan gubahan ijthad MUI selaras. MUI mengharamkan menyebar konten pornografi, UU ITE melarang menyebar konten melanggar kesusilaan. MUI mengharamkan ghibab, namimah, fitnah dan menyebar pemusuhan, UU ITE melarang menghina dan mencemarkan nama baik. Fatwa serupa MUI mengharamkan penyebaran hoax meski dengan tujuan baik.
  MUI tidak menyebut pengharaman perjuan sebagaimana larangan konten perjudian di UU ITE. Berangkali MUI menyadari bahwa dimanapun dan kapan pun judi dilarang dalam islam. Begitu juga fatwa pemerasan atau pengancaman. Namun, MUI mengaharamkan menyebar konten yang tidak sesuai tempat meskipun konten mengandung kebenaran.
Fatwa halal-haram di media sosial ala MUI sejatinya tidak ada yang baru di dalam ajaran islam. Sebab, halal-haram ala MUI ini sejatinya jelas-jelas terlarang dalam ajaran islam. Misalnya, larangan fitnah. Islam telah menegaskan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Ia pun diharamkan dan pelakunya diacam neraka.  Islam juga tidak membatasi lokasi fitnah. Artinya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, menfitnah tidak boleh karena akan berdampak buruk bagi yang difitnah. Imbasnya, kebencian, pertikaian, bahkan kegaduhan antara sesama.
Dari sisi ini, fatwa MUI tentu harus dipahami sebagai sebuah semangat. Bahwa MUI peduli pada umat. MUI gelisah prilaku umat di Medsos masih belum mencerminkan nilai-nilai kesilaman dan berententangan dengan nilai-nilai luhur ke Indonesiaan. MUI ingin Medsos dimanfaatkan dengan baik oleh penggunanya. Misalnya, sebagai media dakwah islam atau media merajut tali silatuurahim.
MUI ingin menegaskan kembali bahwa di mana pun dan kapan pun perbuatan tercela tetaplah tercela. Fatwa MUI lahir dari kondisi jagat Medsos yang ramai fitnah, ujaran kebencian, bullying, konten pornografi menyebar luas, dan semacamnya. Sampai di sini, MUI tanpaknya belum menyentuh ranah ekonomi dari pendapatan melalui Medsos.
”Uang Haram” di Balik Fatwa MUI
Lantas haramkah mencari uang dengan cara-cara yang tidak etis di medisa sosial? Publik yang belum begitu paham soal etika dan cara mencari uang yang benar mungkin bertanya-tanya kepada MUI. Atau sebaliknya, para pengeruk uang dari media sosial itu tak begitu peduli dengan fatwa MUI. MUI pun tidak memasukkan masalah ini dalam fatwanya dengan jelas.
Barangkai fatwa MUI memang hanya sengaja menyasar aktivitas Medsos yang sering bikin gaduh. Mungkin juga MUI belum melakukan penelitian bahwa mencari uang dengan cara tidak etis di intenet juga marak. Atau, boleh jadi aktivitas terakhir ini sudah termaktub dalam Fatwa MUI yang kelima. Bahwa pengguna medsos diharamkan menyebar konten yang benar namun tak sesuai tempat.
Seperti sering kita saksikan, banyak akun-akun palsu menyebakan gambar penyakit untuk mengundang teman di medsos. Namun, ujung-ujungnya akun itu untuk kepentingan bisnis online. Di lain pihak, kegaduhan yang terjadi  belakangan ini karena didukung berita hoax dari media yang hanya ingin meraup keuntungan ekonomi.
Itu artinya, jika mengacu pada fatwa haram di media sosial ala MUI, para pecari rupiah dengan cara terlarang hasilnya juga haram. Mereka telah memakan uang haram. Dengan demikian, para pelakunya nanti akan diganjar api neraka di akhirat. Sebab, fatwa MUI berbunyi keharaman di Media Sosial yang jika dilanggar berarti berdoa dan para pendosa akan digajar dengan neraka.
Agar kesimpulan ini tidak tergesa-gesa, kita tunggu saja penyempurnaan fatwa MUI yang makin produktif dalam berfatwa. Wallahu a’lam bissawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar