Saya tidak tau
pasti siapa penemu sandal pertama kali. Kucari-cari, tak kutemukan siapa dia
dan seperti apa wajahnya. Barangkali memang ia dianggap tak begitu penting dan
tak menarik, sampai-sampai penemu sandal tidak sepopuler Alexander Graham Bell
sang penemu telpon atau Thomas Alfa Edison sebagai penemu bola lampu. Sandal,
makhluk rendahan itu, seperti yatim piatu tak punya bapak tak punya ibu. Ia
bagai anak haram yang sengaja dibuang di terowongan untuk menutupi sebuah
peristiwa kebiadaban.
Baiknya,
meskipun makhluk bernama sandal itu rendahan –karena selalu di bawah dan bapak
ibunya tak sepopuler Thomas dan Alexander, ia tak pernah mengeluh untuk
melindungi. Tak pernah sombong sekalipun selalu memberi.
Tak berhenti di
situ kebaikan sandal. Di satu waktu Ia cemas, takut tuannya, kaki, dalam
bahaya. Ia berfikir sejenak, dan tak berselang lama ia menemukan ide. Ia kawin
dan dari perkawinan itu, lahirlah sepatu untuk melindungi bagian atas tuan
kaki. Namun, nasib sepatu tak seburuk nasib sandal. Sandal, sang ayah dari
sepatu itu, tak pernah membiarkan anaknya sensara: tanpa ayah dan ibu. Sandal
selalu menjadi orang tua sekaligus teman yang baik meskipun terkadang ia tak
bernilai lebih mahal. Ia tak pergi: hilang, diusir atau terusir, meninggalkan
sepatu.
Bersama sepatu,
sandal menjadi relawan, menemani orang sepanjang zaman. Tak tebang pilih, tak
pandang bulu, termasuk bapak presiden, bapak mentri, dan bapak wakil rakyat di
parlemen, yang sebagian terkutuk itu, tukang becak, sopit taksi, tukang las,
tukang jahit jahit sampai penjaga warteg juga memanfaatkan kebaikan Mister
Sandal dan Mister Sepatu yang terhormat.
Karena itu,
Mister Sandal tak seperti orang kebanyakan, yang sebagian besar sulit menjalani
hidup karena miskin dan tidak bisa kemana-kemana. Bersama sepatu, karena
kerendahan-hatiannya itu, Mister sandal bisa dengan bebas masuk istana negara,
bolak-balik keluar negeri, ke gedung-gedung bertingkat, ke mall-mall, dan
tempat-tempat mewah yang lain. Hebat.
Di negara yang
bernama Indonesia, sandal memiliki ragam cerita hidup. Kariernya menjadi
relawan pernah juga melambung. Pernah juga ia diperalat untuk menghina orang
orang lain, golongan lain atau agama lain.
Saudara-saudara
tau? Konon (ingat! ini cuma konon), salah satu penyair tekenal (saya lupa
namanya) memulai kariernya, sampai ia menjadi terkenal, setelah sandal jepitnya
putus, pedhot, lalu ia tulis menjadi sebuah puisi. Cerita ini memang karena
keteledoran si sandal. Tapi maklumlah, karena mungkin waktu itu ia sedang
lelah. Dan kalau dipikir-pikir justru sebaliknya, penyair ‘konon’ itu
seharusnya berterima kasih kepada Mister Sandal. Karena sandal ia terkenal,
meskipun tak se populer tuan Alexander dan Thomas Alfa Edison.
Coba
saudara-saudara simak lagi: ambil handphone atau laptop yang tersambung dengan
internet. Ketik nama bapak Presiden Jokowodo plus Sandal Jepit di jendela mbah
kita, Google. Di sana saudara-saudar pasti bertemu dengan bapak presiden
‘bergandengan tangan’ dengan sandal jepit dalam sebuah berita. Katanya, waktu
itu, pak Jokowi pakai sandal jepit waktu bagi-bagi sepeda ke para santri
Al-Islah Jawa Barat.
Saya saja ni ya,
meskipun sudah tua (dalam arti dewasa lah, biar keren, hehe), belum pernah
berjabat tangan dengan bapak presiden. Kalah donk, sama sandal. Ia kalah.
Mungkin, karena saya masih sering menyombongkan diri dan selalu pamrih ketika
berbuat baik. Makanya, jadi orang jangan pamrih dan sombong. Dengerin tuh ustad
lagi ceramah.
Kalau kita
menjadi orang jahat, maka kemungkinan besar kita tidak akan selamat. Kenapa?
Yang baik saja kadang dibenci, dihina, dan tidak dihargai, apa lagi orang yang
sudah jelas jahat. Logikanya begitu, sekalipun tak semua orang baik itu
mendapat kebencian dan hinaan. Coba lihat, betapa baiknya Mr Sandal: setia
menjadi teman, ikhlas berkorban, tidak pernah mengeluh dan sifat-sifat baik
lainnya. Tapi apa balasannya? Ia difitnah dengan ditulisi nama tuhan untuk
menghina agama.
Tapi saya yakin,
Mister Sandal sangat baik. Orang-orang tahu, ini bukan ulah Mister Sandal.
Melainkan orang-orang jahat yang tak tahu berbalas Budi, bukan Ani. Ingat!
Budi!
Miftahul Arifin
Semarang, 20 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar