Senin, 19 Oktober 2015

Sandal



Saya tidak tau pasti siapa penemu sandal pertama kali. Kucari-cari, tak kutemukan siapa dia dan seperti apa wajahnya. Barangkali memang ia dianggap tak begitu penting dan tak menarik, sampai-sampai penemu sandal tidak sepopuler Alexander Graham Bell sang penemu telpon atau Thomas Alfa Edison sebagai penemu bola lampu. Sandal, makhluk rendahan itu, seperti yatim piatu tak punya bapak tak punya ibu. Ia bagai anak haram yang sengaja dibuang di terowongan untuk menutupi sebuah peristiwa kebiadaban.


Baiknya, meskipun makhluk bernama sandal itu rendahan –karena selalu di bawah dan bapak ibunya tak sepopuler Thomas dan Alexander, ia tak pernah mengeluh untuk melindungi. Tak pernah sombong sekalipun selalu memberi.

Tak berhenti di situ kebaikan sandal. Di satu waktu Ia cemas, takut tuannya, kaki, dalam bahaya. Ia berfikir sejenak, dan tak berselang lama ia menemukan ide. Ia kawin dan dari perkawinan itu, lahirlah sepatu untuk melindungi bagian atas tuan kaki. Namun, nasib sepatu tak seburuk nasib sandal. Sandal, sang ayah dari sepatu itu, tak pernah membiarkan anaknya sensara: tanpa ayah dan ibu. Sandal selalu menjadi orang tua sekaligus teman yang baik meskipun terkadang ia tak bernilai lebih mahal. Ia tak pergi: hilang, diusir atau terusir, meninggalkan sepatu.

Bersama sepatu, sandal menjadi relawan, menemani orang sepanjang zaman. Tak tebang pilih, tak pandang bulu, termasuk bapak presiden, bapak mentri, dan bapak wakil rakyat di parlemen, yang sebagian terkutuk itu, tukang becak, sopit taksi, tukang las, tukang jahit jahit sampai penjaga warteg juga memanfaatkan kebaikan Mister Sandal dan Mister Sepatu yang terhormat.

Karena itu, Mister Sandal tak seperti orang kebanyakan, yang sebagian besar sulit menjalani hidup karena miskin dan tidak bisa kemana-kemana. Bersama sepatu, karena kerendahan-hatiannya itu, Mister sandal bisa dengan bebas masuk istana negara, bolak-balik keluar negeri, ke gedung-gedung bertingkat, ke mall-mall, dan tempat-tempat mewah yang lain. Hebat.

Di negara yang bernama Indonesia, sandal memiliki ragam cerita hidup. Kariernya menjadi relawan pernah juga melambung. Pernah juga ia diperalat untuk menghina orang orang lain, golongan lain atau agama lain.

Saudara-saudara tau? Konon (ingat! ini cuma konon), salah satu penyair tekenal (saya lupa namanya) memulai kariernya, sampai ia menjadi terkenal, setelah sandal jepitnya putus, pedhot, lalu ia tulis menjadi sebuah puisi. Cerita ini memang karena keteledoran si sandal. Tapi maklumlah, karena mungkin waktu itu ia sedang lelah. Dan kalau dipikir-pikir justru sebaliknya, penyair ‘konon’ itu seharusnya berterima kasih kepada Mister Sandal. Karena sandal ia terkenal, meskipun tak se populer tuan Alexander dan Thomas Alfa Edison.

Coba saudara-saudara simak lagi: ambil handphone atau laptop yang tersambung dengan internet. Ketik nama bapak Presiden Jokowodo plus Sandal Jepit di jendela mbah kita, Google. Di sana saudara-saudar pasti bertemu dengan bapak presiden ‘bergandengan tangan’ dengan sandal jepit dalam sebuah berita. Katanya, waktu itu, pak Jokowi pakai sandal jepit waktu bagi-bagi sepeda ke para santri Al-Islah Jawa Barat.

Saya saja ni ya, meskipun sudah tua (dalam arti dewasa lah, biar keren, hehe), belum pernah berjabat tangan dengan bapak presiden. Kalah donk, sama sandal. Ia kalah. Mungkin, karena saya masih sering menyombongkan diri dan selalu pamrih ketika berbuat baik. Makanya, jadi orang jangan pamrih dan sombong. Dengerin tuh ustad lagi ceramah.
Kalau kita menjadi orang jahat, maka kemungkinan besar kita tidak akan selamat. Kenapa? Yang baik saja kadang dibenci, dihina, dan tidak dihargai, apa lagi orang yang sudah jelas jahat. Logikanya begitu, sekalipun tak semua orang baik itu mendapat kebencian dan hinaan. Coba lihat, betapa baiknya Mr Sandal: setia menjadi teman, ikhlas berkorban, tidak pernah mengeluh dan sifat-sifat baik lainnya. Tapi apa balasannya? Ia difitnah dengan ditulisi nama tuhan untuk menghina agama.

Tapi saya yakin, Mister Sandal sangat baik. Orang-orang tahu, ini bukan ulah Mister Sandal. Melainkan orang-orang jahat yang tak tahu berbalas Budi, bukan Ani. Ingat! Budi!

Miftahul Arifin
Semarang, 20 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar